Dua Puluh Delapan

90.9K 9.7K 3.4K
                                    

"Papa!" seorang anak kecil dengan paras menggemaskan dan pastinya membuat siapa saja yang melihatnya ingin mencubit pipi tembemnya, berlari dengan cepat ke arah laki-laki yang baru saja menekuk lututnya, meletakan barang bawaannya dan kini merentangkan tangan menyambut kedatangan anak kecil itu.

"Kangen sama papa!" seru anak kecil saat tubuhnya tenggelam dalam hangat pelukan Alka yang memeluknya erat-erat. Alka berdiri, menggendong bocah kecil itu. Bibirnya tidak berhenti menciumi pipi Genta yang sangat berisi.

"Kalau kangen ciumnya mana?" goda Alka menunjuk ke arah pipinya. Genta tersenyum hingga matanya menutup sempurna. Kecupan Genta mendarat di sepanjang rahang dan pipi Alka. Anak kecil itu nampak sangat menikmati ciumannya untuk laki-laki yang ia panggil papa itu.

"Papa kenapa sekarang jarang ke sini? Papa nggak sayang lagi sama Genta? Sama mama juga?" celoteh Genta saat Alka membawa bocah kecil itu untuk duduk di sofa ruang tamu.
Kini Genta sudah duduk di sofa, di sampingnya ada Alka yang terus saja mengusap rambut Genta yang menutup sempurna di dahi. Anak laki-laki berumur empat tahun itu mengubah posisinya menjadi duduk di pangkuan Alka.

"Papa sayang kok sama Genta, masa sama anak sendiri nggak sayang. Papa sibuk sayang, jadi sulit bagi waktunya. Dan mulai hari ini papa mainnya kalau udah jam sembilan malam."

"Sama mamanya Genta papa nggak sayang?"

Alka diam sejenak. Menciumi puncak kepala Genta.
"Hm, sayang kok. Genta sama mama kesayangannya papa kok," ucap Alka dengan wajah datar. Hatinya bergetar hebat, pikirannya melayang memikirkan istrinya di rumah yang pasti sangat sakit jika tahu kelakuannya ini.

"Yeay! Papa memang baik. Genta seneng punya papa, kalau udah gede nanti Genta mau kayak papa."

"Jangan, papamu adalah pria bajingan. Baik di luar saja" sahut Alka dalam hati.

"Iya kamu kalau udah gede pasti lebih dari papa. Pokoknya kalau sudah besar nanti kamu harus jadi orang yang hebat. Genta, papa harus pulang sekarang. Kamu nggak papa kan kalau papa pulang?"

"Tapi pa, papa juga belum ketemu sama mama. Mama di kamar kok, belum tidur"

"Papa titip salam aja buat mama ya. Papa harus pulang sekarang. Itu papa bawakan martabak telor keinginan Genta, dan camilan buat mama. Ingat, tugas Genta apa?"

"Jagain mama karena mama sangat berarti." Alka tersenyum mendengar Jawaban bocah berumur empat tahun yang begitu bersemangat seperti biasa.

"Pinter banget anak papa Alka. Papa pulang dulu ya, jagoan harus jagain mama. Kalau ada apa-apa kabarin papa."

"Besok papa ke sini lagi, ya! Genta mau main robot sama papa."

"Papa usahakan, selama papa nggak ada jangan lupa jagain mama kamu. Papa tahu kamu jagoan papa yang bisa menjaga mama."

"Siap kapten!"

***

Alka membuka pintu kamarnya dengan perlahan agar kepulangannya tidak mengusik tidur Liana. Pintu kembali ia tutup, tak lupa ia menguncinya. Terlihat Liana tengah berbaring meringkuk di ranjang. Tidurnya begitu pulas membuat Alka bernapas lega.
Alka ikut berbaring di bawah selimut yang sama dengan Liana. Perlahan Alka mengangkat kepala Liana untuk berbantal di lengannya. Alka merapatkan posisi tidurnya hingga punggung Liana menempel di dada bidangnya. Sementara tangannya yang satu memeluk pinggang Liana possessive seperti biasa.

"Maafin aku sayang, aku nggak maksud merusak cinta kita. Sama sekali enggak, di hati aku cuma kamu. Genta--- Genta itu cuma bagian dari kekhilafan aku. Sampai matipun cuma kamu yang aku sayang. Jangan tinggalin aku, aku mohon tetaplah di sisiku. Dan ----berikan kesabaran lebih. Semuanya akan baik-baik saja, kita akan hidup bahagia bersama. Aku, kamu, dan anak-anak kita" batin Alka.
Tanpa sadar air mata Alka jatuh, entah apa yang membuatnya menjatuhkan air mata. Saat mengingat luka yang ia berikan pada Liana, air matanya selalu jatuh. Dan Alka tidak bisa membayangkan jika Liana tahu semuanya sebelum Alka menemukan titik terangnya. Liana pasti akan benar-benar pergi.

My Protective DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang