46 - Bukan Salah Dia

9.8K 568 21
                                    

🌛🌛🌛🌛

Serla berjalan begitu riang menuju motor Gerdan. Hari ini Sabtu, Gerdan lagi-lagi mengajaknya keluar. Entah mau kemana. Serla sih ikut-ikut saja. Toh jika di rumah dia pasti akan bosan. Lumayankan, bisa minta dibayarin Gerdan.

"Kita mau kemana ya Pak?" tanya Serla seraya naik ke boncengan Gerdan.

Gerdan yang sudah dibuat kesal karena menunggu lama dan ditambah hal barusan langsung menengok sedikit ke belakang hingga tangannya bergerak bebas menggeplak kepala Serla lewat helm yang baru saja dipakainya itu. "Pak! Pak! Emang gue apaan?"

Serla terkekeh sembari membenarkan letak helmnya. "Hehehe. Udah yuk jalan."

Gerdan pun menurut begitu saja. Dan mulai menjalankan motornya meninggalkan kediaman Serla.

🌛🌛🌛🌛

Gadis itu tak bisa berhenti tersenyum mengetahui kemana Gerdan membawanya kali ini. Tebak di mana?

Serla pun sebelumnya tidak mengira Gerdan akan membawanya ke sini. Bahkan ia sudah lupa jika dulu ingin ke sini. Ya, cafe yang Serla ingin kunjungi dulu. Tempat di mana Gerdan dan anak basket Rajawali menraktir anak basket Pandawa.

"Emang bagus ya!!"

Serla berjalan antusias ke salah satu meja tepat di dekat jendela. Bahkan tangan gadis itu bisa menyentuh jendela yang dingin. Yang ternyata menampilkan sebuah lapangan golf yang tengah dipakai beberapa orang. Terdapat beberapa hiasan yang membuat lapangan itu terlihat makin bagus.

"Ada lapangan golfnya juga, besar lagi. Keren!" Serla mengamati dengan antusias.

Gerdan memutar bola mata malas. Serla selalu saja norak. Eh iya sih, cafe ini memang bagus. Lihat saja, nuansa cafe ini begitu nyaman dan tentu interior maupun eksteriornya keren. Pengunjung pun yang Gerdan lihat dulu juga banyak anak remaja yang entah itu asik bercengkrama atau sekedar mengerjakan tugas sama-sama. Dan yang Gerdan amati, remaja SMA kebanyakan memakai seragam sama. Mungkin dari sekolah swasta yang terletak beberapa kilo dari cafe ini.

Beberapa menit kemudian baik Gerdan maupun Serla sudah mulai menyantap makanannya. Rasanya juga enak. Serla sangat suka cafe yang baru dibuka beberapa minggu ini, sungguh.
Harganya pun tidak terlalu mahal.

"Biasa aja kali makannya," sindir Gerdan.

Serla memicingkan mata dan kakinya di bawah sana jelas juga bekerja, menendang kaki Gerdan tentunya.

Drrttt...drrttt.

Serla mengernyitkan dahi dan berhenti menyendok. Tangannya mengambil ponsel dan membuka pesan yang ternyata dari Davin.

Davin Arya K
-Sibuk?

Serla mengetikkan pesan cepat kepada Davin.

Adelia Serla
-Lagi makan di cafe sama Gerdan. Mau ke sini?

Davin Arya K
-G ush.

Serla menghembuskan napas penjang. Lupa kalau hubungan Gerdan dan Davin tidak baik.

 Lupa kalau hubungan Gerdan dan Davin tidak baik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Siapa sih? Itu buruan dimakan."
Gerdan penasaran. Karena ia jelas tidak salah lihat binar di wajah Serla hilang begitu saja.

"Davin."

Dan jawaban Serla membuat mimik wajah Gerdan pun berubah. Moodnya entah mengapa langsung lenyap. Dia sadar, sampai sekarang dia masih tidak bisa menerima keadaan. Rasanya begitu sulit.

Serla tahu itu. Tahu bagaimana Gerdan langsung terlihat datar. Tidak berekspresi. Serla memejamkan mata sejenak.
"Sampai kapan Dan? Sampai kapan lo mau kayak gini?"

Gerdan meletakkan sendok begitu saja. "La, kalau lo mau belain Davin lagi. Tolong jangan sekarang, kita baru aja baikan."

Oke, sabar Serla!

"Dan. Lo nggak tau apa-apa tentang Davin. Jangan bersikap kayak gini, tolong. Demi gue, dengerin kali ini aja. Tolong."
Ini keputusan Serla, bercerita tentang Davin meski Gerdan bersikeras tidak mau tahu.

Gerdan menghela napas dalam. Oke, demi Serla.

Melihat Gerdan diam saja, Serla mulai bercerita. "Mungkin lo berpikir Davin begitu pantas lo benci. Tapi coba lo pikir lagi, di mana salah Davin selama ini? Dia sama sekali nggak salah tentang masalah ini. Entah lo percaya atau nggak, Davin juga baru tahu Papanya itu Om Agus ya malam itu. Malam di mana untuk pertama kalinya juga lo tahu kalau lo punya saudara. Selama 17 tahun lebih, bayangin aja gimana Davin ngadepin semuanya sendirian. Dia nggak tahu siapa Papanya. Dia hanya punya Bundanya aja Dan. Cuma Bundanya.

Penguat satu-satunya yang dia punya. Tapi Bundanya udah pergi. Lo tahu segimana kacaunya dia? Dia kacau, banget, Dan. Waktu itu gue ikut dia ke makam Bundanya. Dan gue di situ tahu. Davin sayang Bundanya melebihi apa pun di dunia. Tapi, sayang, Bundanya lebih dulu pergi dari dia."
Serla tak bisa lagi membendung air matanya. Entah mengapa, dia sekarang menjadi gadis cengeng. Ahh, Serla tidak suka.

Gerdan masih diam. Merasa tertohok paling dalam. Selama ini dia menutup mata dan telinga. Menatap Davin seolah kebencian terkumpul di matanya. Tapi Serla benar. Apa salah Davin? Dan meskipun dirinya berpikir begitu lama, Gerdan tak menemukan jawaban.

"Bayangin. Dia udah hancur tahu Bundanya udah nggak ada. Dan lo ngatain dia seperti malam itu. Itu, salah Dan. Gue tahu sejujurnya lo juga nggak mau ngatain dia kayak gitu. Itu cuma bentuk emosi lo aja. Lo tahu? Dia setelah itu tidur di Musala. Entah dia makan apa padahal semua uangnya masih dibawa Om Agus."

Gerdan tersentak. Seorang Davin? Apa dia tidak salah dengar? Apa benar? Tanpa sadar kepalan tangannya pun menguat.
Jahatkah dirinya? Kenapa dia bisa jadi orang jahat seperti ini?

"Waktu kita berantem, sorenya dia minta gue nemenin cari indekos. Dan untung udah dapet. Meski begitu kecil, Davin nggak keberatan."

Gerdan merasakan matanya memanas. Sebegitu jahatnya kah dia? Sekarang dia sadar, bagaimanapun juga Davin tetaplah kakaknya. Lalu, kenapa bisa dulu dia tega sih? Gerdan sungguh tak karuan sekarang perasaannya.

"Mungkin sama seperti lo, dia sangat ingin perhatian dari orang tua yang lengkap Dan. Karena selama ini, dia cuma punya Bundanya. Secuil pun, dia nggak pernah merasa diperhatikan oleh Papanya. Dan sekarang Bundanya pergi. Dari siapa dia dapat perhatian kalau bukan dari Om Agus? Tolong. Pikirin ini bener-bener Dan. Gue tahu, lo tahu mana yang harus lo lakuin."

Dan lagi, Gerdan merasa seseorang memukulnya terlalu keras hingga menciptakan bunyi suatu retakan secara nyaring.

Kemarahan dan kekecewaan membutakannya. Hingga dia bahkan tidak bisa berpikir jernih. Perkataan yang dia lontarkan dulu, jujur saja dia sekarang merasa bersalah. Ahh, terimakasih pada Serla yang mau membuka matanya.

🌛🌛🌛🌛

Thanks buat yang udah baca dan voment❤

Next? Komen dong :P

150619

Gerla (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang