7.2 Merindumu

891 30 0
                                    

Aku memasuki rumah Gea setelah satpam menyuruhku untuk langsung masuk atas perintah Gea. Pintu utama rumah mewah itu terbuka lebar. Aku memasukinya langsung. Aku pernah berkunjung ke rumah ini sekali, ketika Gea memintaku menemaninya karena tak ada orang di rumah, tentunya itu dua tahun lalu sebelum aku kabur dari rumah. Karena setelah aku kabur, aku tidak pernah berhubungan lagi dengan Gea, ketika itu aku benar-benar pergi sendiri, tanpa ingin merepotkan orang lain. Namun, empat bulan setelah itu, aku kembali bertemu dengan Gea di supermarket dan kami mulai berkomunikasi lagi bahkan sering keluar bersama. Ya, setelah itu kami benar-benar menjadi sahabat --yang sesungguhnya--

Rumah Gea tidak berubah, masih sama seperti dua tahun lalu. Mulai dari interior hingga suasananya yang hening.

"Non Shalena, ya?" tanya seorang wanita paruh baya ketika aku berjalan lambat di ruang tamu yang cukup besar.

Aku mengangguk. "Ya, Bi." balasku.

"Non Gea ada di kamarnya, di lantai atas. Non disuruh langsung ke sana. Mau saya antar?" tanya perempuan itu sopan.

"Tidak usah, Bi," jawabku yang langsung dibalas anggukan oleh si Bibi. "Kamar Gea masih di lantai dua dekat tangga, kan?" tanyaku.

"Iya, benar, Non."

Aku mengangguk kemudian melanjutkan langkah menuju kamar Gea. Dan ketika menaiki tangga, baru di anak tangga kelima, mataku menangkap pemandangan yang ... Shit! Dua sejoli yang saling memagut bibir di sofa yang kutaksir adalah ruang keluarga. Ghost, itu si pria sinting Keyshon! Dasar. Selain sombong, arogan dan menyebalkan, ternyata dia juga tidak punya otak! Bagaimana bisa dia berciuman di rumahnya --di sebuah ruangan terbuka-- seperti itu? Ayolah, ruang keluarga terletak tak jauh dari  tangga menuju lantai dua, di sisi kanan tangga lebih tepatnya. Apa dia tidak berpikir jika akan ada yang melihat adegan itu? Bisa saja si Bibi, orang tuanya atau bahkan Gea. Dasar tidak tahu malu. Meskipun aku pelacur, aku tidak mau diajak bercinta di tempat seperti itu, kecuali jika tak ada siapa-siapa.

Ah, sudahlah. Lupakan si pria gila, sebaiknya aku segera sampai di kamar Gea dan melupakan hal menjijikan mengenai Keyshon.

Tak seberapa lama, aku sampai di kamar Gea dan disambut heboh seperti biasa oleh gadis itu. Ya Tuhan, padahal dia baru saja sembuh. Tapi itulah Gea, heboh seperti biasa. Entah ke mana perginya kesedihan yang kemarin.

Hampir jam empat sore aku baru bergegas pulang setelah seharian menghabiskan waktu bersama Gea. Mulai dari mendengarkan cerita Gea tentang kekasihnya, Kyle, kemudian menonton drakor yang sebenarnya tidak aku sukai.

"Hati-hati di jalan, Shalena!" ucap Gea setelah aku selesai menyisir rambut.

"Ya. Kau istirahat. Makan dan minum obat teratur," gumamku.

Respons Gea? Alay! Dia memelukku erat. "Ya Tuhan, terimakasih, Shalena! Meskipun kau jadi galak, tapi kau masih peduli padaku!"

Astaga. Aku memutar bola mata dengan malas.

"Ya ya ya. Aku pulang!" ucapku. Gea mengangguk dan tersenyum lebar.

Mengambil tas selendangku di atas nakas, aku berjalan ke arah pintu dan ... Bugh!

"Ya Tuhan, Shalena!" pekikan keras Gea membuatku menoleh padanya sekilas, kemudian kembali menatap ke depan, lebih tepatnya ke wajah pria sialan yang barusan membuka pintu dengan keras hingga mengenai wajahku.

"Sorry!" Lelaki jangkung itu berucap pelan dengan wajah datar. Aku ingin mencekiknya sekarang juga. Benar, sekarang juga. Apa lagi ketika pria itu berjalan tenang ke arah Gea dan entah berbicara apa, tanpa rasa bersalah padaku.

Aku menghampirinya dan ... Bugh! Satu pukulan sepenuh tenaga menggunakan tasku ke kepalanya aku rasa sudah cukup. Keyshon meringis, kemudian menatapku dengan tajam.

"Apa! Kau ingin marah?" kataku dengan dagu dinaikkan tinggi-tinggi. "Jidatku lebih sakit karena benturan pintu yang dibuka orang gila sekaligus idiot dari pada kepalamu yang hanya kupukul dengan tas. Dasar menyebalkan!"

Usai mengatakan itu, aku berlalu meninggalkan Keyshon dan Gea yang hanya cengo. Tapi tentu sebelum itu, aku sempatkan terlebih dahulu menginjak kaki Keyshon dengan keras sehingga ia meringis. Rasakan! Wedges sepuluh sentiku, kan, lumayan bisa bikin memar jika dipakai menginjak. Aku tersenyum lebar meski rasanya jidatku masih agak nyeri.

[][][]

GALABATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang