21.1 Seseorang untuk Berbagi

709 27 0
                                    

"Tolong letakkan rangkain bunga ini di depan!" titahku pada seorang tukang. Kebetulan, saat ini aku sedang berada di gedung tempat resepsi pernikahan Gea akan digelar besok.

Orang-orang berlalu lalang, mengurusi berbagai hal untuk persiapan pesta. Seharusnya aku tidak di sini. Seharusnya aku menemani Gea. Tapi sungguh, aku tidak mau hanya diam mendengarkannya terus merengek bertanya tentang keadaanku. Aku baik-baik saja. Ralat. Aku sedang berusaha baik-baik saja.

Hari sudah menjelang sore. Aku duduk di salah satu sudut ruangan besar itu, mengamati para pekerja sampai tak terasa semuanya hampir selesai.

"Apa kau butuh pundak?"

Aku menoleh ke samping kiri, begitu suara bass yang kukenal masuk ke dalam indera pendengaranku. Senyum kecil kutujukan padanya, pada Keyshon.

"Untuk apa pundak?" jawabku jenaka, "aku lebih membutuhkan makan daripada pundak, Key. Perutku lapar." Aku terkekeh garing, berusaha mencairkan suasana, dan juga hatiku.

Keyshon duduk di sisiku dengan tatapan teduh yang sungguh, dulu aku tak pernah melihat itu. Kau tahu betul, bukan, dulu Keyshon adalah laki-laki menyebalkan yang sering berdebat denganku hanya karena hal-hal sepele? Dan melihat tatapan ini sekarang, rasanya... ah, entahlah.

"Sampai kapan kau akan berpura-pura baik-baik saja?" tanya Keyshon. Ia tersenyum kecil. Senyum yang aku sama sekali tidak tahu apa artinya.

"Kau bicara apa? Aku memang baik-baik saja." Lagi-lagi aku terkekeh sumbang, seraya menyelipkan helaian rambut yang kupotong sebahu tadi pagi ke belakang telinga.

"Kau yakin?" delik lelaki itu. Segera, aku mengalihkan tatapanku dari matanya. "Kau tidak baik-baik saja. Kau hanya berpura-pura."

Dia benar-benar menghancurkan pertahananku selama dua hari ini. Sungguh!

"Kau menghindari semua orang semenjak kematian Ibu. Kau juga menghindariku. Yang lebih penting dari itu, kau selalu menebar senyum. Senyum palsu yang bahkan tak sampai ke matamu."

Hening. Aku tak ingin menatap atau pun membalas ucapannya. Dia terlalu memahami semua. Bahkan dia mampu memahamiku melebihi aku memahami diriku sendiri. Aku senang, tetapi terkadang juga membenci hal itu.

Tubuhku tersentak saat ia menarikku ke dalam dekapannya. Ingin berontak, tapi tak bisa. Ia telah memukul telak hatiku. Ia telah membongkar topeng yang sengaja kupasang beberapa hari ini di depan semua orang, juga di depan diriku sendiri.

Aku benci ini semua. Tapi juga, aku membutuhkan pelukannya. Keyshon, dia... entah mengapa hanya di dekapannya aku merasa aku tidak perlu lagi berpura-pura tegar. Perlahan, buliran bening mengalir dari kedua sudut mataku. Tanganku terulur, membalas pelukannya erat, dan aku terisak di dada bidangnya.

Sekarang aku sadar, yang aku butuhkan selama ini adalah seseorang untuk berbagi, seseorang yang mampu mengerti dan memahami, seseorang yang mau membagi pundak untuk kubersandar, dan seseorang yang tulus berdiri di sisiku.

Beban-beban berat yang membuat perasaanku kosong beberapa hari ini perlahan terangkat. Aku merasakan hatiku menghangat. Dia telah menyentuhnya, menyentuh hatiku. Meski aku ragu sudah mencintainya, tetapi hatiku telah memilihnya. Ya, dia. Keyshon Javier Wilson.

"Menangislah. Jangan kautahan lagi."

"Aku membasahi kemejamu," bisikku serak.

Kurasakan tangannya mengelus lembut rambutku. "Tidak apa. Itu tidak masalah selama kau baik-baik saja," jawabnya, yang hanya kubalas dengan anggukkan, kemudian kembali menenggelamkan kepala di dada bidangnya.

Aku tidak menangis lagi. Kali ini aku hanya menyandarkan kepalaku untuk membagi lelah. Juga, untuk mendengar nyanyian detak jantungnya yang entah mengapa membuatku merasa damai.

Kupikir aku gila. Aku tenggelam dalam kehangatan pelukannya, sampai aku tak menyadari apa-apa hingga ia berbicara.

"Kau lapar?"

Mendongak, dan jarak antara wajahku dan wajahnya begitu dekat. Ini sungguh sulit dipercaya. Mataku terpaku pada permata indah miliknya yang juga menatap mataku. Sialnya yang lebih memalukan, aku malah menyisir setiap inci wajahnya dengan tatapanku. Mulai dari alis tebal yang rapi, iris hazel dengan tatapan yang tajam, hidung kokoh yang mancung, bibir penuh berwarna merah alami, dan terakhir, rahang tegas yang menjadikannya sempurna. Kurasa, Dewa Yunani saja iri dan merasa tersaingi oleh ketampanan Keyshon. Benar-benar mahakarya Tuhan yang luar biasa. Aku sungguh berterimakasih kepada Tuhan karena telah menciptakannya.

Aku mengerjap saat Keyshon memiringkan kepala dengan tatapannya yang memicing. Segera, aku melerai pelukan dan mengusap sisa-sisa air mataku. Jantungku hampir saja meloncat saat Keyshon menepuk pucuk kepalaku tiga kali.

"Sudah baikan?" tanyanya. Aku hanya mengangguk bodoh. "Kalau begitu, ayo makan. Perutmu sudah berbunyi."

Eh? Aku mengerjap bingung beberapa saat. Setelahnya aku meringis malu, pasti tadi perutku berbunyi dan aku tidak menyadarinya. Ck, memalukan!

Keyshon tersenyum kecil dan membawaku berdiri segera. Kami keluar dari aula itu, dan aku baru menyadari bahwa para tukang sudah tidak ada, dekor juga sudah selesai.

"Setelah ini, jika kau terluka, panggil aku. Pundakku akan selalu setia menjadi sandaranmu."

***

GALABATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang