49 || quarrel

2.4K 324 21
                                    

4 9

q u a r r e l

love isn't when there are no fights in a relationship; love is when once the fight ends, love is still there.

2019
their shared apartment

"YA KALAU KAMUNYA kayak gini terus tiap kamu datang bulan aku juga bingung, Soojung." Keluh Jongin, bisa kurasakan napasnya berdesir dari sisi kosong kasur di hadapanku.

Sudah lewat tengah malam tapi dia baru pulang, bilangnya ada acara makan bersama teman-temannya padahal aku sudah bilang kalau perasaanku sedang tidak enak dan aku membutuhkannya di sisiku. Tapi dia malah tidak memberi kabar dengan dalih bahwa baterainya habis.

Aku duduk meringkuk di sudut kasur, sedaritadi diam karna takut air mataku bakal jatuh jika aku mengeluarkan suara.

"Sampai kapan mau diemin aku kayak gini?" Ia menekan tinjunya ke kedua kelopak matanya, seolah sedang mencoba untuk membangunkan diri dari mimpi buruk. "Kalau memang kamu nggak mau ngomong sama aku, percuma aku ngomong panjang lebar. Mendingan aku tidur daritadi."

"Tidur aja sana, tidur!" Semburku, berapi-api. "Percuma juga aku bangun sampai jam segini cuma untuk nungguin kamu pulang."

Raut wajahnya kemudian berubah tajam seolah aku baru saja mengatakan sesuatu yang mampu membuat kesabarannya habis. "Aku tanya sekarang, siapa yang nyuruh kamu nggak tidur? Siapa yang nyuruh kamu nungguin aku? Aku udah nyuruh kamu tidur, kan? Minum teh hangat, terus tidur, aku bakalan pulang malam. Tapi kamu malah nyalahin aku? Siapa coba sekarang yang besar-besarin masalah?"

Kupeluk kedua lututku semakin erat. Dulu dia akan mengerti. Dulu setiap kali aku melontarkan tantrumku dia akan tahu bagaimana harus bertindak. Bukannya aku egois dan hanya ingin dimengerti, tapi seharusnya dia sudah tahu aku begini karna sedang datang bulan. Seharusnya dia sudah tahu kalau tak peduli seberapa keras aku berusaha untuk bersikap dewasa, emosiku tetap akan menang.

"Aku kan sudah bilang kalau perasaanku lagi nggak enak, tapi kamunya malah ngilang."

"Ponselku mati, Soojung," Katanya setelah menghembuskan napas panjang. Suaraku menciut, tapi dia malah membesarkan volumenya hingga itu berhasil membuat kedua bahuku tersentak. "Aku udah coba ngabarin kamu lewat Ravi kan? Apa lagi? Kamu mau apa lagi dari aku? Sebut aja, emang salah aku semuanya."

Mendengar reaksinya, sontak aku berbisik lirih, "Nggak gitu..."

"Apa? Terus kalau bukan begitu, apa namanya? Emang aku yang salah, kan? Kalau emang itu bisa bikin kamu puas, bilang aja. Nggak usah muter-muter daritadi, buang-buang waktu."

Dan kemudian itu membuatku tersadar... "Kamu capek sama aku."

Apa artinya kalau ada seorang kekasih yang capek sama kekasihnya?

Terjatuhlah sudah air mata yang sudah kucoba tahan sedaritadi. Kupalingkan wajahku ke sisi lain, Jongin tidak perlu tahu kalau aku menangis. Bukan hanya karna argumen kami saja, tapi bagian bawah perutku yang sedari tadi melilit kini terasa semakin sakit seiring dengan berjalannya waktu. Menstruasi sialan.

Aku tidak tahu kapan Jongin bangkit dari duduknya tapi tiba-tiba satu tablet obat yang sering kukonsumsi saat aku sedang haid sudah berada di tangannya beserta dengan segelas air tawar.

"Minum dulu," Katanya, masih dengan nada yang sedikit kasar.

Gengsiku memang sudah dari lama hilang jika itu ada sangkut pautnya dengan dirinya. Lagipula perutku juga sudah kelewat sakit, jadi saja aku langsung menurut tanpa mengatakan sepatah katapun.

24 hoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang