09 - Diamnya Gerdan

12.6K 678 10
                                    

◆◆◆◆

Serla melepas helmnya dengan gerutuan. Ia kesal pada Gerdan yang sedari tadi hanya diam saja semenjak menjemputnya. Bahkan ketika Serla sudah mengajaknya berbicara hingga mulutnya hampir berbusa, Gerdan masih saja diam. Sepatah kata pun belum dia ucapkan.

Ia menyerahkan helmnya pada Gerdan dengan agak kasar. Gerdan menerimanya tak acuh dan meletakkan di atas motornya. Lantas, tanpa mengatakan apa-apa dia mulai melangkah menjauhi parkiran.

Melihat Gerdan yang berjalan meninggalkannya, Serla berjalan lebih cepat agar dapat berjalan beriringan.

"Gerdan ngomong dong. Mulut gue hampir berbusa nih ngajak lo ngomong. Gue ada salah ya sama lo? Atau lo lagi sakit? Sakit apa?"

Gerdan tak menanggapi. Pandangannya seperti kosong. Matanya pun jika Serla tak salah lihat, ada kemerahan sedikit di sana. Yang Serla takutkan adalah Gerdan marah padanya. Padahal setahu Serla, dirinya tidak merasa melakukan kesalahan sedikit saja hingga membuat Gerdan marah padanya.

Ingatannya kembali pada kejadian tadi malam. Setahu Serla, Gerdan kemarin masih baik-baik saja. Bahkan telah membuat Serla baper hanya karena ucapan selamat malam.

Tapi pagi ini, Gerdan datang menemuinya dengan suatu keanehan. Tingkahnya seakan marah pada Serla meski gadis itu tidak yakin.

"Gerdan lo kenapa sih? Lo sariawan? Sampai nggak bisa ngomong gitu?"

"Gerdan jangan diem aja dong."

Serla masih asik mengoceh. Berharap Gerdan menanggapinya seperti biasa. Tapi sayang, dia tetap diabaikan.

Sedangkan Gerdan pikirannya sedang bercabang. Memikirkan apa sikapnya tadi malam benar atau malah suatu kesalahan. Pasalnya, tadi pagi ketika bangun, dirinya sudah tidak menemukan Tiara ataupun Bagas.

Setelah dia pikir-pikir, mungkin sikapnya terlalu terlihat seperti cewek. Bukan Gerdan yang tegas dan cuek. Ada rasa ganjal juga yang ia rasakan. Seperti terlalu banyak menuntut mungkin? Karena Gerdan juga tahu, Tiara dan Agus melakukan itu semua demi dirinya. Ya, dia seharusnya mengambil sisi positifnya.

Tapi meski dia laki-laki, dirinya tetap membutuhkan kasih sayang orang tua. Tak salah bukan?

"Nggak enak tau Dan dicuekin. Kalau gue ada salah, gue minta maaf. Tapi jangan diemin gue. Bilang, salah gue apa," gerutu Serla. Dia menghadang jalan Gerdan ketika dia akan memasuki kelas.

Alhasil tubuh Gerdan menabrak tubuh Serla. Hingga Serla harus berpegangan pada dinding. Tak peduli Gerdan marah atau tidak karena dia hadang, dia tetap ingin tahu apa penyebab Gerdan diam saja pagi ini.

"Gerdan. Lo kenapa?" Kali ini Serla sedikit memelankan ucapannya karena Gerdan menatap kedua matanya intens. "Ada masalah? Kalau ada, cerita sama gue."

Gerdan menarik napas dalam. Tangannya menarik Serla agar minggir dari pintu. "Lo nggak akan ngerti La. Jadi mending lo diem aja, jangan banyak ngomong. Dengan lo banyak ngomong gitu, nggak ada gunanya."

Hati Serla seketika sakit. Perkataan Gerdan mungkin terdengar biasa saja. Tapi tidak baginya.

Ya, mungkin Serla terlalu banyak bicara sehingga Gerdan marah padanya. Serla tahu kok kalau dia banyak bicara. Maka dari itu, dia tersenyum paksa menatap Gerdan. "Maaf. Mungkin gue emang terlalu banyak bicara. Tapi, lo tahu kan gue bakal selalu dengerin cerita lo?"

Tak ada lagi yang harus Serla katakan. Jadi dia memilih melangkah pergi menuju kelasnya sendiri. Sebisa mungkin Serla terlihat biasa saja. Dia tidak harus sakit hati kan? Gerdan mungkin memang ada masalah. Jadi dia harus memahami itu.

Gerla (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang