37 - Taman Belakang

8.4K 549 18
                                    

🌛🌛🌛🌛

Langkah lebar Serla membawanya ke taman belakang sekolah yang jarang dikunjungi orang. Rerumputan tumbuh begitu liar dan tinggi. Pohon mangga di sana tidak terurus. Daun kering bahkan berserakan diman-mana. Kurangnya perawatan taman ini membuat siapa saja enggan kemari.

Gadis itu duduk asal di atas rerumputan. Menutup wajahnya sendiri dengan kedua telapak tangan. Matanya memerah. Bahkan air matanya masih terus mengalir tanpa bisa dia cegah.

Serla sendiri heran. Dirinya bukan gadis cengeng,kok. Lalu kenapa hanya karena hal seperti ini dia malah menangis? Bahkan hanya karena Gerdan. Orang yang selama ini menemaninya. Orang terakhir yang dia pikir bisa menyakitinya.

Dia rasa dirinya tidak semanja itu. Dia juga sama sekali tidak membenci Agatha. Dan kenapa Gerdan tidak mau mengerti luka yang Davin terima? Apa semua ini salahnya? Salah Serla?

Gadis itu terisak. Mengusap air matanya kasar. "Hikss."
Tangannya acak mencabuti rumput. Sambil terus berusaha menghilangkan nyeri yang sedang menyergapnya.

"Lo enak. Punya orang tua lengkap yang selalu ada untuk lo. Punya banyak perhatian dari orang yang sayang sama lo. Beda sama gue yang dari kecil bahkan nggak pernah diperhatiin. Lo nggak akan ngerti gimana rasanya. Karena lo cuma cewek manja yang bisa dapet semuanya dengan mudah. Lo, sama sekali nggak bisa ngertiin gue, La."

Lagi, ucapan Gerdan terngiang di benaknya. Apa dia benar-benar anak manja seperti apa kata Gerdan? Setahunya, meski dia anak tunggal, Serla tidak pernah meminta hal neko-neko pada orang tuanya. Bahkan jika ingin beli sesuatu, gadis itu memakai tabungannya sendiri.

Apa dia tidak bisa mengerti Gerdan? Apa iya Agatha jauh lebih baik darinya? Apa dia terlalu menyusahkan Gerdan?
Memikirkannya, semakin membuat Serla merasa pasokan oksigen di sekitarnya tinggal sedikit. Lagi-lagi dia terisak. Bahunya sampai naik turun akibat sesenggukan karena tangis.
"Apa gue semanja itu, ya?" tanyanya lirih entah pada siapa. Mungkin pada dirinya sendiri.

"Jangan masukin ke hati ucapan Gerdan tadi. Dia cuma emosi."
Sebuah suara yang menyahut membuat Serla segera menghapus air matanya meski masih kentara.
Tanpa harus menolehpun, Serla siapa empunya. Adam.

Serla pikir hanya lelaki itu saja yang datang. Tapi ternyata dengan Alam, Hilda dan Anggra. Hey, kenapa mereka semua ke sini?

"Kalian ngapain ke sini?!" tanya Serla dengan nada meninggi setelah mereka berempat duduk melingkar bersamanya.
Dia merasa malu. Serla si gadis ceria sekarang berubah menjadi Serla si gadis cengeng.

"Bantuin lo cabutin rumput," jawab Anggra asal.

Serla diam. Heran mengapa mereka bisa ada di sini. Ia rasa, tidak ada yang membuntutinya tadi ketika ke sini.

"Nangis aja. Lo nggak perlu malu sama kita. Lo pikir, kita semua nggak tahu?" tanya Hilda ketika mendapati Serla mengusap bawah matanya dan sesekali melihat atas.

"Kita semua udah tahu Ser. Termasuk tentang Davin. Dan pertengkaran lo dan Gerdan tadi. Sorry, gue sempet nguping dan gue ceritain ke mereka." Kali ini Adam angkat bicara.

"Kita itu temen. Harus saling terbuka. Bukannya lancang ikut campur urusan keluarga Gerdan, tapi sebelumnya dia emang cerita ke gue sama Adam tadi malam. Terus dia nginep di rumah Hilda. Anggra tahu karena Hilda keceplosan."

Serla sedikit terkejut mendengarnya. Jadi, mereka semua juga sudah tahu tentang Davin? Dan pertengkarannya tadi dengan Gerdan, mereka juga tahu? Ahhh, Serla semakin malu.

Tapi Adam benar. Mereka itu teman. Tidak papa kan jika dia bersikap terbuka? Tidak ada salahnya.

"Apa gue semanja itu ya di mata Gerdan? Apa gue emang nggak bisa ngertiin dia? Apa Agatha emang jauh lebih baik dari gue? Apa gue selalu nyusahin Gerdan?" tanya Serla lirih. Matanya kembali memanas.

"Gerdan cuma lagi emosi. Lo harus ngerti dan jangan dimasukkin ke hati. Lo sendiri tahu kan Gerdan pasti masih nggak nyangka bokapnya punya anak lain selain dia. Tentu dia marah. Apalagi tahu kalau lo lebih milih nyamperin Davin dari pada dia. Di sini gue bukan belain siapa-siapa, tapi kalau gue jadi Gerdan gue juga bakal kecewa sama lo. La, Davin bukan siapa-siapa lo dibanding Gerdan," ucap Adam hati-hati. Dia mencoba berada di tengah-tengah.

"Kalian nggak ada yang ngerti! Pada kenyataannya, Davin lebih terluka dari pada dia. Davin selama ini cuma hidup sama Ibu nya dengan kehidupan sederhana. Dia bahkan baru tahu Papanya Om Agus aja kemarin. Dan Ibunya baru aja meninggal. Dan ketika sampai di rumah Papanya, Gerdan malah ngata-ngatain dia. Padahal ini bukan salah Davin sama sekali."
Air mata Serla kembali mengalir mengingat keadaan Davin saat ini.
"Tadi malem aja, dia bilang tidur di Musala karena belum cari kost. Salah ya kalau gue coba jadi temen cerita dia? Temen aja dia nggak punya."

Mereka berempat menatap Serla tidak percaya. Sebelumnya mereka tidak tahu kebenaran ini. Jadi tentu saja mereka terkejut karenanya. Ada rasa tidak enak menyergap Adam. Dia sudah salah sangka. Seharunya memang dia mengetahui dari semua sisi dahulu sebelum menyimpulkan sesuatu. "Sorry, Ser. Gue nggak tahu tentang Davin."

Serla menggeleng. Mengusap air matanya kembali. "Gue takut. Takut kalau nantinya antara gue dan Gerdan nggak akan sama lagi. Rasanya sakit denger Gerdan ngomong gitu kayak tadi. Seakan, gue emang cuma anak manja yang hadir untuk nyusahin Gerdan. Berbanding terbalik sama Agatha sesuai apa yang Gerdan bilang."

Hilda yang di samping Serla mengusap bahu gadis itu yang sudah bergetar. Sebelumnya, dia tidak pernah melihat Serla menangis. Ini kali pertama Hilda melihat binar mata gadis itu benar-benar hilang. Jelas ini bukan Serla seperti biasanya. Serla yang ceria. Hilda tidak menyalahkan Gerdan. Keduanya mungkin hanya saling salah paham. Mereka hanya butuh otak dingin untuk menyelesaikan masalah ini. Tapi mungkin akan sulit mengingat Gerdan sepertinya sudah terlanjur kecewa dengan Serla. Dan gadis itu juga sepertinya terlanjur sakit hati akan ucapan Gerdan.

Bohong jika Serla mengatakan bahwa ia tidak sakit hati. Mungkin jika orang lain yang mengatakan hal tadi kepadanya, dia tidak akan sampai menangis. Tapi ini Gerdan. Orang yang selama ini selalu ada untuknya. Mendengar semua keluh kesahnya. Membantu apa saja ketika Serla kesusahan. Dan tidak pernah berkata kasar padanya.
Jadi ketika tiba-tiba Gerdan mengucapkan hal-hal tadi, rasanya jauh lebih menyakitkan.
Rasanya, ucapan Gerdan selalu terngiang di benaknya. Susah untuk dihilangkan.
Seharusnya Serla menuruti kata Adam untuk jangan dimasukkan ke hati. Tapi ini sulit. Rasanya tetap sakit.
Mengingat Gerdan, sekarang malah seakan membuat moodnya tidak baik. Berbanding terbalik dengan biasanya.

"Tenang aja. Gue yakin ini cuma sementara. Lagian ini bukan kali pertama kalian berantem kan?" Anggra angkat suara.

"Tapi sebelumnya nggak separah ini. Berantem gue sama Gerdan biasanya cuma beberapa jam. Paling lama seharian. Tapi gue rasa ini nggak akan mudah. Gue terlanjur sakit hati sama ucapan dia. Dan gue juga yakin, dia juga nggak akan minta maaf duluan sama seperti gue."

"Bumi berputar, Ser. Mungkin saat ini hubungan lo dan Gerdan lagi dalam posisi terendah. Tapi nanti, gue yakin kalian bakal kembali kayak dulu."

🌛🌛🌛🌛

Jangan berpikir Serla alay yaa.
Maklum. Sebelumnya dia dan Gerdan itu ibarat kertas dan tinta. Selalu sama-sama. Jadi pas Gerdan ngomong kayak gitu ke Serla, wajar dia sakit hati. Karena selama ini, Gerdan orang yang paling dia percaya nggak akan nyakitin dia.

So, ngertiin Serla okay?

Thanks buat yang udah baca dan voment❤

061218

Gerla (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang