27 - Nindya

9.4K 524 27
                                    

🌛🌛🌛🌛

Hari selanjutnya bagi Nindya seperti kutukan. Rasa marah mengusai dirinya. Bagaimana tidak? Baru menginjakkan kaki di koridor saja sudah banyak yang membicarakannya. Menghina dan mengatainya. Bisikan itu memasuki pendengarannya dengan lancar. Bahkan tidak bisa dibilang bisikan karena mereka berbicara dengan agak lantang.

"Udah gue bilang kan, Nindya itu kasar dan arogan. Makanya gue nggak mau temenan sama dia."

"Bisa-bisanya dia nampar Serla karna hal sepele."

"Iya. Kasihan Serla. Dia dipermaluin sama Nindya. Padahal Serla yang gue perhatiin nggak suka cari gara-gara. Orangnya juga asik."

Nindya mengepalkan kedua tangan di samping badan. Rasa marah semakin menguasainya. Selalu Serla yang mereka elu-elu kan. Serla gadis manis yang baik hati. Serla yang terlihat manja-manja lucu namun bisa bersikap dewasa. Serla yang tidak pernah mencari gara-gara. Dan Serla yang baik lainnya.

Murid itu bicara Nindya mempermalukan Serla? Ia malah merasa dia yang dipermalukan Serla. Apalagi Gerdan. Lelaki itu bahkan mengatainya sampah hanya karena Serla. Bukankah disini Nindya yang sangat dipermalukan?

Ia merasa hidup Serla kelewat sempurna. Dikelilingi orang yang menyayanginya. Hidupnya seakan selalu bahagia. Dan tidak ada yang tidak menyukainya.

Hal itu berbanding terbalik dengan dirinya. Nindya yang terkenal kasar dan jutek. Nindya yang bahkan tidak punya teman dekat. Teman pun hanya anak basket putri. Dan Nindya yang harus berusaha keras agar dilihat.
Berbeda dengan Serla yang tidak perlu mencari perhatian namun sudah diperhatikan, Nindya harus berusaha keras agar dia dapat dilihat. Bahwa dia ada.

Seperti hal tentang Gerdan. Gadis itu sudah tidak tahu lagi bagaimana membuat ia membalas perasaan Nindya. Tapi lagi-lagi Serla yang menang.

Sungguh, Nindya membenci Serla setengah mati.

"Gue dukung banget Gerdan sama Serla. Dari pada sama Nindya yang bahkan cuma dianggep sampah."

Cukup. Nindya sudak muak. Dia menghampiri murid yang berbicara tersebut dan mendorong bahunya dengan keras hingga menabrak dinding. Dia meringis. Segera ditarik temannya agar menjauh dari Nindya. "Disamperin aja baru diem. Cupu!"

Gadis itu menghela napas panjang sebelum kembali melangkah dengan wajah masam. Kakinya terus berjalan meski ia sudah sampai di kelasnya.

Di belakangnya, Rio mengerutkan dahi. Mau kemana Nindya? Jangan heran, sedari tadi dia memang membuntuti gadis itu. Menjaga jarak di belakangnya agar tidak ketahuan.

Rio hanya merasa simpati. Sepenuhnya ini bukan salah Nindya. Meski dia juga tidak habis fikir mengapa bisa dia menampar Serla hanya karena sebuah chat. Tapi Rio tau Nindya merasa marah karena merasa dipermainkan Serla. Ya meskipun Rio juga tahu Serla tidak bermaksud begitu.

Ketika gadis itu memasuki sebuah ruangan kosong yang berisi kursi dan meja yang telah rusak, Rio ikut masuk. Pintu tidak Nindya tutup. Toh ruangan ini ada di ujung koridor yang sepi dan buntu. Jadi tidak mungkin ada yang kemari kecuali ada sesuatu yang penting.

Nindya menendang kursi-kursi di sana dengan kesal. "Arrghh! Sial!"

Rio meringis di belakangnya. Kursi di sana semakin rusak akibat tendangan Nindya. Bahkan hingga ada yang malah patah.

"Kenapa selalu Serla?!"

Rio duduk di salah satu meja. Yang untungnya masih bisa menyangga tubuhnya. "Jangan mudah iri sama seseorang Nind."

Nindya cepat menoleh dan melotot tajam mengetahui ada orang selain dirinya di sini. "Lo?! Ngapain sih di sini? Mau ngatain gue juga?"

"Iri bisa buat lo melakukan tindakan yang salah di mata orang. Gue tau lo orang baik, tapi karena lo iri sama Serla, lo merubah diri lo menjadi sosok yang jahat. Dan itu bukan lo."

"Tau apa sih lo? Ngomong enak, coba kalau lo ada di posisi gue, pasti lo bakal ngelakuin hal yang sama."

Nindya melanjutkan, "Lo nggak akan ngerti, saat diri lo merasa nggak berguna karena seseorang. Saat diri lo merasa dipermainin perasaan lo. Saat lo dipandang jijik sama orang-orang! Lo nggak akan ngerti!" Air mata Nindya lolos setetes. Tidak bisa lagi ia membendungnya. Tidak peduli jika Rio mau mengatainya.

"Tanpa lo sadar, lo sendiri yang membuat pandangan orang begitu. Mereka menilai dari apa yang mereka lihat atas kelakuan lo. Dulu lo nggak begini, dulu lo hanya cewek cuek dan jarang ngomong. Ini karena iri udah menguasai lo."

Nindya terduduk bersandar pada dinding. Tangisnya semakin tersedu-sedu. "Iya, gue emang iri sama Serla. Puas! Dia bisa dapetin perhatian Gerdan tanpa minta. Sedangkan gue, gue bahkan udah ngelakuin banyak cara tapi tetep nggak dianggap. Bahkan gue dikatain sampah sama dia. Kurang menderita apa gue?"

Rio menghela napas panjang. Tidak enak melihat Nindya menangis seperti ini. "Tidak semua cinta berbalas. Tidak berbalas pun kita harus ikhlas. Karena di dunia ini ada banyak cinta. Cowok di Rajawali nggak sedikit Nind. Lo cantik, pasti banyak yang mau sama lo kalau lo nggak menutup diri dan terpaku pada satu cowok aja."

"Di Rajawali emang banyak cowok ganteng, tapi mana ada yang mau sama gue. Gue udah terlanjur dipandang cewek kasar sama banyak anak. Gimana ada cowok yang mau deket sama gue? Gue deketin mereka aja juga nggak berani karena nggak percaya diri."

"Emang Gerdan bukan cowok sampai lo berani deketin dia? Lo sebenarnya bisa, tapi lo memilih merasa nggak bisa dan akhirnya itu yang lo lakuin. Lo bisa aja ngerubah pandangan mereka kalau lo mau."

"Gue nggak bisa! Gue udah terlanjur cinta sama Gerdan."

Rio berdecak. "Bentuk cinta yang lo tunjukin malah terlihat seperti obsesi. Cinta harusnya buat lo bahagia. Kalau nggak, lepasin aja."

Nindya menenggelamkan wajahnya pada lengan yang bertumpu pada kedua lutut. Perkataan Rio hampir semuanya benar. Tapi dirinya terlalu naif mengakuinya.
Haruskah dia berpindah hati dan merubah segalanya?

Rio turun dan menghampiri Nindya. Dipeluknya gadis itu dan mengusap punggungnya pelan. Dia membutuhkan dorongan dan Rio akan senang hati melakukan hal tersebut.

Nindya hanya terus menangis. Dadanya bergejolak. Bimbang harus apakah ia selanjutnya.

"Gue bakal bantu lo merubah sikap kalau lo mau."

Dan tawaran itu tidak pernah mendapat jawaban.

🌛🌛🌛🌛

Serla memasuki kelas dengan wajah sumringah seperti biasanya. Seolah kejadian kemarin tidak pernah terjadi, hanya angin lalu.

Begitu dia duduk di bangkunya, Hilda dan Anggra langsung menghampirinya dan mengecek pipi Serla. Mereka berdua tentu khawatir karena belum tau keadaan Serla sejak kemarin. Terkesan berlebihan namun mereka memang khawatir.

"Pipi lo masih sakit Ser?" tanya Anggra berusaha memegang pipi Serla.

Serla segera menghempas tangan kedua tangan sahabatnya yang tengah ada di wajahnya. Risi. "Kalian berlebihan tau nggak. Gue oke."

Hilda berdecak, tiba-tiba saja wajahnya berubah kesal. "Nindya emang kelewatan, main nampar anak orang seenak jidatnya. Pengen gue basmi tuh anak."

"Sama, kesel gue. Udah tau dia anak basket yang kerjaannya namparin bola basket. Ya pipi Serla merah bangetlah kemarin. Gue aja liatnya ngilu."

Serla tertawa. Lucu ketika Anggra menyebut memantulkan bola basket dengan menampar. "Nampar bola? Lo pikir apaan dah."

"Apa nggak kita laporin aja Ser?"

Serla cepat menggeleng. "Ini masalah kecil kali. Udah deh kalian jangan berlebihan, lupain. Nanti juga gue mau minta maaf sama Nindya."

Baik Hilda maupun Anggra hanya menatap jengkel Serla. Seharusnya yang meminta maaf itu Nindya, bukan dirinya.

🌛🌛🌛🌛

Nindya merogoh sakunya untuk mengambil benda pipih itu. Dicarinya nama seseorang dan ia langsung menghubunginya.

Begitu terhubung, dia segera berbicara, "Ngel, gue mau buat kesepakatan."

🌛🌛🌛🌛

Thanks buat yang sudah baca dan voment❤

101118

Gerla (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang