3.3 Kenapa Aku?

1.1K 43 0
                                    

Asap soto ayam bening mengepul di dalam panci dengan wangi yang begitu menggoda. Aku menuangkannya perlahan ke dalam tupperware yang biasa aku bawa ke rumah sakit. Setelahnya, kutaburi bawang goreng dan jeruk nipis di atas soto itu. Aku mendesah lega, memasukkan dua tupperware berisi soto dan nasi yang agak lembek untuk sarapan Gea.

Sudah pukul tujuh lewat tiga puluh lima menit. Aku akan berangkat untuk mengantarkan sarapan sehat ini. Dengan sedikit senyuman, aku mengambil tas selempang miniku dan menenteng kresek yang berisi sarapan Gea.

Tak lebih dari dua puluh menit, aku sudah sampai di rumah sakit. Dengan langkah angkuh seperti biasa, aku berjalan ke ruang inap Gea, dan ... nihil. Gea tidak ada. Apa dia sudah pulang? Atau mungkin pindah ruangan? Sepertinya opsi kedua lebih masuk akal. Tiga hari lalu dokter mengatakan bahwa kondisi Gea masih belum pulih, penyakit typus yang Gea derita sedikit parah. Maka aku memutuskan untuk bertanya pada resepsionis depan. Dan ya, benar saja, Gea sudah dipindahkan ke ruang VIP. Jelas itu pasti karena kakaknya yang arogan dan sombong itu.

Aku masuk ke dalam ruang VIP yang disebutkan petugas dan menemukan Gea tengah duduk sambil membaca buku yang kutaksir itu adalah novel romance. Ruangannya cukup luas. Dan di sisi ruangan terdapat sofa besar yang bodohnya ditiduri oleh makhluk mengesalkan bernama Keyshon. Apa-apaan dia itu? Ini sudah jam delapan dan dia masih tidur. Sedangkan pasien yang ia jaga saja sudah segar dengan bacaan di tangannya.

"Shalena!" pekik Gea tertahan. Ya Tuhan, dia sepertinya sudah membaik. Lihat saja tingkahnya yang sudah mulai heboh, meski tak seheboh dulu.

"Ge, jangan coba-coba! Lihat, masih banyak selang yang menempel di tubuhmu!" peringatku begitu Gea hendak beranjak memelukku. Tak jadi, ia hanya meringis sambil nyengir kuda sekarang.

"Maafkan aku. Aku terlalu senang kau datang. Kau tahu Shalena, aku lapar!"

"Ya ya. Aku tahu. Kau adalah makhluk teraneh yang pernah kutemui. Ketika orang lain akan merasa lemas saat lapar, kau justru kebalikannya!" Aku memutar bola mata dengan malas. Tapi sedikit menyunggingkan senyum begitu mendengar tawa Gea, meski pelan.

"Soto ayam!?" pekik Gea girang begitu ia membuka tupperware yang kubawa. "Ya Tuhan, cacing di perutku semakin bernyanyi rock and roll dengan keras sekarang!"

"Dasar bodoh!" celetukku setengah mencibir. Gea mendengar cibiranku, tetapi tak ia pedulikan. Sepertinya mendiamkan cacing di perutnya kali ini adalah yang paling utama untuk Gea. Ia makan lahap sekali. Sampai tersedak beberapa kali.

"Kau memberinya racun apa, ha!?"

Tiba-tiba tanganku yang tengah memberikan air mineral pada Gea, ditepis sebuah lengan kokoh. Aku meradang. Menatap dengan jengkel pada orang gila yang melakukan itu.

"Racun apa maksudmu!?" geramku, menahan untuk tak berteriak dan memukul atau mungkin mencakar wajah tampan tuan menyebalkan itu!

"Adikku tersedak beberapa kali. Kau pasti meracuninya!"

Aku membulatkan mata. Meracuni? Bodoh, untuk apa aku meracuni sahabatku sendiri?

"Aishh ... Dasar tukang nuduh sembarangan!" Aku berdecih. "Gea hanya tersedak. Bukan muntah darah atau kejang-kejang, Jerk!"

"Kak, apa yang dikatakan Shalena benar. Aku hanya tersedak karena terlalu lapar dan makan terburu-buru."

Aku menatap Gea yang barusan berbicara, kemudian menatap Keyshon lagi dengan kesal.

"Kau dengar, kan? Lain kali pikirkan dahulu apa yang ingin kau katakan!"

Lelaki itu nampak kesal sekarang. Kemudian berlalu dari hadapanku seperti anak kecil yang marah karena permennya hilang.

"Lain kali kalau menjaga orang sakit, kau harus bangun lebih dulu. Dia kelaparan dan kau malah asik ngorok!" Aku sengaja berteriak. Keyshon menoleh, lantas mengacungkan jari tengahnya sambil menatap kesal ke arahku. Aku? Masa bodoh!

"Kenapa cengengesan gitu, Ge? Ada yang lucu?" Aku mendelik pada Gea yang nyengir kuda seraya menatapku dengan tatapan innocent-nya.

Gea mengulum senyumnya. "Kau cocok bersanding dengan Kak Key, Shalena!"

"What!? Dasar teman durhaka! Mana mau aku dengan kakakmu yang bodoh dan mengesalkan itu? Di dekatnya beberapa detik saja aku merasa frustasi. Dan kau mau aku bersanding dengannya? Kau mau aku mati muda? Astaga! Sungguh kasihan hidupku nanti!"

Tawa Gea mengudara. Aku terpana. Gea? Dia tertawa lagi? Ya Tuhan ... Gea-ku kembali. Aku ingin memeluknya, tetapi gengsi, aku kan sedang kesal?

Gea tersedak lagi. Aku memutar bola mata dengan malas, lalu menyodorkannya air mineral.

"Itu namanya kualat!" ketusku.

Gea menatapku dengan jenaka. "Hati-hati loh, Sayang, cinta dan benci itu hanya terhalang oleh sehelai benang tipis, kata Shanty Agatha."

"Dasar korban baper novel! Makanya itu otak terlalu penuh dengan hal-hal dramatis yang memuakkan!"

Gea lagi-lagi tertawa. Baiklah, aku akui aku senang sahabatku yang satu itu kembali. Tapi dia menyebalkan. Sungguh.

"Habiskan makanannya dan minum obatmu! Kau mau si pria arogan yang notabene adalah kakakmu itu mengira lagi bahwa aku meracunimu?" ucapku sarkastis.

"Whohoho, jangan marah seperti itu, girl. Ya Tuhan, sahabatku memang jadi pemarah sekarang, selain jutek tentunya!"

"Ck! Dasar teman idiot!"

Gea nyengir. "By the way, terimakasih, Shalena. Kau tahu, kau adalah sahabat terbaikku, meski kau yang pendiam semakin diam dan jutek."

"Apa--"

"Tapi dengan Kak Key kau bisa melontarkan banyak kalimat panjang, Shalena." Gea melanjutkan ucapannya, seolah tak ingin aku menyela. Aku menghela napas, menyadari kebenaran yang Gea lontarkan. "Kau tidak pernah berbicara panjang lebar terhadap orang yang baru kau kenal. Tapi dengan Kak Key? Kau bisa ..."

"Itu karena dia menyebalkan, Ge."

"Tidak, Shalena. Kau dan Kak Key itu benar-benar sudah Tuhan takdirkan untuk bersatu."

"Dan kau siapa bisa menaksir takdir Tuhan?"

"Aku? Hambanya Tuhan?"

Aku kesal sendiri mendengar ocehan tak jelas Gea. "Bodoh!" jawabku datar.

"Ya Tuhan, calon Kakak ipar!" Gea kegirangan sendiri.

"Gea, berenti!"

"Kak Key pasti berubah kalau memiliki pasangan sepertimu, Kak. Dia itu pematah hati wanita. Tapi kalau kau yang jadi kekasihnya? Aku jamin Kak Key yang akan luluh."

"Berhenti berkhayal!" Aku melotot ke arahnya.

Gea terkikik dan akhirnya diam juga dia. Sungguh, jika Gea sudah sembuh seperti itu, menyebalkannya sangat membuatku kesal, tapi juga rindu.

[][][]

GALABATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang