1 6
r a m y e o n a n d n i n i
she belonged to him, not because it was something he demanded; but because it was something she couldn't help
✿ㅡ✿
soojung's kitchen
2024ITU ADALAH BEBERAPA suapan di antara ramen dan kuahnya saat pertanyaanku muncul di benak.
Melipat kedua tangan diatas meja, aku mencondongkan tubuh ke depan, menatapnya dari balik bulu mata.
"Jongin,"
Ia melirik kearahku, tapi ramen yang masih menggantung di mulutnya membuatnya sulit untuk benar-benar mendongak.
"Kau ingin punya anak berapa?"
Sontak, ramen yang belum masuk ke mulutnya pun terjatuh kembali ke mangkuk saat ia terbatuk. Aku mengeluarkan suara jijik, sempat menasihatinya juga tentang makan yang benar tapi kemudian tetap berinisiatif untuk menyeka noda makanan yang tertera di wajahnya dengan tisu.
"Kenapa bereaksi seperti itu?" Aku merengut. "Tidakkah menurutmu kita sudah harus memikirkannya?"
Tidak ada balasan selama beberapa detik. Ia hanya tercengang dan menatap ke dalam mataku seolah sedang memastikan bahwa aku tidak sedang mengigau. Memalukan sebenarnya untuk ditatap seperti itu, apalagi setelah pertanyaan yang baru saja kuajukan, tapi aku mencintainya dan gagasan tentang memiliki anak bersamanya tidak terdengar terlalu konyol di telinga. Barulah setelah beberapa detik yang terasa sangat lama, ekspresinya kembali normal dan tangannya bergerak untuk meraih sumpitnya lagi.
"Tujuh." Tuturnya tiba-tiba.
Maksudnya tadi saat aku mengajukan pertanyaanku, aku mempersilakan dia untuk berpikir matang-matang dulu sebelum kemudian menjawab. Bukannya malah langsung melontarkan jawabannya seperti itu. Jadi kedengaran tidak masuk akal, kan. Memangnya dia mau bikin anak atau boyband?
"Jongin!" Aku merengek, kecewa karna ia pikir aku sedang bercanda.
"Apa?" Namun begitu ia mendongak, aku tidak melihat sarat lelucon di sana. "Orang jaman dulu saja banyak yang memiliki anak lebih dari sepuluh, Soojung, tujuh itu terhitung sedikit." Kemudian lanjut memakan ramennya lagi tanpa meninggalkan mataku.
Aku hanya membalas tatapannya dengan letih. Bahuku terkulai namun entah kenapa aku tidak bisa berkata tidak pada kedua mata itu.
"Baiklah," Aku menyerah. "Kalau begitu, empat perempuan tiga laki-laki?"
Alisnya menyatu, dan kali ini ia menyempatkan diri untuk menelan ramennya dulu sebelum menjawab. "Aku mau perempuan semua, anak laki-laki terlalu berisik."
Mulutku terbuka, ingin mengabarkan padanya bahwa itu tidak mungkin dan cobalah untuk berpikir rasional sedikit. Akan tetapi, tidak ada satu pun kata yang keluar dari sana dan aku menemukan diriku tidak bisa mematahkan mimpinya sekali lagi.
"Namun, itu bukannya seperti kita bisa memilih juga." Tuturku, memperhalus beritanya sedikit. "Bagaimana jika di tengah-tengah nanti muncul anak laki-laki?"
Ramennya akhirnya habis dan itu tidak meninggalkannya dengan pilihan lain selain dengan memberikan seluruh perhatiannya padaku. Area sekitar bibirnya lembab oleh kuah ramen yang baru saja ia seruput langsung dari mangkuknya, membuatku gatal ingin mencicipinya tapi kesempatanku hilang saat ia sudah keburu menyekanya dengan punggung tangan.
"Mau bagaimana lagi," Ia mengangkat bahu. "Kita akan merawatnya. Asal jangan sampai dia bertingkah seperti Baekhyun saja."
Mendengar itu, sontak tawaku meledak. Aku tidak habis pikir kenapa dia dan membernya yang lain sangat tidak menyukai Baekhyun. Padahal menurutku dan Jinri, dia lumayan lucu, kok. Memang kadang suka berlebihan, tapi suasana akan sangat terasa sepi tanpanya.
"Bagaimana dengan hewan peliharaan?" Semangatku terus meningkat dan itu nampak dari bagaimana tubuhku hampir terbang menyeberangi meja. "Haruskah kita mengadopsi?"
"Baby, kita masih punya Monggu dan Moss. Mau adopsi apa lagi?"
Mendengar namanya disebut, Monggu menyalak dari ruang tamu tapi perawakannya tidak kunjung terlihat, maka kupikir itu antara ia terlalu malas untuk meninggalkan sofa atau sedang menonton acara favoritnya.
Aku mendesah kalah. Lagipula kami bakal keteteran juga nanti jika menambah satu hewan peliharaan lagi. Namun tak kubiarkan hal itu menyurutkan suasana hatiku.
"Apa pikirmu kita bakal sanggup merawat tujuh anak perempuan kita dan Monggu dan Moss di saat yang sama?"
Ia mulai berpangku tangan sambil hanya memerhatikan, tahu kalau ini akan berlangsung lama dan tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menghentikan celotehanku.
"Rumah di Daegu yang kau bilang sudah kau beli sebagai kejutan untukku," Aku melanjutkan. "Apa menurutmu itu bakal cukup untuk menampung kita semua?"
Hanya tinggal beberapa minggu lagi sampai hari pernikahan kami dan itu mengejutkanku betapa banyak persiapan yang telah Jongin lakukan. Padahal awalnya kupikir entah apakah itu Jongin atau aku yang akan pindah ke apartemen salah satu dari kami, tak pernah sekali pun terlintas di benak kalau kami bakal langsung menempati rumah baru sedetik setelah kami menikah.
Hingga pada suatu malam saat kami sedang berbaring di sofa di apartemenku, sedang kelelahan karna telah seharian pergi ke beberapa tempat untuk menyurvei gedung dan katering, ia memberitahuku bahwa salah satu dari banyaknya hadiah pernikahan yang akan ia berikan untukku sudah siap. Yang membuatku heran adalah kapan dia melakukan itu semua padahal selama ini kami selalu menghabiskan waktu bersama.
Aku sudah berkali-kali mengatakan padanya bahwa ia tidak perlu menunggu sampai hari pernikahan kami untuk memperlihatkan rumahnya padaku, tapi Kim Jongin keras kepala. Ia bahkan tidak mau membocorkan sedikit saja detail penampakannya padaku, tidak bahkan warna cat dindingnya.
Maka, menyadari taktikku barusan, ia tersenyum licik.
"Ups, jangan harap aku bakal memberitahumu, sneaky Jung."
Alhasil, aku merengut dan menyandarkan tubuhku ke sandaran kursi.
"Bersabarlah sedikit," Bujuknya, salah satu tangan terangkat untuk mencolek ujung hidungku. "Setelah itu kau boleh melakukan apa saja disana. Berlarian tanpa busana juga boleh, aku hanya akan menatapmu dari sudut ruangan. Siapa tahu kau terjatuh atau semacamnya."
Mataku membulat, tapi tetap menahan senyum sambil melemparnya dengan tisu yang langsung ia tepis saat itu juga.
"Aku tidak tahu sejak kapan kau jadi mesum begini."
Jongin tertawa, dengan jahil alisnya naik turun saat menatap mataku. "Sejak kau setuju untuk menikah denganku?"
Dasar kebelet, aku ingin berkata, tapi hanya memberinya tatapan mewanti-wanti sebelum kemudian membawa piring kotor kami ke mesin pencuci piring. Ia sudah melakukan gilirannya tadi pagi, jadi mau tidak mau sekarang adalah giliranku untuk mencuci piring.
"Apa yang kau lakukan?" Suara Jongin membuatku menoleh.
Ia sudah bangkit dari posisi duduknya, salah satu telapak terbuka seolah sedang mengajakku ke suatu tempat. Alisku menyatu, ingin bertanya apa maksudnya.
"Ayo," Ajaknya.
Tapi tatapanku sudah cukup untuk membuatnya mendengar pertanyaan tak bersuaraku.
"Tujuh anak perempuan yang kau bilang tadi, ayo kita realisasikan."
Kali ini ia tidak cukup cekatan untuk menghindar dari busa cuci piring yang kulempar ke arahnya.[]
[A/N] terinspirasi dari my love from the star hehe.
btw aku udah lama ga update bukan karna aku lupa sm mereka ya :( cuma aku ada ujian nanti tanggal 8 mei jadi harus bener-bener fokus. ini aku update karna ada di draft aja dan tinggal diedit dikit. jadi harap senantiasa menunggu sampe dua minggu lagi ya! love u wish me luck

KAMU SEDANG MEMBACA
24 hours
Short StoryThere's indeed a love story going on behind closed doors. [kumpulan kaistal oneshoots dengan background idol life] ©2018 #1 in fx #1 in kaistal #11 in oneshoots || 09/08/18 #32 in short story || 27/06/18 #70 in oneshot || 07/01/19