Empat Puluh Dua

292K 20.3K 1.7K
                                    

Alka menggelengkan kepala saat Liana menarik ujung kemeja bagian belakangnya cukup kuat saat mereka sampai di rumah. Bahkan Liana yang semula berjalan di sampingnya kini berjalan di belakangnya. Alasannya Alka sudah tahu, tidak perlu basa-basi bertanya pada Liana. Tatapan mengintimidasi dari Miranda yang duduk di sofa ruang tamu adalah jawaban mengapa Liana sedikit merasa takut.

Laki-laki bertubuh jangkung itu memutar tubuhnya menatap sang istri yang tingginya hanya sebatas dadanya. Saat ditatap oleh sang suami, Liana menunduk menatap ujung kakinya.
"Sini tangan kamu, kalau takut nggak harus narik-narik kemeja aku, sini biar aku genggam aja" pinta Alka. Dengan gerakan pelan, Liana menjulurkan tangan ke arah Alka yang langsung digenggam erat oleh Alka. Tangannya yang kecil tenggelam dalam tangan Alka yang besar. Sekali sentakan, Liana tertarik hingga menempel dengan tubuh Alka.

"Liana nginep aja di rumah papi, daripada kamu ribut sama nenek, nanti nenek malah tambah marah sama Liana," bisik Liana.

"Nggak papa, tekad aku udah bulat. Bener kata ayah, aku harus tegas. Kalau nggak tegas, yang ada keluarga kita yang jadi sasarannya. Ini kesempatan terakhir aku. Kalau aku gagal, aku benar-benar kehilangan kamu dan aku nggak bisa kalau harus pisah sama kamu, sayang" sahut Alka mengusap punggung tangan Liana dengan ibu jarinya.

"Malam nek," sapa Alka masih bersikap sopan dan hormat. Setelah mengucap salamnya, dilanjutkan dengan mencium punggung tangan sang nenek.
Liana mengulurkan tangan, hendak melakukan apa yang Alka lakukan. Namun dengan angkuhnya Miranda memalingkan wajah dan mempertahankan tangannya agar tidak menyambut uluran tangan cucu menantunya.

"Nek," tegur Alka yang diabaikan oleh Miranda. Helaan napas terdengar begitu keras dari Liana. Alka menoleh, mengusap bahu istrinya dengan lembut.

"Kita duduk dulu, kelamaan berdiri nanti kamu kecapean, ayo!" Ajak Alka membimbing Liana untuk duduk di sampingnya. Tangan Alka tidak melepas genggamannya pada tangan Liana.

"Kamu kenapa udah ke rumah? Kamu masih pucat ka, dan kenapa kamu sama wanita itu? Ingat ka! Wanita itu yang buat kamu tumbang sampai kamu nyaris mati. Dan wanita itu juga yang tidak peduli saat kamu di rumah sakit. Wanita seperti dia tidak pantas buat kamu ka," ucap Miranda memulai perang pada Liana dengan kata-kata pedas. Seperti biasa, Liana hanya bisa menunduk menatap ke arah putihnya lantai. Tangannya meremas kuat tangan Alka untuk meminta perlindungan.

"Liana, namanya Liana kalau nenek lupa. Dan Liana adalah istri Alka, tanggung jawab, harga diri, dan apapun tentang Alka adalah Liana. Dan nenek tidak tahu apa-apa tentang penyakit Alka jadi lebih baik nenek diam. Maaf nek, orang bilang sikap sok tahu yang terlalu besar terkadang menunjukan seberapa bodoh orang itu," sahut Alka membuat Liana menoleh, menatap tak percaya pada suaminya yang berkata seperti pada neneknya.

"Alka," cicit Liana lirih menyiratkan rasa khawatir takut akan ada pemutusan tali silaturahmi antara seorang cucu dan nenek. Liana tidak mau seperti ini, meskipun Miranda bisa dianggap ancaman baginya, namun sikap Alka pada Miranda terlalu kelewatan.

"Aku ngomong kayak gini buat nenek sadar, aku nggak mau kamu terus disakiti," bisik Alka.

"Alka! Siap yang ngajarin kamu berlaku tidak sopan pada nenek? Ucapan kamu seolah berkata kalau nenek ini bodoh! Nenek tidak pernah ngajarin kamu kayak gini!" murka Miranda. Tatapan marah Miranda beralih ke arah Liana. Selalu, amarah Miranda dilampiaskan pada Liana.

"Keadaan yang ngajarin Alka. Kalau keadaannya seperti ini jangan salahkan Alka kalau Alka melupakan posisi nenek. Timbal balik Alka akan sesuai dengan perlakuan yang nenek berikan ke alka dan Liana."

"Terserah, kamu memang sudah berubah. Tidak mau menuruti kata-kata nenek lagi. Padahal apa yang nenek katakan itu adalah yang terbaik buat kamu. Kamu bisa seperti sekarang itu karena siapa?"

My Protective DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang