Sembilan

377K 25K 1.5K
                                    

"Shit!" umpatan keluar begitu saja dari bibir Alka. Setelah kehilangan jejak istrinya, Alka terpaksa harus datang ke rumah sakit karena ada masalah cukup serius di sana, mengharuskan Alka sendiri yang turun tangan. Terpaksa, Alka mengesampingkan urusan Liana dan memilih untuk kembali ke rumah neneknya. Mobilnya masih di sana, setelah urusan selesai, Alka akan langsung menuju rumah mertuanya. Ia yakin, Liana pasti di situ. Tidak mungkin pergi jauh-jauh. Liana yang penakut tidak ada lagi tempat yang dianggapnya aman kecuali rumah Alka, rumah orangtuanya sendiri, rumah mertuanya dan apartemen Liam kakaknya. Namun dua tempat tidak mungkin menjadi tempat singgah Liana. Apartemen Liam kosong semenjak Liam memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di Belanda dan pulang ke rumah mertuanya, Liana tidak cukup berani kecuali bersama Alka.

Tanpa pamit pada neneknya, Alka melajukan mobilnya menuju rumah sakit tidak peduli dengan pakaiannya saat ini yang tidak formal. Celana jins dan jaket kulit yang menutupi kaus ketat yang ia kenakan. Untung jalanan tidak macet, Alka sampai dengan waktu yang sangat cepat. Setelah mengunci mobilnya, Alka segera berlari menemui seseorang yang harus segera ia temui saat ini.

Ia harus menyelesaikan masalah di rumah sakit dengan sesegera mungkin agar ia bisa kembali fokus pada istrinya. Hatinya belum bisa tenang jika Alka belum menyelesaikan masalah yang tengah istrinya alami. Seburuk apapun Liana, Liana tetap istrinya yang menjadi tanggung jawabnya secara lahir maupun batin. 

***

Ucapan Miranda masih terngiang dengan jelas di pikiran Liana. Bukan pertama kalinya Miranda memperlakukannya seperti ini. Bahkan Miranda melakukan lebih dari ini pada Liana. Masih Liana ingat dengan jelas saat Liana dan Alka menginap di sana, Miranda mengajak Liana untuk berkumpul dengan tetangga sekitar Miranda. Tentu Liana tidak menolak ajakan neneknya. Ia tidak menaruh curiga atau apapun pada neneknya. Dalam benaknya ia mengira pasti Miranda hanya ingin memperkenalkan cucu menantu pada tetangganya. Memang benar Miranda memperkenalkan Liana tapi selanjutnya diisi dengan penghinaan pada diri Liana. Membandingkan Liana dengan seseorang yang menurut Miranda pantas bersanding dengan Alka, namanya Fara. Saat itu juga Fara hadir di sana. Fara duduk di samping Miranda dan mendapatkan sanjungan berkali-kali dari Miranda.

Sementara Liana, selalu dicaci maki oleh Miranda yang didukung oleh Fara. Saat itu Liana sudah siap menangis, namun ia mencoba untuk tetap bersabar. Kesabarannya perlahan habis, saat Miranda tidak berhenti membandingkannya dengan Fara yang berprofesi sebagai dokter seperti Alka, bukan Liana yang hanya mahasiswi dengan jurusan yang tidak diminati oleh Miranda. Hati siapa yang tidak sakit jika dibanding-bandingkan dengan orang lain? Sesabar-sabarnya akhirnya marah juga. Daripada meluapkan emosinya di hadapan nenek dan yang lainnya, Liana memilih pulang sendiri. Jika ia marah di depan umum, yang ada Alka akan malu. Ia lebih memilih menahan amarahnya dalam diam. Liana masih ingat dengan jelas bagaimana gelak tawa Miranda dan semuanya yang ada di situ saat Liana tiba-tiba berlari keluar sembari sibuk menghapus air matanya.

Apa yang ia alami, tidak pernah ia adukan pada Alka suaminya. Ia memendam perasaan sakitnya sendiri. Liana percaya, Alka akan tahu sendiri tanpa Liana beritahu.

Beberapa stel baju sudah Liana masukan ke dalam koper. Buku-bukunya juga sudah dipastikan tidak ada yang tertinggal. Liana bergegas membuka laci, mengambil dompet Alka tanpa permisi. Ia butuh uang untuk menenangkan dirinya. Tidak lupa, Liana memasukan foto pernikahannya dengan Alka ke dalam koper sebelum menutup kopernya.

"Nyonya mau kemana? Kok bawa koper segala?" tanya bi Inah saat melintas di ruang tengah. Bi Inah yang tengah membersihkan debu-debu dengan kemoceng, menghentikan pekerjaannya.

"Ada tugas kuliah bi, udah izin ke alka kok. Tenang aja"

"Hati-hati di jalan, nyonya. Perlu saya buatkan makan siang dulu sebelum nyonya pergi?"

"Enggak bi, buru-buru soalnya. Udah ditungguin juga sama supir taksinya. Titip Alka ya bi, Liana pamit"

Bi Inah menatap punggung Liana yang semakin menjauh hingga menghilang di balik dinding. Ada rasa tidak percaya pada ucapan majikannya itu. Bi Inah segera merogoh daster rumahnya untuk menghubungi Alka, melaporkan kepergian Liana. Karena dari gelagatnya, Liana bukan pergi karena tugas kuliah. Tiga kali bi Inah mencoba menghubungi namun tidak ada yang di jawab sekalipun. Ia hanya berdoa semoga kekhawatirannya tidak benar.

Dibantu oleh satpam yang bekerja di rumahnya, Liana membiarkan satpam mengangkat koper untuk dimasukan ke dalam bagasi.
"Oh iya ngomong-ngomong nyonya mau kemana? Apa tuan Alka tahu kalau nyonya pergi?"

"Tahu kok, udah izin. Kalau nggak izin mana berani saya pergi, ya sudah saya pergi dulu ya pak? Jaga rumah baik-baik"
Liana memasuki taksi yang sudah dibuka pintunya oleh sang satpam.

"Hati-hati nya"
Liana tersenyum, taksi melaju dengan kecepatan pelan setelah Liana mengatakan tujuannya.
Setelah menempuh perjalanan beberapa ratus meter dari rumahnya, air matanya menetes begitu saja. Lagi-lagi ingatan tentang perlakuan nenek Miranda membuat nyeri di ulu hatinya. Entah dimana letak kesalahannya, Liana tidak mengerti.

Percuma Alka sabar menghadapinya, jika Miranda masih memperlakukannya seperti ini. Membenci Liana dengan terang-terangan. Menyebut Liana sebagai perempuan sialan karena menggagalkan rencana Miranda menjodohkan Alka dengan Fara, yang menurutnya pantas bersanding dengan Alka. Fara yang menurutnya bisa mengimbangi Alka dari segi apapun. Bahkan profesi mereka sama.

***

"Apa?! Pergi?!" suara Alka terdengar begitu menggelegar. Setelah urusannya selesai, Alka baru sempat mengecek ponselnya dan ada puluhan panggilan tidak terjawab dari Bi Inah. Ia cukup kaget saat menelpon balik bi Inah, dan bi Inah mengatakan jika Liana pergi.

"Iya tuan, nyonya pergi bawa koper"

"Kenapa nggak dilarang? Astaga! Kenapa kalian biarin istri saya pergi? Kalau terjadi sesuatu pada istri saya kalian mau tanggung jawab?!" geram Alka mencengkeram kuat stir mobil yang tengah ia kendarai.

"Maaf tuan, nyonya bilang sudah izin. Makanya kita nggak ada yang berani---"

Tut Tut Tut
Alka memutuskan panggilan lalu melempar ponselnya ke kursi samping kemudi.
Keningnya ia pijat dengan tangan kirinya. Masalah apa lagi yang tengah mengguncang rumah tangganya. Kepala Alka sudah hampir meledak sekarang.

Mobil yang Alka kendarai berhenti. Alka mencoba menetralisir dirinya yang tengah diselimuti emosi yang semakin membakar tubuhnya. Napasnya terasa putus-putus memikirkan rumah tangganya yang masih seumur jagung namun tidak pernah tenang.

"Liana, apa susahnya kita ngomong baik-baik soal masalah di rumah tangga kita sih?"

"Kita udah menikah, masalahmu masalahku. Kapan kamu dewasanya sih? Satu masalah selesai, muncul masalah lain."

"Dan kamu selalu kabur saat ada masalah? Apa kamu lupa kalau ada aku? Astaghfirullah, kalau kamu kayak gini terus aku capek Li"

Alka membenturkan kepalanya ke stir mobilnya beberapa kali. Ingin rasanya ia menangis meraung-raung untuk menyalurkan perasaan yang tengah ia rasa.
"Apa ini cuma alibi kamu biar bisa tinggal sendiri supaya bebas" ucap Alka lirih. Apa yang Alka pikirkan cukup masuk akal. Mengingat beberapa kali Liana marah hanya karena ingin kebebasan untuk tinggal di kosan seperti teman-temannya.

"Kamu pikir tinggal sendiri itu enak, sayang? Siapa yang bakal ngurusin kamu? Siapa yang bakal Mastiin kesehatan kamu? Siapa yang bakal nemenin kamu kalau malem? Siapa yang bakal ada kalau kamu butuh sesuatu? Arghhh!!!! Apa sih yang ada dipikiran kamu? Semua yang aku lakuin itu buat kamu!!!!"

TBC

My Protective DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang