Tiga Puluh Lima

304K 18.3K 806
                                    


Setelah beberapa hari ini mangkir dari pekerjaannya sebagai salah satu dokter di rumah sakit milik keluarganya, Alka kembali menjalani perannya karena teguran dari Azka yang mulai jengah dengan sikapnya. Azka juga sudah melihat kondisi Alka sudah memungkinkan untuk kembali bekerja. Tanpa bantahan, Alka melakukan tugasnya.

Pagi hari, jarum jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya menunjukkan pukul 7. Alka sudah bersiap dengan kemeja biru yang dilapisi jas putih khas seorang dokter. Raut wajahnya terlihat tidak selesu sebelumnya. Ada sedikit kebahagiaan yang terpancar. Penampilannya juga sudah kembali seperti sebelumnya, rapi bersih dan wangi.

"Ngapain di sini? Kerja! Jangan males!" ketus Liana yang tengah duduk di ranjang sembari memainkan ponselnya. Ia berkata tanpa menatap ke arah Alka yang duduk di kursi samping ranjang tempat ia berada.
Usapan tangan Alka mendarat di lengan Liana yang langsung ditepis kasar oleh perempuan itu.

"Nggak usah pegang-pegang Liana bisa kan?" ketusnya penuh kekesalan.
Alka berdiri, membingkai wajah Liana dengan kedua telapak tangannya. Tanpa Liana duga, ciuman panas Alka menerjang bibirnya. Meski sudah meronta namun tak membuat ciuman Alka berhenti sampai disitu. Alka mencium Liana, ciuman yang menyalurkan rasa kesalnya.

"Kamu emang marah sama aku, tapi aturannya masih sama, sayang. Kalau ngomong sama aku itu wajib natap," gumam Alka tepat di wajah Liana.
Liana memutar bola matanya dengan jengah.

"Udah siang, sana kerja!" ucap Liana mengusir Alka agar segera pergi.

"Kamu masih istri aku, jangan lupakan aku yang tidak akan pergi sebelum kamu sarapan, istri kecilku yang nakal" bisik Alka sensual, jemarinya menyusup masuk ke dalam rambut Liana. Bulu kuduk Liana meremang, sentuhan Alka memang selalu membuatnya bereaksi.

Setelah menggigit pelan pipi Liana yang berisi, Alka duduk. Mangkuk bubur sudah di tangannya. Ia sudah bersiap menyuapi Liana.
"Sekarang sarapan dulu biar kuat, aku suapin," ujar Alka yang mulai sibuk dengan sendok untuk mengaduk bubur.

"Biar kuat nggak nangis kalau kamu sakiti? Iya kan? Tenang ka, udah biasa disakitin jadi nggak kaget. Terusin aja sakiti Liana, mumpung masih ada kesempatan. Karena kalau kita udah pisah, jangan harap kamu bisa nyakitin Liana," ucapan Liana membuat gerakan Alka terhenti. Tatapan tajam Alka layangkan untuk Liana yang nampak masih saja santai seolah ucapannya hanya ucapan biasa. Biasa menurut Liana, tidak menurut Alka.

"Kamu ngomong apa? Siapa yang nyakitin kamu? Pisah? Jangan harap kamu bisa ninggalin aku," desis Alka yang kini sudah duduk di tepi ranjang, mengarahkan sendok bubur ke arah Liana.

"Buka, sayang" pinta Alka saat Liana masih saja menutup mulutnya rapat-rapat enggan menerima suapan dari Alka.

"Liana, aku ada visit jam setengah delapan. Buka mulutnya, kamu harus sarapan. Jangan jadi istri pembangkang."

"Liana, buka mulutnya"

"Liana makan sendiri aja, nggak mau disuapin" cicit Liana menatap takut ke arah mata Alka yang berkabut amarah tertahan.  Alka yang tahu Liana takut padanya, menghela napas panjang. Diberikannya mangkuk bubur itu pada istrinya.

"Iyaudah kalau mau makan sendiri, aku liatin aja. Harus habis nggak mau tahu, aku tungguin sampai habis."
Liana menirukan ucapan Alka tanpa suara, hanya dengan gerakan bibirnya saja yang sangat berlebihan. Alka kembali menghela napas, kesabarannya benar-benar ditarik ulur oleh Liana. Tidak masalah, asalkan Liana mau memaafkan dan tidak meninggalkannya.

Lima belas menit menjadi penantian membosankan bagi Alka yang tengah menunggu Liana selesai menghabiskan semangkuk buburnya. Tangannya tidak henti-hentinya mengusap bibir Liana yang belepotan. Entah Liana sengaja atau tidak, nyatanya pagi ini cara makan Liana sangat berantakan.

My Protective DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang