14. Hidup Baru

973 42 0
                                    

Seperti prediksiku, Jenewa sangatlah tenang. Seperti yang selalu kuhayalkan sejak dulu. Rumah-rumah bernuansa kuno dengan lingkungan bersih bebas polusi kendaraan, orang-orang yang ramah, kehidupan kota yang damai dan minim tindak kriminalitas. Tapi yang paling penting dari itu semua, aku menyukai danau Jenewa dan kebun anggurnya. Dulu aku hanya sering memandangi danau ini di internet. Membayangkan bagaimana rasanya jika aku bisa tinggal di sana dengan tenang. Dan sekarang, hal itu jadi kenyataan. Bahkan empat tahun tinggal di sini rasanya masih empat hari. Aku terlalu menikmati hari-hari di sini.

Meski pada awal kedatangan aku harus benar-benar bekerja keras mencari pekerjaan, mengingat biaya hidup di sini sangat mahal, tetapi semuanya sudah berlalu. Berkat bahasa Perancisku yang lumayan lancar, aku bisa berbaur dengan baik bersama orang-orang sini. Salah satunya Nyonya Amber. Wanita berusia 62th yang baik hati itu adalah tetanggaku. Seorang janda anak satu yang banyak membantu, salah satunya memberikan aku pekerjaan di toko jam miliknya. Yah, aku menganggapnya sebagai ibuku di sini, begitu pun sebaliknya.

Aku beruntung memilih kota Jenewa. Andai dulu aku memilih kota Zurich, tidak tahu hidupku seperti apa nantinya. Secara, penduduk sana biasanya menggunakan bahasa Jerman --meski masih di negara Swiss-- dan aku tidak terlalu menguasai bahasa satu itu.

"Shalena, Aline akan mengajakku makan malam. Kau mau ikut?" tanya Nyonya Amber sesaat setelah toko tutup. Ketahuilah, Jenewa bukan kota bebas layaknya Manhattan di Amerika Serikat. Jenewa adalah kota yang tertib, kota yang benar-benar patuh pada aturan. Tidak ada diskotik di sini, seluruh toko hanya buka sampai jam 5 sore, dan jam buka tempat nongkrong termasuk kafe dibatasi di malam hari. Aku benar-benar mencintai kota ini. Kota yang membuatku lupa akan semua perih yang kutinggalkan di Jakarta.

"Oh, Aline? Tentu. Apa dia sudah pulang dari Paris?" tanyaku antusias. Aline adalah anak dari Nyonya Amber. Wanita berusia 35 tahun yang sudah kuanggap sebagai kakak sendiri. Dia sudah menikah dengan seorang pengusaha jam tangan terkenal di Kota Zurich. Pernikahan mereka telah menghadirkan seorang bocah laki-laki dengan mata hazel yang indah bernama George. Aku menyayangi anak itu meski dia terkadang menyebalkan.

"Ya, dia sudah pulang kemarin malam. George begitu antusias menceritakan liburannya di sana. Aku sampai tidak bisa berhenti tertawa karena anak itu." Mata Nyonya Amber berbinar saat menceritakan cucu tampannya.

"Huh, aku merindukannya," kekehku seraya merekatkan mantel karena udara sore ini benar-benar dingin.

Aku berjalan beriringan dengan Nyonya Amber menuju rumah. Ya, bisa dikatakan jarak dari toko ke rumah tidak terlalu jauh. Hanya sekitar 400 meter.

"Aku akan menjemputmu nanti jam 7, ya." Nyonya Amber melambaikan tangan, pun denganku.

Suasana rumah seperti biasa sangat hening. Kurebahkan tubuh di atas sofa setelah menyalakan penghangat ruangan. Lelah sekali rasanya hari ini. Toko benar-benar ramai.

Memejamkan mata beberapa menit, lalu beberapa saat kemudian, bel berbunyi. Dengan enggan, aku beranjak dari posisi rebahanku.

Mesin intercom tidak menampilkan wajah siapa pun. Lalu siapa yang barusan menekan bel? Ah, apa jangan-jangan itu George? Pasti anak itu! Aku terkikik membayangkan bocah berusia enam tahun itu yang kesusahan mencapai kamera intercom. Anak itu biasanya menekan bel dengan tongkat. Sungguh membuatku geli.

"Ha--" sapaanku terhenti. Ternyata tidak ada siapa-siapa, selain dari sebuket bunga mawar merah di atas keset.

"Bunga?" Aku bergumam pelan, lebih pada diri sendiri.

Berjongkok, kuambil sebuket bunga itu, berharap menemukan identitas si pengirim.

Hanya ada secarik kertas dengan tulisan: "Aku senang melihatmu baik-baik saja. From: J."

GALABATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang