2.1 Kumohon!

1.5K 69 2
                                    

Akhirnya, perjalanan setengah jam yang terasa satu abad itu selesai. Aku turun dari dalam mobil mewah Keyshon. Memasuki rumah sakit besar tempat Gea dirawat. Keyshon mengikuti dari belakang dengan langkah angkuh yang meskipun begitu, masih tetap saja banyak wanita yang menatap takjub terhadapnya.

Sampai di depan ruang inap Gea, aku menatap Keyshon sejenak. Ada kesenduan yang terpancar dari bola mata hazelnya yang tajam. Aku membuka pintu ruangan itu, kemudian masuk lebih dalam, melewati dua ranjang pasien lain yang juga ditempatkan di ruangan yang sama bersama Gea.

"Kau menempatkan Gea di ruangan ini?" tanya Keyshon tak percaya.

Aku tetap melangkah ke ranjang Gea yang berada di ujung. Lalu menjawab, "Kau pikir? Ini rumah sakit besar, aku tak memiliki biaya untuk menempatkan Gea di ruang VIP jika itu yang kau inginkan. Lagi pula, ini sudah lebih baik daripada aku menempatkan Gea di ruangan yang isinya sepuluh pasien."

Hanya helaan napas panjang yang kudengar dari Keyshon, lagi pula kami sudah sampai di depan Gea. Gadis itu ternyata sudah terlelap. Wajar saja, sih, sudah jam sebelas malam saat ini.

"Dek ..." Keyshon bergumam lirih lantas berjongkok di sisi ranjang Gea sambil menyentuh puncak kepala gadis itu.

Aku dapat melihat banyak kesedihan di balik sorot mata lelaki itu. Meski raut wajahnya datar, tetapi matanya begitu sendu. Ya, setidaknya aku tenang, masih ada yang peduli pada Gea.

Hampir sepuluh menit aku hanya memandangi Gea yang terlelap dan Keyshon yang hanya terdiam sambil terus menempelkan punggung tangan Gea ke pipinya. Ponselku berdering ketika aku baru saja ingin menghampiri Gea yang baru saja membuka kelopak matanya. Aku memberi kode kepada Gea yang menatapku-- untuk mengangkat panggilan yang ternyata dari Evan.

"Hallo, Van? Ada apa?" tanyaku ketika aku sudah di luar kamar inap Gea.

"Kamu di mana, Shalena? Aku ke tempatmu tapi kamu tidak ada," jawab suara di seberang sana.

Aku menghela napas sejenak, kemudian menjawab, "Aku di suatu tempat. Ada apa menemuiku, Van? Apa kamu sudah melupakan perasaanmu itu?" tanyaku.

Kini, giliran suara di seberang sana yang terdengar menghela napas panjang. "Aku tidak bisa, Shalena. Jangan paksa aku untuk melupakan perasaan aku sama kamu!"

"Dan aku juga tidak bisa dipaksa, Van. Aku tidak bisa menerima cinta kamu."

Aku berjalan mundur  dan menyandarkan punggungku di dinding dengan kepala menengadah frustasi.

"Shalena, kumohon!" Evan melirih di sana. Tapi aku bisa apa? Aku tidak ingin dipermainkan dengan kata cinta, meski sebenarnya di dekat Evan aku merasa nyaman.

"Van, lupakan perasaan kamu sama aku, setelah itu kita bisa sama-sama lagi," ucapku tegas. Aku tak ingin memberi harapan sekecil apa pun, karena aku takut pada akhirnya akan ada yang terluka. Jika itu bukan hatiku, sudah pasti itu adalah hati Evan.

"Kamu di mana? Aku mau ketemu kamu. Tolong, Shalena ..."

"Van!"

"Sekali ini saja, aku ingin bicara secara langsung, Shalena. Kumohon!"

Aku berpikir sejenak. Menimbang keputusan apakah aku harus menemuinya atau tidak. Setelah lebih dari sepuluh detik terdiam, akhirnya aku mengiyakan permintaan Evan.

Aku masuk ke dalam kamar inap Gea lagi, dan kulihat Gea tengah berbincang dengan Keyshon. Aku bersyukur sahabatku itu sudah bisa tersenyum. Sebelumnya, sekitar dua minggu lalu ketika ia menelponku dengan rintihan kesakitannya, dan aku membawanya ke rumah sakit, ia tak pernah tersenyum selebar itu. Yang dilakukannya hanya terdiam, dan sesekali aku mendengarnya menangis. Tak ada yang diceritakan Gea, ia hanya berbicara soal orang tuanya yang bercerai dan melupakan anaknya, sehingga Gea tak ingin menemui mereka.

Sungguh, aku pikir hidup Gea sempurna, tetapi ternyata ia juga memiliki masalah yang tak kalah besar dariku. Dan aku sadar, tak ada orang yang memiliki hidup sempurna di dunia ini. Sesempurna apa pun hidup seseorang, pasti akan ada masalah yang menjadi cobaan dalam hidup mereka, termasuk Gea. Kini, tak ada lagi Gea yang sering tertawa kencang dan riang. Yang ada hanya Gea yang pendiam, Gea yang murung dan bersedih sepanjang hari.

"Ge, aku tidak bisa menemanimu di sini malam ini. Tidak apa, kan?" ucapku pada Gea.

"Sudah ada aku, kakaknya. Jika kau ingin pergi, pergi saja!"

Aku menoleh pada Keyshon yang menatapku dengan dingin. Ya Tuhan, ke mana senyum lelaki itu ketika di kelab? Ingin rasanya aku mencekik leher pria itu karena sikap angkuhnya yang kentara. Menyebalkan!

"Aku bicara pada Gea, bukan padamu!" balasku disertai dengan tatapan tajam.

"Sudah sudah. Kenapa kalian malah berdebat?" Gea melerai pertikaian antara aku dengan kakaknya yang arogan itu. "Pergilah, Shalena. Aku tidak apa," balas Gea halus. Gadis itu memang lembut dan baik, selain itu juga... lemah. Sama sepertiku dua tahun lalu. Aku sungguh rindu riangnya Gea yang hampir setiap waktu tersenyum senang.

"Baiklah kalau begitu. Besok mau sarapan apa? Aku tahu kamu tidak akan memakan makanan dari sini."

Gea tersenyum. "Terserah kamu saja, asal itu bukan bubur rasa muntah kucing."

Aku tertawa pelan. Akhirnya, perlahan Gea-ku yang periang kembali. "Bagaimana kalau aku buatkan soto ayam bening? Kau mau?" tawarku senang. Ya, hampir setiap hari aku membawakan sarapan dengan menu berbeda untuk Gea.

"Tidak usah!" Baru saja Gea akan menjawab, Keyshon sudah terlebih dahulu menyela. "Nanti biar aku yang bawakan sarapan untuk Gea."

Aku menatap lelaki itu dengan kesal. "Tapi Gea sudah biasa aku buatkan--"

"Sekarang sudah ada aku, kakaknya!" ucap Keyshon menatapku dengan tatapannya yang membekukan.

"Kau!" Aku benar-benar kehilangan kata-kata menghadapi sikapnya yang luar biasa membuatku geram. Andai saja dia bukan kakaknya Gea, sudah kupastikan wajahnya yang tampan akan berakhir dengan luka bekas cakaran kuku-kukuku yang cantik. "Sudahlah, terserah!" ketusku. Lantas aku kembali menatap Gea yang hanya menonton perdebatanku dengan kakaknya. "Aku harus berangkat sekarang. Evan sudah menunggu. Kau baik-baik, ya?"

"Cih, pelangganmu?" Aku melirik Keyshon yang mendecih tak suka. "Kenapa kau mau berteman dengan gadis pedagang sepertinya, Gea?" Kalimat dengan nada penuh cemoohan itu sungguh membuatku muak melihat wajah tampan Keyshon.

"Kak, jangan begitu!"

"Katakan saja kalau aku adalah pelacur, tidak masalah karena itu memang kenyataannya, daripada harus dikatakan pelakor gara-gara sandiwara konyolmu!" sentakku sebelum pergi. Sungguh aku membenci pria arogan itu. Pria kaya, sombong, pematah hati wanita, dan arogan tentunya!

"Tunggu!" cegah lelaki itu. Aku menoleh dan menatapnya datar. "Aku akan transfer uangmu secepatnya."

Memutar bola mata dengan malas, aku menjawab, "Tidak usah! Aku membutuhkan uang itu untuk pengobatan Gea, dan aku tahu sekarang kau yang akan menanggung semua biayanya. Aku hanya minta kau jaga Gea dengan baik. Itu saja cukup bagiku!" Usai mengatakan rentetan kalimat panjang itu aku berlalu dengan kesal. Meninggalkan rumah sakit untuk menemui Evan, berusaha mengabaikan emosiku karena pria arogan bernama Keyshon Javier.

***

GALABATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang