7.3 Merindumu

898 30 0
                                    

Angin malam berembus menerpa kulit wajahku yang dingin. Dengan ponsel di genggaman, kunyalakan sebuah lagu dari Ed Sheeran dengan judul photograph. Langit gelap, tanpa setitik bintang yang hadir menghiasi kelamnya. Bulan bersembunyi, enggan menampakkan dirinya, tetapi entah mengapa aku betah memandangi langit meski polos. Ah, bukankah aku memang menyukai malam, entah itu saat langit bertabur bintang atau pun tidak.

Aku tersenyum, sedikit. Kemudian mataku kualihkan dari langit, menuju ponselku. Jemariku dengan lihai mengetik kata demi kata di sebuah room chat Evan di aplikasi WhatsApp.

To: Evan
Van?

Pesan terkirim dengan tanda centang dua, tetapi sudah dua menit berlalu dan tanda centang itu belum juga berubah jadi biru. Jemariku kembali mengetik pesan singkat untuknya.

To: Evan
Kau ke mana? Sejak pagi kau tak ada kabar, Van? Apa kau sangat sibuk?

Setelah menunggu cukup lama dan tak ada jawaban sama sekali, aku menutup aplikasi itu dan mematikan data. Mungkin Evan sibuk, aku harus positif thinking. Tapi ... Ah, ingin rasanya aku berteriak! Kenapa Evan tak bisa menyempatkan sedikit pun waktunya untuk sekadar memberiku kabar sehingga aku tidak akan uring-uringan dan cemas tak jelas seperti ini!?

Dan sialnya lagi, musik berganti menjadi lagu Tanya Hati dari Pasto. Sial, aku jadi tambah mellow. Dengan kesal, kumatikan pemutar musik di ponselku dan masuk ke dalam kamar. Membanting ponsel itu ke atas ranjang dan aku menenggelamkan wajah di bantal. Dan ...

"Argh!" Aku terduduk kesal. "Evan sialan! Aku merindukanmu, tapi kau tidak mengabariku, dan kenapa aroma tubuhmu membekas di sini?" Tak henti-hentinya aku mengerang frustasi. Ya Tuhan, aku merindukan Evan. Aku merindukannya padahal dia baru dua hari pergi.

Aku menghempaskan tubuh ke belakang, sehingga kini posisiku telentang di atas ranjang bersprei putih yang sialnya beraroma tubuh Evan. Aku rindu mengendus dada bidangnya!

Shalena, kau payah jika berurusan dengan perasaan!

[][][]

Suara ponsel yang nyaring memaksaku untuk membuka mata. Entah siapa orang gila yang menelpon di pagi buta seperti ini. Padahal aku baru bisa tidur pukul satu dini hari, aku masih mengantuk, Ghost!

"Hallo?" kataku dengan suara serak khas bangun tidur.

"Selamat pagi, Sayang!"

Evan? Mataku tiba-tiba saja segar. Aku bangun dengan segera. Menyelipkan anak-anak rambutku ke belakang telinga dan memejamkan mata sejenak sebelum aku meledak.

"Kenapa baru menghubungiku, Brengsek? Aku menunggumu dari kemarin!" semburku kesal.

"Sayang, maaf. Ponselku kemarin hilang, aku lupa menyimpannya."

"Kenapa tidak mengabariku dulu!?"

"Bagaimana bisa? Aku bilang ponselku hilang."

Seketika aku merasa tolol. Ya, ponselnya hilang, terus bagaimana Evan bisa menghubungiku? Tidak mungkin, kan, Evan konfirmasi dulu padaku kalau ponselnya akan hilang? Astaga, aku bodoh!

"Ya ya ya. Aku hanya merasa ... Ah, sudahlah. Aku masih ngantuk, Van!"

Evan terkekeh di sana. "Baik baik. Maafkan aku. Sekarang tidur lagi, My Queen. I love you!"

"Hm, ya." Tuuuut. Mati sepihak! -__-"

Apa-apaan dia itu? Ya Tuhan, aku belum menjawab secara utuh, Evan sialan!

Ah, aku membanting kembali tubuhku ke belakang dan memejamkan mata, tetapi sialnya mataku sudah terlanjur terbuka sehingga sulit untuk terlelap lagi. Kulihat jam di ponselku, masih pukul lima pagi lebih dua belas menit. Astaga, ini semua gara-gara Evan. Aku sulit tidur semalaman karena dia, kemudian ketika aku sudah tidur dia menelponku pagi buta begini. Dan yang paling mengesalkan, dia tak tanggung jawab dengan keadaanku yang sudah terlanjur bangun karena kelakuannya!

Hah, dari pada seperti ini, kuputuskan untuk mencuci muka dan membuat sarapan. Nyawaku sudah terlanjur terkumpul sehingga sulit untuk terlelap lagi. Dan setelah ini aku benar-benar tidak akan mengangkat telepon Evan. Aku marah.

Geez, aku berhasil menjalankan misi balas dendamku pada Evan. Selama dua hari aku mati-matian tidak tergiur untuk mengangkat atau pun membalas pesan singkatnya. Meski aku rindu, ya, rindu setengah mati, tetapi aku kesal. Aku kekanakan? Terserah.

Pagi hari yang sungguh menyebalkan. Aku tidak tahu akan melakukan apa hari ini. Rasanya hidupku terlalu datar. Setiap hari aku hanya tidur, makan, nonton, bebenah rumah dan rutinitas monoton lainnya. Ya Tuhan, apa aku tidak akan cepat tua? Entahlah, hanya Tuhan yang tahu.

Setelah mandi, kuputuskan untuk membuat sarapan. Dan sepertinya kali ini, aku cukup membuat bakwan jagung dan sup bening saja. Itu simpel, bukan?

Hampir lima belas menit aku berkutat di dapur. Mulai dari memotong sayuran kemudian mencucinya, lalu mengiris jagung untuk dicampurkan dengan terigu dan bahan lain. Kunyalakan kompor dan memastikan air yang digunakan untuk merebus sayuran sekaligus menjadi kuah sup bening cukup sesuai takaran, kemudian panci itu kuletakkan di atas kompor tersebut. Sementara menunggu air itu mendidih, aku membuat adonan bakwan jagung. Baru saja aku mengaduk adonan, sebuah lengan tiba-tiba melingkar di perutku sehingga aku memekik keras.

"Evan!" teriakku. Ya Tuhan, dia benar-benar.

"Hehe, selamat pagi, My Queen!"

"Kau gila, Van? Aku sedang memasak!" ketusku.

Evan mengerucutkan bibir dan memelukku lagi. "Tidak rindu?" tanyanya.

Aku menggeleng pelan. "Tidak. Aku tidak rindu."

"Bohong."

"Tidak."

"Kau merindukanku, tapi gengsi." Evan terkekeh pelan dan aku meninju perutnya sehingga dia memekik. "Ya Tuhan, galak sekali!" ringisnya tertahan.

Aku mengangkat kedua sudut bibirku dengan lebar. "Makanya, jangan ganggu. Tunggu saja di meja makan. Aku belum selesai memasak!" ketusku yang lalu membelakangi Evan dan kembali fokus pada masakanku. Tapi, diam-diam aku tersenyum juga. Akhirnya, Evan pulang!

"Jangan protes apa pun kalau makanan ini tidak enak. Aku tidak ikut kursus memasak," gumamku ketika menyajikan sarapan di atas meja.

Evan tersenyum. "Bagaimana pun rasa masakannya, aku tidak peduli. Yang penting, itu masakan yang dibuat oleh tangan istriku tercinta."

Aku speechless seketika. "Masih pagi. Berhenti melontarkan kata-kata manis, oke." Aku duduk dan kami makan dengan celotehan Evan seperti biasa. Dia banyak bicara, hampir sama seperti Gea. Tapi, Gea sepertinya tak bisa ditandingi. Ia jauh lebih banyak bicara ketimbang Evan.

"Masih marah?" tanya Evan ketika aku hanya menanggapi ceritanya dengan anggukan dan jawaban singkat.

"Apanya?" tanyaku.

"Kau. Kau masih marah karena waktu itu aku tak mengabarimu?"

"Untuk apa marah?"

"Karena kau rindu!"

Uhuk. Aku tersedak tulang ceker ayam seketika. Ya Tuhan, apa-apaan Evan ini? Kenapa dia mengatakan hal yang iya-iya? -__-!

"Minum, Sayang!" Evan menyodorkan air padaku. Aku menerimanya. "Lain kali hati-hati kalau makan. Jangan terburu-buru."

Aku bukan terburu-buru, Bodoh! Tapi aku tercyduk. Astaga.

[][][]

GALABATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang