Enam Puluh

301K 22.4K 1.7K
                                    


***

Di ranjang king size yang biasa ditiduri dirinya dan juga Liana, Alka berbaring menatap langit-langit kamarnya. Napasnya yang masih memburu, diatur secara perlahan untuk kembali ke keadaan semula. Pacuan jantungnya berangsur normal.

Hanya saja, pening yang Alka rasakan semakin menjadi. Kepalanya terasa berat, matanya panas, dan perutnya bergejolak semakin hebat. Terhitung sudah delapan kali Alka bolak-balik kamar mandi setelah meninggalkan Liana yang baru mendapatkan amarahnya. Padahal belum ada setengah jam Alka meninggalkan Liana.

Alka kembali bangkit dengan gerakan cepat saat merasakan mual kembali. Tubuhnya yang sudah lemas, dipaksa berlari ke kamar mandi untuk memuntahkan sesuatu yang tidak kunjung mau keluar.

Kini tubuhnya berdiri di depan cermin besar setelah membasuh muka dengan air dingin. Diraihnya tisu kering untuk mengeringkan wajahnya.
"Kebiasaan banget kamu nak, papa disiksa kayak gini kalau nyakitin mama kamu. Padahal papa nggak bermaksud kayak gitu. Papa cuma ingin menjaga, bukan menyakiti" Alka bermonolog dengan bayang dirinya yang ada di cermin datar di hadapannya. Entah itu kebetulan atau memang benar adanya, setiap Alka membuat Liana kesal, marah, bahkan nyaris menangis seperti tadi maka Alka akan disiksa habis-habisan dengan mengalami hal-hal seperti morning sickness yang biasa dialami ibu hamil pada trimester pertama.

Tisu yang sudah ia pakai, dilempar ke tempat sampah di sudut kamar mandi. Ia menghela napas menatap wajahnya yang memucat. Tubuhnya semakin lemas.
Kakinya mundur hingga punggungnya membentur tembok. Alka berisitirahat sejenak dengan bersandar di tembok.

Dirasa sudah agak mendingan, Alka berjalan gontai keluar kamar mandi. Tubuhnya ia dudukkan di ranjang dengan posisi kaki lurus sejajar dan punggung bersandar di kepala ranjang.
Ingatannya kembali berkelana pada peristiwa di kolam renang tadi. Saat Alka menendang piring dan membentak Liana hingga Liana ketakutan.

"Bodoh! Bodoh! Bodoh!" Alka mengumpat untuk dirinya sendiri. Telapak tangannya tidak berhenti menampar mulutnya yang sudah menyakiti Liana. Harusnya Alka lebih  bisa menahan diri. Kalaupun marah, tidak seharusnya seperti tadi. Pasti Liana tersakiti. Apalagi hati Liana begitu rapuh.

"Kamu yang mulai, apa susahnya nurut sama suami? Didiemin kamu ngelunjak, dikasarin ujungnya aku yang kayak gini," gerutu Alka merasa frustrasi pada keadaan yang membuatnya dalam pihak yang selalu bersalah.

***

Liana diam duduk menunduk di pinggir kolam renang menatap air kolam yang tenang. Kakinya tercelup ke dalam air sampai sebatas lutut. Sesekali kakinya bergerak pelan mengusik ketenangan air.
Beberapa menit yang lalu ia memang menangis karena kemarahan Alka yang menurutnya keterlaluan. Alka memang sering marah, tapi tidak semarah tadi.

"Mama, papa kemana?"
Liana menoleh saat mendengar suara yang sudah sangat ia kenali. Genta duduk di samping Liana, menatap dengan mata menyipit terkena silaunya sang surya.

"Nggak tahu, tadi masuk ke rumah. Kamu ngapain ke sini?" tanya Liana berusaha untuk tidak menunjukkan kesedihannya di depan Genta. Telapak tangannya mengusap puncak kepala Genta.

"Tadi Genta dengar suara papa marah-marah. Papa jahat ya ma? Marah-marah ke mama. Kalau gitu Genta nggak mau jadi tim papa lagi. Genta tim mama aja," ucap Genta dengan lugu. Lengan Liana dipeluk oleh Genta begitu erat.
Seulas senyum terbit di bibir Liana melihat betapa lucunya Genta yang sudah mulai ia anggap sebagai anaknya sendiri.

"Bukannya kamu seneng jadi tim papa? Papa punya banyak uang, nggak kayak mama. Mama uangnya nggak banyak," ujar Liana. Genta menggelengkan kepalaku dengan cepat.

My Protective DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang