15.1 Menemukanmu

953 48 1
                                    

Dulu, aku mengejar bahagia mati-matian. Dengan cara membohongi diri sendiri. Aku berharap pada Ibu, yang akan mencintaiku. Aku berharap pada Evan, yang akan membahagiakanku. Nyatanya, semua justru menghancurkan hatiku.

Aku kehilangan diriku ketika Ibu menghancurkan harapku. Aku kehilangan tawaku, kehilangan segala diriku yang dulu. Ketika aku harus melepaskan Evan, hampir saja aku mati kehilangan harapan tentang cinta. Tapi keluarga Nyonya Amber datang menyambutku. Memberikan aku kehangatan keluarga yang selalu aku dambakan. Sosok Ibu yang kuharapkan, Nyonya Amber berikan. Sosok Kakak yang kunantikan, Aline dan Liam berikan. Bahkan tak hanya itu, keluarga ini mengajarkan aku kehangatan. Mencairkan hatiku yang dulu pernah membeku. Menghadirkan kembali tawa yang sempat sirna.

Suatu hari ketika Nyonya Amber menemukanku tengah menangis keras untuk melepaskan sesak, beliau berkata: Kau tidak akan pernah bahagia selama kau belum berdamai dengan masa lalumu. Sempat tak mengerti dan menolak untuk mengerti. Berdamai dengan masa lalu, bukankah masa laluku hanyalah luka? Tapi sepi yang selalu menikam setiap pagi dan malamku akhirnya membuatku sadar, apa yang Nyonya Amber katakan ada benarnya. Aku tidak bisa untuk terus menolak masa lalu. Biar bagaimana pun, itu akan tetap menjadi bagian dari kisah hidupku.

Berjalanlah menuju masa depan dengan seluruh kekuatanmu. Tapi bukan berarti kauharus meninggalkan masa lalu. Biar bagaimana pun, masa lalu akan selalu ada di sini, di hatimu. Jika suatu hari lagi lagi kauterluka, yang perlu kaulakukan adalah, hanya berdamai, ikhlas, dan berteman dengan luka itu. Jadilah dirimu, dan terbukalah terhadap apa pun, agar tidak ada kesakitan yang akan semakin membumbung dan membuat sesak. Ingat, kau tidak sendirian.

Kota Jenewa pagi ini benar-benar dingin. Aku hampir tak mau melepaskan diri dari selimut tebal yang membungkus tubuhku --andai tidak ada suara bel yang berbunyi berkali-kali. Hari ini aku mengambil cuti. Ya, setiap sebulan sekali, setiap karyawan memang memiliki jatah libur tiga hari. Dengan gerakan lamban, aku turun dari tempat tidur. Mencepol asal rambut sebahuku dan memakai mantel sebelum berjalan menuju intercom.

Tidak ada orang.

Baiklah, kukira sekarang bukan si pengagum rahasia yang menyimpan bunganya di depan pintu lagi, karena gedoran beserta teriakkan keras seorang anak sudah membuatku paham, itu George.

"Tadaaa, Aunty!"

Aku sudah tidak kaget dengan teriakkan anak itu. Tapi tidak ingin mengecewakan kejutan yang anak itu buat, sengaja kupasang wajah terkejut dengan telapak tangan menutup mulut yang setengah menganga.

"Waw, George. Selamat pagi!" seruku. "Kau memberiku kejutan ini?" tanyaku, menunjuk pada sebuah kotak makanan dan juga buket bunga yang George bawa.

George mengangguk antusias. "Benar, Aunty. Aku membuatkanmu salad yang paling enak. Bahkan salad di Cottage Cafe saja kalah oleh salad buatanku!" ujar anak itu ceria.

Kugendong tubuh George yang kini sudah semakin besar. Dulu waktu pertama kali aku menggendongnya, anak ini masih sedikit kecil dengan celotehan tak jelasnya.

"Aku mencintaimu!" gumamku seraya mengecup gemas pipi merahnya.

George terkikik dan membalas mencium pipiku. "Aku juga mencintaimu. Jika aku sudah besar, aku pasti akan menikahimu," ujarnya. Aku tertawa.

"Dan, George, apa bunga ini kauambil dari kebun belakang rumah ibumu?" tanyaku curiga. Sebab itulah yang sering anak itu lakukan. Memberikan aku setangkai bunga mawar yang ia petik sendiri sampai jarinya terluka. Dan aku khawatir kali ini, karena bunga yang ia bawa banyak sekali.

George menggeleng keras. "Tidak. Aku menemukan bunga ini di depan pintu rumahmu," balas George.

Di depan pintu rumah? Apa dari orang yang sama yang mengirimiku bunga kemarin sore?

Aku membawa George masuk dan mendudukannya di atas kursi meja makan.

"Ingin menemaniku sarapan?" tanyaku tersenyum lembut. George tentu saja mengangguk antusias. "Oke. Aunty buat susu dulu untuk kita berdua, ok?"

Baru saja aku selesai meletakkan susu di atas meja, ponselku berdering di kamar. Lantas aku berlari kecil untuk mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas.

"GEA!" pekikku keras-keras saat aku melihat panggilan video masuk dari kontak bernama Gea.

"SHALENA!" lengkingan suara yang kurindukan itu membuatku tertawa kecil.

"Ge, Ya Tuhan! Kau baru menghubungiku!"

"Maaf, Shalena. Beberapa waktu lalu aku pergi liburan bersama Farhan. Ke pulau kecil di tengah lautan!" pekik Gea sambil terkikik di seberang sana. Bahkan layar menampilkan gadis itu yang tengah berguling di atas ranjang menjadi telentang setelah sebelumnya telungkup. "Ya Tuhan, di sana indah sekali! Tapi ya itu, tidak ada signal. Hehe," Gea cengengesan. Dasar orang jatuh cinta! Yah, Farhan itu pacarnya. Sudah setahun ini mereka menjalin hubungan. Dan kabarnya Gea akan menikah tahun ini. Aku senang sekali mendengar itu.

"Wah, aku juga ingin jalan-jalan. Sudah lama rasanya tidak pergi keluar untuk refreshing."

"Keluarlah. Kurasa di sana banyak tempat wisata yang indah," gumam Gea seraya mengerling. Ck, gadis itu!

"Yah, hari ini sepertinya aku akan keluar," ucapku sambil berjalan menuju ruang makan. George terlihat jenuh di sana.

"Shalena, itu George si anak tampan?" pekik Gea.

Kulirik George dan menyuruh anak itu untuk say hai pada Gea dan ia menurut. "Yah, dia semakin tampan, kan?" ucapku jenaka. "Dia bilang akan menikahiku jika dia sudah besar."

Gea tergelak di sana. Sedangkan George hanya bersikap sok tampan di kursinya. Dia tidak mengerti apa yang sedang aku bicarakan bersama Gea.

Seperti biasa, jika kami sudah bercengkrama, obrolan akan mengalir begitu banyak.

"O ya, Shalena. Kapan kau akan pulang? Aku rindu sekali," gumam Gea tiba-tiba.

Aku diam sejenak, lantas tersenyum. "Aku belum siap, Ge. Mungkin nanti, saat kau akan menikah," balasku.

"Benar?" Gea memekik. "Tadinya aku akan membicarakan ini nanti. Tapi berhubung kaubilang akan pulang jika aku menikah maka, aku beri tahu sekarang. Aku akan menikah dua bulan lagi. Jadi bersiaplah dari sekarang."

"Hah?" Aku cengo sempurna. Gadis ini memang pandai membuatku kaget seperti orang bodoh.

"Aku serius akan menikah dua bulan lagi," ucap Gea girang. "Kau harus datang, kakakku merindukanmu."

Aku tertawa. "Kakakmu? Untuk apa merindukanku? Dasar menyebalkan!"

Gea diam seketika, membuatku bingung apa yang salah dengan ucapanku. "Na, jika aku melamarmu sebagai seorang kakak ipar, apa kaumau?" ucap Gea. Kulihat Gea membenarkan posisinya menjadi duduk dan menatapku dari layar dengan serius. "Aku rasa empat tahun bukanlah waktu yang singkat untuk kau memulai kehidupan yang baru."

Aku tergelak. "Apa yang kaubicarakan, Bodoh?" tanyaku jenaka. "Becandamu benar-benar!"

"Aku tidak becanda, Shalena. Aku sedang membicarakan hidup dan perasaan. Tidak mungkin aku becanda."

Hening.

"Shalena, dengar. Mungkin ini hal konyol menurutmu. Tapi aku benar-benar bisa merasakan ada sesuatu di antara kalian. Sesuatu yang tidak bisa dilihat, tetapi bisa dirasakan."

"Kau terlalu banyak menonton drama!" elakku.

"Baiklah. Tapi bukankah aku pernah bilang bahwa sekarang kakakku berubah? Dia tidak lagi berkencan dengan wanita," ucap Gea lagi. Aku mengangguk singkat. Sekitar setahun setelah aku pergi, Gea memang pernah bercerita perihal perubahan Keyshon. Lelaki itu tidak lagi membawa wanita ke rumah dan memang tidak pernah lagi berkencan meski di luar sekali pun. "Kautahu karena apa?" tanyanya. Aku menggeleng.

Kutatap George yang sedang bermain dengan robot-robotan yang sengaja kubeli jika saja George bermain, agar anak itu tidak bosan. Lantas kembali menatap layar ponsel dengan resah. Entah mengapa rasanya suasana jadi awkward begini.

"Karena dia mencintaimu, Shalena."

[][][]

GALABATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang