Liana menatap nanar ke arah ponselnya yang sekarang sudah hancur berkeping-keping di lantai kamarnya. Kepalanya menggeleng tak percaya dengan apa yang ia lakukan pada ponselnya itu. Sungguh, Liana tidak sadar saat melakukannya. Ia hanya kesal dengan puluhan pesan yang Alka kirim dan juga panggilan masuk dari Alka yang terus saja menghiasi layar ponselnya.
Kekesalannya justru berakhir seperti ini, ponsel satu-satunya kini sudah tiada. Amat sangat disayangkan, ponsel itu ia dapatkan penuh dengan perjuangan. Meskipun ia terlahir di keluarga yang cukup harta, orangtuanya tidak pernah memanjakan dengan harta yang mereka miliki. Jika menginginkan sesuatu, harus ada perjuangan. Jika Liam cukup dengan prestasi akademiknya untuk mendapatkan yang ia inginkan, lain dengan Liana yang jauh dari kata pintar. Untuk mendapatkan apa yang ia mau, Liana harus mengumpulkan setengah dari harga barang itu dan nanti setengahnya lagi akan diberi oleh Arsen.
Beruntung Liana memiliki kakak seperti Liam yang selalu memberikan setengah uang saku untuknya. Membuat Liana tidak perlu repot-repot mengumpulkan uang. Karena uang dari Liam yang ia simpan selalu cukup.
Liana menghela napas berat, wajahnya ia usap dengan kasar. Ponsel sudah ia ikhlaskan dan mungkin ia tidak akan memiliki ponsel lagi untuk beberapa waktu ke depan, entah sampai kapan. Dan ia harus menyisihkan uang dari Alka untuk ditabung membeli ponsel. Kemungkinan jika ia meminta langsung pada Alka, tidak akan dituruti.
Suara pintu kamarnya yang diketuk membuat Liana menoleh malas.
"Liana, turun sebentar sayang. Kita makan malam bareng, ayah juga udah pulang tuh. Dari siang kamu belum makan lho," Liana hapal siapa pemilik suara itu. Itu pasti Sharen, bundanya.Liana membanting tubuhnya, menenggelamkan wajahnya di bantal.
"Liana enggak laper bunda! Bunda makan malam sama ayah aja.""Jangan gitu dong, kamu mau bunda dimarahi sama ayah dan Alka gara-gara kamu nggak makan? Ayo dong sayang, kita makan malam bareng."
"Bun, kita sama-sama perempuan. Bunda pasti tahu apa yang Liana rasakan. Liana butuh sendiri Bun, bunda ngertiin Liana. Liana mohon, kali ini aja biarkan Liana tenang. Liana nggak papa kok kalau nggak makan, nanti kalau laper juga pasti makan kok"
Sharen yang berdiri di depan pintu kamar putrinya hanya menghela napas. Mungkin putrinya benar-benar ingin sendiri tanpa ada siapapun yang mengganggu.
"Perlu bunda bawain makan ke kamar? Biar nanti kalau kamu lapar tinggal makan?""Enggak usah Bun, nanti liana ambil sendiri. Berhenti memperlakukan Liana seperti anak kecil. Kenapa semua orang giniin Liana? Liana udah dewasa!"
Kedua mata Liana berkaca-kaca mengingat bagaimana orang-orang memperlakukannya seperti anak kecil. Bukan hanya suaminya, kedua orangtuanya pun demikian. Tidak ada yang percaya jika Liana sudah dewasa dan bisa melakukan semuanya sendiri. Mereka terlalu sibuk mengurusi kebutuhan Liana, seolah-olah Liana hanya bayi yang tidak bisa melakukan semuanya sendiri.
Suara Sharen sudah tidak terdengar lagi, mungkin Sharen sudah meninggalkan tempatnya. Liana memejamkan mata, air matanya menetes melewati pipi. Tubuh mungilnya merengkuh guling. Pelukannya begitu erat di guling bersarung hello Kitty.
"Liana tahu kalian itu sayang banget sama Liana, tapi kalian berlebihan. Liana seperti robot yang harus menuruti apapun ucapan kalian. Liana juga punya pilihan sendiri, tidak selalu tergantung pada kalian," Isak Liana pilu mengingat hari-harinya yang harus menuruti semua perkataan, larangan, dan perintah dari suaminya. Dari segi penampilan, makanan, waktu, dan semua hal yang berkaitan dengan Liana sudah ada aturan masing-masing dari Alka yang membuat hidup Liana harus berada di garis yang Alka tetapkan. Melenceng sedikit saja, Alka langsung memarahinya.
Apapun yang akan Liana lakukan juga harus dilaporkan kepada suami, jika disetujui Liana bisa melanjutkan niatnya. Jika dilarang, Liana wajib mengurung niatnya dan menelan kekecewaan. Dan kebanyakan keinginannya selalu di larang oleh Alka. Padahal menurut Liana, keinginannya dalam batas wajar perempuan seusianya. Ia hanya meminta izin pada Alka untuk berkumpul bersama teman-temannya di cafe saat malam Minggu. Namun Alka melarangnya, ia menyarankan pada Liana untuk kumpul di rumah saja. Alka yang akan mengatur semuanya. Kumpul di rumah bagi Liana mending tidak usah, karena itu hanya akan mengundang bahan tawa teman-temannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Protective Doctor
Romans"Aku ingin menjaga, tidak untuk menyakiti" Alka Alfiano Putra Maurer, dokter muda yang begitu possessive dan overprotektif jika menyangkut istri kecilnya, Liana. Terkadang sifat berlebihan dokter muda itu membuat Liana merasa kesal. Ruang gerakn...