Tiga Puluh

297K 17.8K 3.3K
                                    

Kamu mau ke mana, sayang? Mencoba membohongiku hm? Jangan harap karena aku punya mata-mata. Karena aku sedang sibuk, kali ini aku izinkan kamu bersenang-senang dengan sahabatmu. Aturannya masih sama, jangan sekali-kali kamu melanggarnya. Sedikit saja kamu melanggar aku pasti akan tahu.

Setelah membaca pesan dari suaminya, Liana mengedarkan pandangannya ke arah jalan. Nampak beberapa orang berdiri di samping mobil sedan yang berhenti tak jauh dari posisi Liana berdiri. Liana yakin, tiga laki-laki berbadan tegap dan besar itu adalah mata-mata yang Alka utus untuk mengawasi Liana. Tidak salah lagi, Liana bertemu dengan salah satu dari mereka di area kampus tadi. Di perpustakaan, taman, lorong kampus, dan terakhir tadi di kantin.
Sial, Alka mulai over lagi padanya.

"Liana, lo sama gue aja gimana? Gue masih sendiri kok, eh-- maksudnya sendiri nggak ada yang dibonceng" tawar Rasya pada Liana yang tengah berdiri sendirian menunggu supirnya datang sementara teman-temannya sudah pergi lebih dahulu.

Liana berpikir sejenak. Dia sebenarnya ingin menerima tawaran dari Rasya karena supirnya sudah mengatakan akan datang terlambat lantaran ban mobilnya bocor. Namun saat mengingat Alka, Liana tidak berani menerima ajakan Rasya yang bisa saja memicu emosi Alka. Saat ini Liana tengah berusaha untuk mengikuti aturan main Alka dan meminimalisir kesalahan sekecil apapun demi keharmonisan dan keutuhan rumah tangganya. Sharen bundanya sudah memberikan wejangan padanya untuk mengalah, karena jika sama-sama keras hanya akan menyulut emosi satu sama lain. Liana sudah membulatkan tekad, mencoba bersabar dan terus mengalah.

"Enggak deh, Liana dijemput sama supir kok. Lagian Liana nggak kuat kalau naik motor, gampang masuk angin soalnya. Maaf ya? Kamu duluan aja, nyusul yang lainnya," tolak Liana dengan lembut.
Rasya nampak sedikit kecewa, tawarannya selalu ditolak oleh Liana. Menyembunyikan rasa kecewanya, cowok itu mencoba tersenyum bersahabat seperti biasa. Ia memang cowok periang.

"Gue cabut dulu, nyusul yang lain-lain. Lo nggak papa nunggu sendirian?"

"Nggak papa kok, bentar lagi supir Liana juga sampai. Hati-hati di jalan, jangan ngebut"
Rasya menutup kaca helm yang ia kenakan, membunyikan klakson satu kali dan detik berikutnya motor yang ia kendarai melesat membelah jalanan meninggalkan Liana.

Sepeninggal Rasya, Liana mengecek kembali ponselnya untuk memastikan kabar dari supirnya. Belum ada kabar lagi, ia melangkah gontai dan duduk di halte sendirian. Matahari yang terik membuatnya kepanasan, apalagi pakaian yang ia kenakan serba panjang menambah penderitaannya. Liana mengusap perutnya, hal yang selalu membuatnya kuat dan memiliki kesabaran lebih.

"Mau minum?"
Liana menoleh saat botol minuman dingin disodorkan ke arahnya secara tiba-tiba. Dokter Varo yang masih mengenakan pakaian khasnya sudah duduk di sampingnya tanpa ia sadari kedatangannya.

"Dokter Varo? Kenapa bisa di sini?" tanya Liana masih terkejut tak percaya. Dokter tampan itu tersenyum lebar, senyum penuh keramahan yang kerap ia berikan pada siapapun. Memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rapi. Siapapun yang melihat senyum dokter Varo pasti juga akan menarik senyum tanpa sadar.

"Tadi saya ada urusan di fakultas kedokteran, kamu sendirian aja? Oh iya ini minumnya, diterima dong lumayan buat ngilangin panas. Itu keringatnya banyak banget pasti kepanasan, kan? Maaf--" Liana memejamkan mata saat punggung tangan dokter Varo mengusap peluh di wajahnya.

"Maaf, saya hanya bermaksud membantu saja. Tidak ada maksud yang lain kok, diminum" dokter Varo menyodorkan kembali botol minuman yang tadi. Liana menerimanya, dan langsung meneguk sedikit isinya.

"Makasih."

"Sama-sama, oh iya kamu belum jawab kenapa di sini sendirian? Nungguin dokter Alka?"

"Enggak, nunggu supir. Alka kan kerja, jadi nggak bisa jemput."

My Protective DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang