24 - Saran

8.5K 544 6
                                    

🌛🌛🌛🌛

Gerdan membuka mata ketika sinar sang surya mengusik wajahnya. Suara gesekan gorden baru saja terdengar. Perlahan ia membuka mata. Ada sebuah siluet yang tengah berkacak pinggang di depannya.

"Bangun Raka! Udah jam delapan!"
Suara itu menyadarkan Gerdan. Membuat ia cepat turun dari kasur dengan keadaan setengah sadar.

Tapi sebelumnya dia sempat melirik jam dinding. Mendesah kesal, dia menatap orang itu dengan jengah.
"Mama bohongin Raka!" gerutu Gerdan. Mamanya terkekeh, melipat selimut Gerdan.

Pasalnya ini baru setengah enam pagi. Sehabis subuh tadi, dia tertidur kembali. Namun perasaan kesal seketika lenyap. Digantikan perasaan hangat yang menyergap. Melihat mamanya membereskan tempat tidur yang setiap harinya diurus pembantu. Atau mungkin dia sendiri jika tidak sedang malas.

Gerdan tersenyum samar. Begini lebih dari cukup baginya.

"Sekarang kamu mandi. Mama tunggu di bawah," kata mamanya sembari menutup pintu.

Gerdan langsung masuk kamar mandi. Beberapa menit kemudian dirinya sudah siap dengan seragam sekolahnya.
Buru-buru dia menuruni tangga. Meletakkan tasnya di kursi sebelahnya dan duduk di depan mamanya.

Jika biasanya Gerdan hanya sarapan sendiri, kini ada mamanya yang menemani.

"Kamu jemput Serla kan?"

Gerdan mengangguk. "Iya."

Tiara mengulum senyum. Gerdan menatap heran. "Kenapa Ma?"

"Nggak papa. Mama seneng kamu sama Serla. Langgeng ya," goda mamanya.

Gerdan hampir tersedak jika saja dia tidak buru-buru menelan makanannya. Mamanya ini kenapa sih?

"Kita cuma temen Ma. Langgeng apaan coba?"

"Kamu sih nggak nembak-nembak. Kan kasihan Serlanya nggak kamu beri kepastian."

Gerdan memilih tidak mengacuhkan mamanya. Dia melahap makanan dengan cepat. Menghindari topik demikian.
Memang, dia menggantung Serla ya sehingga dia harus memberi kepastian?

"Mama siapin bekal. Buat Serla."

Gerdan memasang wajah muram. "Buat aku mana? Anaknya mama itu kan Raka, bukan Serla."

Tiara terkekeh. Ia pikir anaknya sudah dewasa. Ternyata masih sering merajuk. "Serla kan calon menantu mama."

"Terserah mama deh." Lagi-lagi Tiara terkekeh. Dia selesai makan lebih cepat dari Gerdan. Menuju dapur, dia mengambil kotak bekal dan menaruhnya di tas Gerdan.

Begitu makanannya habis, Gerdan meraih tasnya dan bangkit. Dia menghampiri mamanya. Pamit. Melakukan hal yang sudah lama dia tidak lakukan dan dia inginkan. Mencium punggung tangan mamanya.

Mata Tiara berkaca-kaca, tapi dia tahan agar tidak keluar air mata. Sudah lama dia tidak menemani pagi hari Gerdan selama ini.

Gerdan tersenyum. "Raka berangkat."
Tiara mengangguk. Membiarkan Gerdan melenggang pergi.

Tapi belum jauh anaknya melangkah, dia memanggil, "Gerdan..."

Merasa salah dengar, Gerdan menghentikan langkah. Mamanya memanggil dengan nama berbeda?

"Hati-hati Gerdan."

Dan Gerdan, memilih berbalik dan memeluk mamanya barang sejenak.

🌛🌛🌛🌛

"Gerdan beliin ice cream dong!" seru Serla sembari melahap baksonya. Sedang Gerdan di depannya hanya diam saja. Tidak ikut makan seperti Serla.

Dia menyipitkan mata, gadis menyebalkan. Namun tak urung dia bangkit, membeli ice cream meski dengan sedikit rasa paksaan. Jaraknya dari tempat duduk mereka memang lumayan. Tapi kantin yang ramai membuat Gerdan harus berdesakan. Maklum, jamnya orang pada kelaparan.

Tiba-tiba ucapan Mamanya terngiang. Tentang dia yang tidak boleh menyusahkan Gerdan. Dia mengangkat bahu tak acuh, toh Gerdan tidak masalah. Dia pun terkekeh. Rasanya begitu senang menyusahkan Gerdan dengan sengaja seperti ini.

"Nih." Gerdan tiba, duduk kembali dan menyerahkan sebungkus ice cream pada Serla.

Gadis itu menerima dengan senyum manis. Mulai melahapnya ketika makanannya sudah habis.
Rasa ice creamnya begitu manis, seperti dirinya. Itu pun menurut Serla.

"Heran, jam istirahat kedua kenapa ramai gini sih?" gumam Serla. Alisnya bertaut ketika menatap sekelilingnya.

"Mereka sama kayak lo. Kelaperan kayak nggak makan sebulan."

Serla memutar bola mata malas. Menjilat ice creamnya kemudian dia acungkan ke Gerdan. Bukan bermaksud menawari, hanya gerak reflek ketika dia menunjuknya.

"Nih ya gue bilangin. Dari hasil survey Serla. Setelah melihat situasi. Menurut gue di sini lebih banyak yang cuma nongkrong bareng genknya. Entah itu ngegosip atau ngomongin orang." Serla memasang wajah serius.

"Ngegosip sama ngomongin orang apa bedanya sih."

Serla hanya mengangkat bahu tak acuh.

"Oh iya, bilangin ke Tante Tiara. Makasih buat bekalnya. Setiap hari juga nggak papa, Serla terima." Diakhir kalimatnya, Serla tersenyum lebar. Jelas saja mau, gratis dan enak, siapa yang mau menolak?

"Jelas, makanan gratis mana bisa lo tolak?"

"Itu tau."

Mereka diam sejenak. Menikmati keramaian kantin yang membludak.
Hingga akhirnya Gerdan angkat bicara.

"Gue seneng, La. Mama mulai sekarang bakal selalu ada di setiap pagi yang sebelumnya selalu sunyi buat gue. Meski di sisi lain, ada rasa kecewa yang nggak terkira saat tahu kelakuan papa."

Serla meneguk ludahnya susah payah. Gerdan sudah mulai membahas hal ini lagi. Sedang Serla merasa selalu bingung ingin menjawab apa. Karena seperti kata mamanya, bukan dia yang sedang mengalaminya.

"Setiap orang tua pasti selalu pengen anaknya bahagia. Maka dari itu Tante Tiara berubah, dia mau lo kembali bahagia. Dan sebisa mungkin jauhin hal-hal menyakitkan dari beliau. Lo tahu? Meski udah nggak remaja lagi, Tante Tiara tetep punya perasaan yang rapuh sebagai ibu."

"Gue bakal selalu jagain mama. Tapi Papa, dulu dia--"

Cepat-cepat Serla memotong ucapan Gerdan. Membahas Agus hanya akan menambah luka baginya. Dan Serla harus menghindari itu semua.

"Dan, sekalipun lo sangat kecewa sama beliau, jangan ngurangi rasa hormat lo sama dia. Bagaimanapun juga, dia Papa lo. Kerja keras buat ngebiayain hidup lo selama ini. Lo boleh kecewa, tapi jangan jadi anak durhaka."

Entah, Serla sempat merasa ucapannya kelewat menasehati. Mungkin dia terlalu ikut campur urusan Gerdan, tapi Serla ingin sekali mengutarakan sarannya.

"Kalaupun gue ada di posisi lo, mungkin gue bakal kecewa parah. Tapi dengan lo marah berlebihan, Mama lo juga bakal sakit. Sorry kalau gue banyak bicara. Nggak seharusnya gue berlebihan kayak gini."

Gerdan menggeleng. Bangkit dan mengajak Serla kembali ke kelas. Di tengah jalan pun Gerdan masih memikirkan ucapan gadis itu.

"Lo bener, gue harus nahan diri kalau nggak mau Mama ikut sakit hati. Toh itu masa lalu kan? Mungkin Papa juga udah sepenuhnya sadar. Dan nggak usah ngerasa nggak enak hati karena ngasih saran, lo akan selalu gue butuhin buat nunjukin saat gue bingung milih jalan."

Serla mengangguk. Mengusap kepala Gerdan seperti mama ke anaknya. Ekspresi gemas Serla tampilkan. Jelas jika ada yang melihat langsung geli dengan tingkah Serla. Gerdan merasa dipermainkan dan sebelum membalas, Serla telah melesat menjauhinya dengan sisa tawa.

Dalam larinya Serla membatin, "Maaf ya Mama, Serla udah banyak bicara. Serla hanya nggak mau Gerdan jadi anak durhaka."

🌛🌛🌛🌛

Thanks buat yang udah baca dan voment❤

281018

Gerla (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang