36 - Puncak Permasalahan

8.4K 545 20
                                    

🌛🌛🌛🌛

Serla menguap untuk yang entah ke berapa. Gadis itu ingin memejamkan mata dan kemudian tidur meski sebentar saja. Rasanya begitu lelah dan membosankan. Mungkin effect moodnya yang tak kunjung membaik sampai saat ini. Untung saja beberapa menit lagi, bel istirahat berbunyi. Namun beberapa menit saja tetap terasa lama bagi Serla. Alhasil, dengan langkah gontai, dia menghampiri guru di mata pelajaran tersebut dan meminta izin ke toilet untuk cuci muka.

Serla mengusap wajahnya berkali-kali begitu berjalan menyisiri koridor. Tidak lucu jika nantinya dia menabrak sesuatu karena kelewat mengantuk.
Mengingat masih jam pelajaran, koridor begitu sepi.

Mata Serla terbuka sempurna ketika tak sengaja menangkap sosok Gerdan yang tengah berjalan santai searah dengannya.
Rasa kantuknya seketika menguap tak bersisa.

Serla harus bicara dengan lelaki itu. Karena sampai sekarang, belum ada waktu yang tepat untuknya bicara empat mata dengan Gerdan. Maka, dengan langkah lebar, dia menyusul Gerdan.

Ternyata, tujuannya dengan Gerdan sama. Serla menarik lengan lelaki itu sebelum Gerdan melangkah memasuki toilet pria.

"Kita perlu bicara," kata Serla. Gerdan tentu saja terkejut ketika tiba-tiba tangannya ditarik dan pelakunya tak lain tak bukan adalah Serla. Orang yang berusaha ia hindari saat ini.

"Nggak ada yang perlu dibicarain," jawab Gerdan dengan sorot dingin.

Kedua mata mereka beradu. Serla tidak mengira, Gerdan akan menatapnya seperti sekarang. Dulu, yang dia berikan hanya tatapan lembut dan perhatian . Tapi sekarang, Serla mau tak mau harus menerima kenyataan dengan tatapan Gerdan yang berubah dingin.

"Ada! Kita harus selesaiin sekarang. Malam itu, seharusnya lo nggak pergi dan marah gitu aja. Oke, gue salah karena gue nggak bawa HP. Tapi harusnya lo nggak pergi gitu aja. Gue bahkan nggak tahu untuk apa lo datang."

Gerdan menatap Serla dingin. Salah satu tangannya dia masukkan ke saku celana. "Sejak kapan gue harus punya alasan datang kerumah lo? Kenapa gue harus tetap di sana sedangkan udah ada Kenza? Lo nggak tahu, berapa lama gue nunggu lo. Dan ternyata, lo lagi sama Kenza. Jadi, untuk apa gue tetap tinggal? Lagian lo seneng kan jalan sama dia, terus untuk apa gue ada? Jujur aja, gue kecewa La."

Serla berdecak dan menutup mata beberapa saat. Nyeri menyergapnya begitu saja. Sayangnya Gerdan tidak tahu, Serla juga sempat kecewa waktu itu. "Kenza cuma mau balikin mood gue yang rusak. Dan Kenza juga temen gue, nggak ada salahnya gue jalan sama dia, kan?"

Gerdan menaikkan alisnya. "Ohh cuma itu ya? Gue pikir kalian udah pacaran."

Serla mengepalkan tangannya. Bagaimana bisa dia pacaran dengan Kenza jika hatinya saja hanya ada untuk Gerdan? "Gue terima ajakan Kenza karena gue abis kehilangan mood, dan itu karena gue kecewa sama lo!" Serla berucap cepat. Gerdan benar-benar menyebalkan untuk sekarang.

"Kecewa? Harusnya gue yang kecewa sama lo, Serla."

Serla semakin merasa kesal dan otaknya memanas. Selama dia mengenal Gerdan, baru kali ini mereka saling melempar argumen seperti ini.

"Gue kecewa karena lo lupa sama janji lo!! Gue nunggu lo dari pulang sekolah, tapi lo nggak ngabarin gue sama sekali tentang janji itu." Serla memicingkan matanya. "Dan apa? Setelah gue telepon lo, malah Agatha yang jawab. Lo pikir, gue bisa biasa aja? Baru sebentar aja, lo udah lupa sama kehadiran gue karena Agatha."

Gerdan terdiam. Serla menghubunginya? Dan malah Agatha yang mengangkatnya? Kenapa Agatha tidak mengatakan hal itu padanya?
Tapi, apa maksud perkataan terakhir Serla? Dia waktu itu hanya membantu Agatha di rumahnya saja.
"Gue lagi bantuin benerin TV di rumah Agatha. Dia minta tolong ke gue karena gue bisa." Gerdan melanjutkan, "Dan kenapa kelihatannya lo nggak suka sama Agatha? Lo nyalahin dia? Dia baik. Bahkan dia mungkin lebih perhatian dari pada lo. Lalu, bukannya lo yang lupa sama gue?"

Gerla (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang