15.2 Menemukanmu

951 40 0
                                    

Meski mentari bersinar terik, tetapi udara sangat dingin, bahkan dinginnya membuat tulang-tulang terasa ngilu. Melilitkan syal di leher, aku berjalan di tepian danau Jenewa yang terhampar luas. Menatap satu persatu burung angsa yang berenang seraya menyapa setiap orang dengan suaranya.

Entah mengapa, sejak berbicara dengan Gea tentang Keyshon, aku merasa benar-benar gamang, sehingga kuputuskan untuk pergi keluar, mencari udara segar. Bodoh, apa yang sebenarnya kupikirkan? Gea mengatakan itu tanpa ada alasan logis. Bisa saja perasaan Keyshon yang dia maksud itu salah, kan? Tapi otakku benar-benar menolak untuk melupakan apa yang Gea ucapkan. Sehingga akhirnya, bayangan-bayangan lelaki itu muncul.

Wajah lelaki itu yang sebulan lalu hadir menghiasi tv internasional tiba-tiba menyapa. Saat lelaki itu tersenyum dengan tuxedo hitamnya yang gagah. Tidak banyak yang berubah darinya, selain dari wajahnya yang terlihat lebih dewasa dan karier film hasil produksinya yang sekarang selalu masuk menjadi box office.

Seraya memandangi danau Jenewa di depan pagar yang menjadi pembatas danau itu, kukatupkan tanganku di depan wajah dan meniupnya. Aku lupa memakai sarung tangan, dan ini benar-benar dingin. Tiba-tiba lengan besar menyodorkan sepasang sarung tangan berwarna biru bergaris di hadapanku.

"Pakailah," gumam pemilik lengan itu dengan bahasa Indonesia.

"Terimakasih."

Aku menerima sarung tangan itu dan menatap sang empunya. Kemudian, aku bergeming dengan jantung yang hampir saja melompat dari tempatnya.

"Kau," gumamku pelan. Bahkan itu terdengar seperti bisikan.

"Hai, apa kabar?"

Senyuman itu, astaga! Aku ingin mati sekarang. Ada apa dengan jantungku? Ada apa dengan jantungku? Katakan bahwa aku sedang berhalusinasi! Tidak mungkin orang yang sejak tadi menari di pikiranku tiba-tiba ada di sini, berdiri dengan nyata sambil tersenyum. Tidak tidak. Keyshon dulu orang yang menyebalkan. Dia tidak menyukaiku.

"Shalena?" Pria di depanku kembali berkata.

Aku benar-benar gila. Seraya memakai sarung tangan, aku berjalan meninggalkan lelaki itu. Aku yakin ini halusinasi. Ini halusinasi. Titik.

"Shalena, apa kaumarah?"

Ya Tuhan, bayangan laki-laki itu mengikutiku. Aku harus bagaimana? Argh, ini karena Gea! Dia harus bertanggung jawab karena membuatku gila seperti ini.

"Shalena!"

Dia memegang lenganku, dan ... hangat. Dia benar-benar nyata. Nyata.

"Apa kaumarah padaku?"

Aku mengerjap. Astaga, dia benar-benar nyata. Dia hangat, dan sarung tangan yang dia berikan juga nyata.

"Aku, ah, maaf." Aku bergumam tak jelas. Bingung harus berkata apa. "Aku kira tadi, aku salah orang. Aku kira itu bukan kau."

Lelaki itu tersenyum tipis. "Aku tahu, kau shock melihatku ada di sini, kan?" tanyanya. "Sampai-sampai kaumeremas tanganku begitu kuat," lanjutnya lagi sambil melirik ke tanganku yang ... astaga! Aku meremas tangannya!

"Ah, ya. Maaf," gumamku bodoh. Aihhs, aku malu sekali! Dengan segera aku melengos, tak ingin melihat senyumannya yang membuat pertahananku runtuh. Itu berbeda dari senyumnya empat tahun lalu ketika kami bertemu di club. Bukan senyuman menggoda, tetapi senyuman lembut yang ... ah, hentikan pemikiran bodoh apa pun yang mulai hinggap di kepala. Aku bisa gila!

"Akhirnya aku menemukanmu." Sayup-sayup aku mendengar Keyshon bergumam.

"Apa?" tanyaku seketika.

Dia tersenyum, lagi. "Tidak ada. Kau sudah makan siang?" tanyanya. Aku menggeleng ragu. "Tidak keberatan kalau aku memintamu untuk menemaniku makan siang? Kurasa kau pasti tahu tempat makan yang bagus di sini," lanjutnya.

Aku mengangguk. Berusaha menormalkan detak jantung dan bersikap biasa saja. Meski pada kenyataannya, ucapan Gea tadi pagi benar-benar mengganggu pikiranku.

"Waw, benar-benar pilihan yang bagus," gumam Keyshon ketika aku membawanya menuju Cottage Cafe.

"Ini kafe langgananku," jawabku sambil tersenyum kecil.

Keyshon mengangguk-angguk. "Jadi, selama empat tahun ini kau tinggal di Jenewa?" tanyanya.

"Yah, seperti yang kaulihat. Aku ada di sini," kataku, berusaha mengalihkan tatapan kepada hal lain selain dari matanya.

Aku benar-benar terjebak dalam suasana yang sangat menyebalkan. Di mana aku duduk di hadapan laki-laki yang bahkan sejak tadi pagi berusaha aku enyahkan dari pikiran. Ini benar-benar mengganggu kinerja jantungku. Sial. Andai Aline ada di sini, dia pasti akan tertawa melihatku yang berubah jadi kaku seperti ini.

"Aku pernah beberapa kali ke sini sepanjang empat tahun kaupindah." Keyshon berkata santai sambil memainkan gelas berisi wine putih khas negara Swiss yang sudah ia tenggak setengahnya.

"O yah? Hm, tentu, aku lupa. Kau produser hebat. Sudah tidak aneh kalau kau berkeliling dunia," gumamku.

"Yah, seperti itulah." Dia mengangkat bahu dengan acuh.

Sikap angkuhnya masih sama. Menyebalkan, tapi ini terlihat lucu sekarang.

Tidak ada banyak hal yang kami bicarakan sepanjang makan siang berlangsung. Aku yang masih tak menyangka bertemu dengannya secepat ini hanya terdiam karena masih shock. Sedangkan Keyshon sendiri juga tidak banyak bicara itu dan ini. Ia lebih banyak diam dan memperhatikanku. Membuat suasana benar-benar menjadi awkward saja.

[][][]

GALABATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang