38 - Menepati Janji

8.2K 507 10
                                    

🌛🌛🌛🌛

Serla menghempaskan tubuhnya di kasur. Badannya tengkurap membentuk bintang besar.
Rasanya lelah. Tenaganya terkuras habis karena menangis. Belum lagi memikirkan ucapan-ucapan menyakitkan Gerdan. Serla meringis. Kembali terngiang di benaknya kejadian tadi siang.
Dia bergerak gelisah. Kemudian menelentangkan badannya hingga pandangannya lurus pada atap kamar.

Jujur saja Serla merasa kecewa. Sakit hati? Tentu saja. Tatapan dingin Gerdan tadi sama sekali tidak Serla duga akan dia terima. Setahu Serla, Gerdan tidak pernah menatapnya sebegitu dinginnya.
Tapi tadi, Serla benar-benar mendapatkan tatapan itu.

Kata manja sebenarnya sudah pernah Serla dengar dari Gerdan. Tapi itu pun Serla tahu bahwa Gerdan hanya bercanda dan sedang usil padanya. Berbeda dengan tadi yang penuh dengan keseriusan. Gerdan serius mengatakan demikian.
Dan Serla, merasa terluka. Apalagi ucapan-ucapan menyakitkan lainnya.

Bayangkan saja. Orang yang sebelumnya begitu dekat dan sangat mengerti kalian, tiba-tiba saja berkata hal menyakitkan dan mengatai kalian. Apalagi di depan wajah kalian sendiri. Dengan tatapan dingin syarat akan ketidak sukaan. Bukankah menyakitkan?

Serla menghela napas kasar sambil mengusap wajahnya. Dia jadi enggan mandi dan berganti baju. Biar saja seragamnya masih menempel di tubuh. Menguap, Serla merasa matanya berat dan ingin tidur. Maka, matanya perlahan terpejam dengan napas yang mulai teratur.

Belum ada lima menit, HPnya berbunyi dengan nyaring. Awalnya Serla membiarkan itu. Baru saja dia ada di alam bawah sadar, tiba-tiba suara kencang menariknya menuju kesadaran. Serla kesal. Maka dia tidak mengacuhkan panggilan tersebut dan tetap memilih memejamkan mata.

Tapi anehnya suara itu tidak berhenti-berhenti. Kesal, Serla membuka mata dan meraih HPnya. Tanpa melihat nama penelepon, Serla mengangkat panggilan.

"HALLO, DENGAN ADELIA SERLA YANG INGIN TIDUR. ADA PERLU PENTINGKAH?"

Serla berteriak. Mungkin orang di seberang sana sudah menjauhkan ponsel dari telinganya.

"Lo lupa atau emang nggak mau nemenin gue?"

Serla melebarkan matanya. Sadar siapa yang menelepon. Cepat, dia duduk. Perasaan bersalah menyerangnya sekarang. Tanpa perlu melihat nama, dari suaranya saja Serla tahu siapa orangnya.
"Aduh Daviiinn. Maaf gue lupa. Gue capek. Tenang aja, gue mau kok temenin lo. Sekarang lo di mana? Gue di rumah."

"Di rumah? Ini masih jam sekolah, Ser. Lo bolos?" tanya Davin dengan nada penasaran.

Serla meringis. Sadar akan kebegoannya yang tanpa sengaja memberi tahu Davin keberadaannya. Memang, ini masih jam setengah 3 dan Serla sudah di rumah. Dia memang izin untuk pulang duluan karena alasan sakit. Itupun dengan bantuan teman-temannya. Perbuatan Serla memang tidak pantas ditiru. Tapi Serla begitu capek dan juga merasa pusing.
Tapi mengabaikan rasa pusingnya, Serla harus tetap menemani Davin. Karena dia sudah berjanji sebelumnya.

"Gue ada acara tadi. Jadinya izin. Lo mau ditemenin kapan?"

"Nanti jam 5 gue jemput. Kirim alamat rumah lo ya."

"Oke!"

Serla menghela napas lelah yang panjang ketika sambungan telah terputus.
Sesak itu masih ada. Entah kapan sembuhnya.
Tapi Serla harap, semua akan cepat membaik seperti semula.

🌛🌛🌛🌛

Seperti kata Davin, lelaki itu menjemputnya pukul 5. Serla yang sudah menunggu Davin dari tadi langsung saja menghampirinya. Kebetulan, Mama Papanya belum pulang hingga Davin tidak perlu berkenalan.

"Hai," sapa Serla seraya menampilkan deretan giginya.
Meski suara ceria Serla dengarkan, tapi matanya tak bisa berbohong. Bahkan hanya sekali lihat, Davin sudah paham bahwa gadis itu pasti selesai menangis dalam waktu yang lama.

"Lo kenapa?"
Seharusnya Davin tidak bertanya.
Seharusnya dia diam saja.
Seolah tidak tahu apa yang terjadi dengan Serla.
Tapi nyatanya dia mana bisa?

Serla mengerjap. Ia rasa, dia sudah cukup menghilangkan jejak tangisnya tadi. Tapi ternyata Davin masih melihatnya.
Maka, otaknya berputar cepat mencari alasan. "Abis nonton drama korea tadi. Sedih banget ceritanya, jadi gue nangis kejer deh." Serla menyengir.

Davin hanya mengedikkan bahu seolah mengerti. Namun siapa yang tahu jika dia sebenarnya tidak percaya. Aneh rasanya jika gadis seperti Serla mendapat mata sebengkak itu hanya karena sebuah drama.

"Yuk naik." Davin menoleh ke belakang, menyuruh Serla segera naik. Gadis itu mengangguk kemudian menurut.
Begitu Serla selesai memakai helm, Davin mulai melajukan motornya.

Lewat kaca spionnya, Davin sesekali melirik Serla. Wajah gadis itu kini terlihat muram. Padahal ketika menyapanya tadi, Serla seolah baik-baik saja. Sebenarnya Davin heran, ada apa dengan gadis itu?

Ketika tubuhnya agak terguncang ketika melewati jalanan yang tidak mulus, Serla sadar dari lamunannya. Gadis itu mengerjap. Ternyata, dari tadi dia terus melamun. Dan bahkan dia tidak tahu sekarang ada di daerah mana. Semoga saja tadi Davin tidak mengajaknya bicara.

"Lo mau cari indekos sekitar mana? Kalau di sekitar SMA Pandawa, temen gue tau tempatnya."

Davin melirik spionnya. Kali ini, Serla terlihat sudah tidak melamun lagi. Sejujurnya, Davin tahu jika Serla sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Bahkan, sejak 20 menit yang lalu, dia mengendarai motornya asal, memberi Serla sedikit ruang untuk merenung.

"Kita coba ke sana."
Dan Davinpun melajukan motornya sesuai arahan Serla.

Tak sampai 10 menit, motor Davin berhenti tepat di depan indekos yang disarankan teman Serla.

"Gue rasa, gue nggak bakal ambil di sini."
Hanya sekali melihat, Davin sudah bisa memastikan bahwa dia tidak bisa tinggal di sini. Indekos ini terlalu bagus untuknya. Uangnya mana cukup?
Toh, Davin ingin mencari indekos biasa saja. Sisa uangnya bisa dia simpan untuk beli makan dan keperluan lainnya.

"Kenapa?"

"Ini terlalu bagus Ser. Uang gue juga masih gue gunain buat kebutuhan lain."

Serle mengerjapkan mata. "Ya udah, cari lagi yuk."

Davin mengangguk. Melajukan motornya melewati gang yang agak sempit. Melihat ada ibu-ibu di depan rumah sedang menyapu, Serla menyuruh Davin berhenti di dekat ibu itu.

Serla turun, bertanya, "Permisi, Bu."

Ibu itu mendongak, menatap Serla heran. "Ya, dik? Apa ada yang bisa ibu bantu?"

"Ini Bu, kira-kira ada indekos sekitar sini nggak ya? Temen saya cari yang sekitar SMA Pandawa soalnya."

Ibu itu berpikir sejenak. Dia tahu jika mereka sudah pasti telah mengetahui Indekos Citra namun mungkin tidak cocok makanya mereka bertanya. Dan kebetulan juga, saudaranya adalah pemilik Indekos Berkah.
"Kebetulan, Kakak Ibu punya indekos yang murah. Tapi ada di sebelah Selatan SMA Pandawa."

Binar mata Serla terpancar. Dengan baik hati, sang Ibu mengantarkan mereka. Awalnya, Davin sedikit ragu. Tak enak jika menolak karena Ibu itu sudah mengantarnya. Namun begitu tiba di lokasi dan tahu beberapa informasi termasuk harga perbulan, Davin memutuskan akan mengambil indekos itu.
Indekos ini memang biasa saja, tapi Davin tak masalah karena harganya juga murah. Selagi masih bisa dia gunakan untuk tidur, dia tak masalah.

Karena di luar sana, Davin tahu bahwa masih banyak orang yang tidak seberuntung dirinya.

🌛🌛🌛🌛

Thanks buat yang udah baca dan voment❤

091218

Gerla (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang