50 - Penantian. (END)

17.6K 694 42
                                    

🌛🌛🌛🌛

Serla menguap untuk kesekian kalinya. Rasanya gadis itu benar-benar mengantuk. Padahal dia rasa tidurnya sangat nyenyak tadi malam. Atau mungkin saja ini efek dari pelajaran yang sedang berlangsung saat ini. Apalagi jika bukan sejarah, belum lagi guru itu termasuk guru killer. Kini, semua murid ditugaskan mengerjakan latihan soal yang amat panjang jawabannya.

Tangan Serla bergerak bebas mengucek matanya. Rasa kantuk itu sudah tidak bisa dia tahan. Maka, dia memutuskan berdiri. Suara kursi berdecit itu membuat beberapa pasang mata menatap dirinya karena suasana hening lebih mendominasi sebelumnya.

"Bu, izin ke toilet."

Guru sejarah itu mengangguk. Serla tentu langsung berlalu begitu saja dengan mata begitu sipit. Jika tidak hati-hati, dia bisa saja menabrak apapun di depannya.

Ketika gadis itu tengah berjalan santai, seseorang mencekal tangannya dengan tiba-tiba. Serla tersentak dan reflek matanya terbuka lebar. Hilang sudah rasa kantuknya digantikan rasa terkejut bukan main. Jelas, orang dia jalan tenang-tenang saja dan dalam posisi mengantuk eh tiba-tiba ada orang menariknya tanpa permisi.

"Nindya?" Serla membuka suara. Cukup terkejut melihat siapa si penarik tadi.

"Gue minta maaf. Please maafin gue. Lo boleh kasih gue pelajaran apapun. Asal jangan suruh bokap lo pecat Mama gue. Gue mohon."
Nindya menggigit bibir bawahnya. Dia sedang tidak bersandiwara. Dia sungguh-sungguh. Benar-benar minta maaf pada Serla. Kini ia sadar, Serla tidak pernah mencari gara-gara dengannya.

Sebenarnya, Nindya ingin mengatakan ini ketika istirahat. Tapi ketika ia melihat Serla sendirian berjalan ketika jam pelajaran membuat Nindya memanfaatkan keadaan agar dia bisa bicara dengan Serla tanpa diganggu. Agar ia bisa punya waktu lebih banyak dengan gadis itu.

Serla kembali terkejut. Apa? Apa maksud Nindya? Berusaha mencerna perkataan Nindya, Serla akhirnya paham. Mungkin Nindya begini karena ucapan Gerdan waktu itu. Rasa kantuk ternyata masih mampu memengaruhi loadingnya pikiran Serla.

Gadis itu, Serla, akhirnya tersenyum. "Udah gue maafin. Dan soal Mama lo, gue nggak akan nyuruh Papa gue mecat beliau kok. Nggak ada untungnya buat gue. So, lo nggak usah khawatir."

Nindya menatap Serla penuh kelegaan. Gadis itu benar-benar baik seperti perkataan banyak orang. Kemana saja dia? Cinta memang membuat dia buta dan tuli akan kebaikan Serla. Padahal gadis itu sama sekali tidak mengusiknya dari dulu. Malah, Nindya yang lebih dulu mengibarkan bendera perang meski Serla terus saja diam.

Rasa bersalah itu tiba-tiba datang tanpa bisa Nindya cegah.

"Gue minta maaf soal di kantin waktu itu. Gue terlalu buta dan tuli untuk semua kebaikan lo Ser. Sekali lagi, maaf."

Serla tersenyum kembali. "Udah gue bilang gue udah maafin. Udah kali minta maafnya. Lebaran masih lama."

Nindya terkekeh mau tak mau. Padahal tidak lucu.  "Makasih."

"Iya iyaa. Udah ya gue mau cuci muka. Lagi pelajarannya Bu Dina. Ngantuk parah nih gue. Byeeee!!"

Lambaian Serla dibalas anggukan pelan oleh Nindya. Rasanya, beban gadis itu hilang hampir setengahnya. Sedang Serla, melepaskan senyum tipis. Seperti biasa, Serla dengan sifat pemaafnya.

🌛🌛🌛🌛

Gerdan bersandar pada dinding kelasnya. Tempatnya berdiri hanya berjarak dua meter dari pintu kelas Serla. Lelaki itu membuang napas kasar berkali-kali. Entah mengapa ia jadi gugup. Ahhh Gerdan tidak suka keadaan ini.

"Kenapa sih suka banget nyita waktu pulang murid," gerutu Gerdan pada guru yang mengajar di kelas Serla. Bukan apa, padahal waktu pulang sudah terlewat 15 menit. Para siswa pun sudah banyak yang pulang.

Gerla (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang