17. Indonesia, Aku Kembali! Luka, Aku Pulang!

820 34 0
                                    

Bandara Soekarno Hatta.

Dua minggu menuju hari pernikahan Gea. Aku tidak tahan lagi mendengar ocehannya yang setiap saat bertanya kapan aku pulang. Menghentikan taksi, kuputuskan untuk menuju apartemen lamaku. Mungkin beristirahat sejenak sebelum aku menemui Gea adalah hal terbaik.

Tak ada yang berubah dari bangunan apartemen ini, terkecuali lobi yang sekarang terdapat beberapa guci besar berisi bunga di beberapa sudut. Ruangan milikku masih bersih karena memang ada petugas yang rutin datang untuk merapikan apartemenku seminggu sekali. Setelah memejamkan mata beberapa detik di atas sofa, aku berjalan ke balkon. Menatap jalanan kota Jakarta yang padat merayap dari atas lantai 10 ini. Aku kehilangan udara segarku di Jenewa, dan kembali menghirup udara sesak Jakarta. Dan yang lebih penting dari itu, aku kehilangan ketenangan dan akan bertemu kembali dengan luka. Ya, kuharap luka yang tak akan sakit lagi.

Hai, Ibu, apa kabar? Barry, Evan? Aku tersenyum pahit.

Berdamai dengan masa lalu. Tiba-tiba kalimat Nyonya Amber melintas dalam benak begitu saja. Benar, aku harus berdamai dengan masa lalu.

Baru saja aku hendak mandi, ponselku berbunyi. Panggilan WhatsApp dari Gea ternyata.

"Ya, aku sudah di Jakarta," ucapku, padahal Gea belum bertanya apa pun.

"Serius!?" tanyanya antusias.

Oke, seharusnya aku belajar dari pengalaman. Berbicara dengan Gea harus memakai pengaman telinga. Minimalnya kapas. Anak itu memang benar-benar titisan toa masjid.

"Kaupikir aku becanda?" tanyaku lagi.

Gea cekikikan di sana. "Tidak," jawabnya. "Sekarang di mana?"

"Di Jakarta."

"Shalena!"

"Apa?"

"Kau sedang di mana? Katakan secara spesifik," rengek Gea lagi.

Aku terkekeh. "Ya, aku di apartemenku yang dulu."

"Ke rumahku, ya?" tanya Gea, terdengar sedikit memaksa. "Tadinya aku yang mau ke sana. Tapi Mama melarang, katanya dipingit."

Aku tertawa gemas mendengar curahan hati Gea yang menyedihkan.

"Uh, calon pengantin!" godaku. "Nanti aku ke sana, setelah menemui Ibu."

Hening beberapa saat. "Ibu? Maksudmu..."

"Yah, ibuku. Ibu Melia, siapa lagi?" aku tertawa.

"Shalena!"

"Hm?"

"Kauyakin?" tanya Gea di seberang sana.

"Kenapa bertanya begitu? Tentu saja yakin. Empat tahun aku di negeri orang. Menemui Ibu sudah seharusnya ketika aku pulang."

Terdengar helaan napas panjang Gea. "Ya, kautahu maksudku, Na." Aku mengangguk paham, meski sadar Gea tidak akan tahu apa yang kulakukan. "Kau bisa pergi sendiri? Atau perlu kutemani?" tawar Gea.

"Kaubilang kau dipingit. Aku bisa pergi sendiri," balasku.

"Yah, aku bisa kabur. Setidaknya selama Mama lengah jika kau tak bisa pergi sendiri." Gea terkekeh sumbang. Aku tertawa.

Entahlah. Ada perasaan sedikit baik ketika aku kembali. Aku sungguh menemukan diriku yang tenang sekarang. Mungkin, karena pengaruh positif yang ditularkan oleh keluarga Nyonya Amber. Ah, aku sangat beruntung karena ini.

"Beristirahatlah dengan baik, dengar apa kata mamamu. Kau sudah mau menikah, jadi bersikap wajar dan buang sedikit demi sedikit kelakuanmu yang sering membuat orang menggelengkan kepala."

GALABATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang