6. Kecupan Bibir

1.1K 39 0
                                    

Pukul dua lebih empat puluh menit, Evan pulang ke apartemen, wajahnya terlihat kusut.

"Kenapa, Van?" tanyaku.

Evan membuka jasnya dan duduk di sofa. "Duduk di sini!" Ia menepuk-nepuk sofa di sisinya.

Aku menurut, duduk di tempat yang ia mau, lantas menatap wajahnya. "Akhir-akhir ini kau sering sekali terlihat lelah, Van." Aku mendongak menatap wajahnya karena sekarang Evan sedang merengkuhku hingga aku mau tak mau bersandar di dada bidangnya.

"Hanya soal pekerjaan, Sayang. Papa membebankan banyak sekali tanggung jawab padaku."

Aku mengangguk beberapa kali sebagai respon. Sesekali mengelusi dadanya yang naik turun teratur. Ya menurut cerita Evan, orang tuanya tinggal di Yogyakarta, kota asal Mama Evan. Mereka ingin tinggal di sana sekaligus papanya menjalankan cabang perusahaan. Sedangkan itu, Evan menetap di Jakarta untuk mengurusi induk perusahaan. Jadi jelas saja jika Evan kelelahan dan stress.

"Jangan terlalu dipikirkan. Kau sudah makan?" tanyaku.

"Sudah. Kebetulan aku makan bersama klien tadi."

"Syukurlah kalau sudah," balasku. "Aku siapkan baju-baju untukmu, ya?"

Evan mengangguk dan tersenyum kecil. "Jangan banyak-banyak ya. Tiga baju saja, cukup."

"Memang kau akan di sana berapa hari?" tanyaku.

"Mungkin empat atau lima hari, Sayang. Aku tidak tahu." Evan mengangkat bahu, lantas membuka sepatu dan kaus kakinya. Sedangkan aku dengan segera menyiapkan kebutuhan Evan selama di sana. Mungkin Evan berencana membeli baju baru saja, jadi aku turuti saja hanya memasukkan tiga pakaian ke dalam kopernya.

Selesai dengan mengemas barang-barang Evan, aku keluar dari kamar dan menemukan Evan terlelap dengan posisi punggung bersandar ke sandaran sofa dan kepala menengadah. Aku menghampirinya. Duduk di sisi laki-laki itu dan tersenyum.

Ya Tuhan, lagi-lagi kenapa aku tersenyum seperti orang bodoh?

"Van ..." Aku membangunkan Evan dengan lembut. Evan hanya menggeram pelan tanpa mau membuka mata.

Ponsel Evan yang tergeletak di atas meja berdering. Aku menepuk pipi Evan pelan, tetapi ia masih enggan membuka mata. Mungkin ia kelelahan. Kulirik ponsel Evan yang berdering lama. Di layar tersebut sebuah kontak bernama Angela terpampang.

Angela? Siapa Angela? Sepertinya aku belum pernah mendengar tentang gadis bernama Angela.

Baru saja aku ingin mengangkat, panggilannya keburu ditutup. Aku mendesah panjang. Kemudian aku membuka history call karena kebetulan ponsel Evan tidak dikunci. Kontak bernama Angela itu sering menghubungi Evan dan rata-rata semua panggilan dari kontak itu tidak terjawab. Dari lebih dari sepuluh kali panggilan dalam sehari, yang Evan jawab hanya sekali, itu pun tak pernah ada yang lewat dari dua menit. Siapa sebenarnya Angela ini? Aku penasaran.

Baru saja aku ingin mengklik papan pesan, ponselnya kembali berdering. Angela lagi! Karena penasaran, segera saja kuangkat panggilan itu.

"Kak? Aku menelponmu dari tadi. Kenapa kau tidak mengangkatnya?" Suara imut di seberang sana menyahut.

Aku terdiam sejenak. Kak? Kakak? Siapa Angela ini sebenarnya? Kenapa dia memanggil Evan dengan embel-embel Kakak? Apakah adiknya Evan? Tapi bukankah Evan ini anak tunggal?

"Hallo, Angela? Ini bukan Evan." Hening beberapa saat. "Angela, kau masih di sana?"

"Ah, ya hallo? Kak Evan-nya ke mana?" tanyanya lagi.

"Evan sedang tidur. Dia kelelahan. Ada perlu apa menghubungi Evan?"

"Oh, ah. Itu, anu ... Saya mau tanya soal magang. Iya, saya mau magang di perusahaan Kak Evan atas usul dari kampus."

GALABATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang