Delapan

450K 25K 2.1K
                                        

Kelopak mata Liana yang menutup, perlahan membuka. Ia mengerjapkan penglihatannya berkali-kali untuk beradaptasi dengan cahaya sekitar. Terasa sangat silau dari arah kaca jendelanya yang tidak ditutup tirai. Setelah melirik jam weker di nakas, ternyata hari sudah siang. Pantas matahari sudah bersinar terang. Pukul 09.12. Liana kesiangan, ini pasti gara-gara tadi malam ia tidak bisa tidur dan menghabiskan malam dengan menonton film Thailand yang terpampang di layar ponsel milik suaminya.

Baru setelah ponsel Alka kehabisan daya, Liana mau memaksakan tidur. Sekitar pukul 01.50. Tentunya, Alka menemani acara menontonnya meski terlihat sangat terpaksa. Liana bisa melihat Alka yang tidak menikmati film dari awal hingga akhir.

Dan sekarang pun Alka masih tertidur dengan posisi tengkurap memeluk tubuh mungilnya. Seperti biasa, bagian atasnya tidak ditutupi kaus atau apapun itu. Kebiasaan Alka, ia selalu merasa risih jika tidur dengan menggunakan kaus, kemeja, atau piyama.

Dengan hati-hati, Liana mendorong tubuh kekar suaminya. Ia sengaja tidak membangunkan Alka karena ia tahu Alka pasti masih sangat mengantuk dan kebetulan ini hari Sabtu. Setiap weekend Alka tidak pernah ada jadwal praktek. Waktu ini Alka khususkan untuk istrinya.

Liana segera turun dari ranjang, mengayunkan kaki menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Di depan cermin saat melihat ke arah pipinya, ia teringat tamparan keras dari Alka. Berusaha untuk menghapus ingatan itu, nyatanya Liana tidak bisa. Sepenuhnya Liana tidak menyalakan perbuatan Alka yang menggunakan fisik tadi malam. Liana juga mengakui kesalahannya. Andai saja Liana tidak dengan mudahnya melayangkan kata perceraian di tengah amarah mereka, mungkin Alka masih bisa bersabar menghadapi Liana.

Entah bisikan dari mana hingga Liana berani mengucapkan kata perceraian dengan gamblang. Sungguh, itu diluar pemikirannya.
Tangannya terangkat, membasuh kembali wajahnya dengan air dingin untuk menyegarkan wajahnya yang nampak sangat kusut.
Setelah mengeringkan wajah dengan handuk kecil, Liana merapikan rambutnya yang nampak berantakan.

Ia heran dengan Alka yang mau menikahinya yang penuh kekurangan itu. Apalagi sifat kekanak-kanakannya yang kerap membuat Alka emosi. Belum lagi sifat pembangkang yang akhir-akhir ini sering muncul. Dan Liana juga tidak bisa melakukan pekerjaan rumah tangga selayaknya seorang istri. Memasak? Pertama kali memasak, dapur di rumah Alka hampir kebakaran. Menyetrika? Kemeja kesayangan Alka berakhir tidak bisa dipakai lagi. Mengepel? Alka harus menahan sakit saat ia terpeleset di lantai yang licin lantaran Liana tidak memeras kain pelnya terlebih dahulu. Mencuci? Liana bisa, asalkan dengan mesin cuci. Belanja kebutuhan rumah, Liana hanya menghamburkan uang Alka, karena apa yang ia beli hanya asal-asalan tidak sesuai kebutuhan. Menyapu? Liana bisa melakukannya meski masih banyak debu di lantai.

Apapun yang Liana lakukan, tidak ada yang sempurna. Alka marah? Sekalipun tidak pernah, Alka justru menggantikan posisi Liana. Itu sebelum Alka memperkerjakan dua asisten rumah tangga. Sebelum itu, Alka lah yang mengurus semua pekerjaan rumah karena Liana yang tidak bisa melakukannya.

"Enggak kepagian bangunnya? Tidur lagi aja, Li" Liana yang baru sampai di ruang tengah, harus mendapatkan sindiran dari ayahnya.

"Tumben baru bangun? Abis ngapain tadi malem?" tanya Sharen mengusap bahu putrinya yang baru saja duduk di sofa, berjejeran dengannya.

"Ayah mah suka gitu sama Liana, Alka aja belum bangun ini Liana udah. Tadi malem abis nonton Bun, sampai pagi jadi bangun siang deh"

"Liana, dengerin ayah. Alka itu beda sama kamu, kalau Alka mau bangun siang ya nggak papa lah. Bayangin aja, Alka kerja dari pagi sampai sore. Pulang kerja harus ngadepin istrinya yang super dan ayah yakin Alka pasti maksain diri buat nemenin kamu nonton. Aduh Liana, kamu kapan pekanya sih jadi istri."

My Protective DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang