47 - Tak Ada Salahnya Berdamai

9.4K 577 17
                                    

🌛🌛🌛🌛

Gerdan menghentikan motornya tepat di depan gerbang rumah Serla. Dari tadi setelah gadis itu bercerita, dia hanya diam saja. Enggan bicara barang sepatah kata. Hal itu membuat Serla ikut diam. Tak mau mengoceh panjang lebar ketika Gerdan sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja sekarang.

"Gue langsung pulang."

Serla mengangguk ketika sudah turun dari motor lelaki itu. "Hati-hati."

Salah jika Serla menduga Gerdan akan berlalu begitu saja setelah mendapat anggukan darinya. Lelaki itu masih di tempatnya. Terlihat mulutnya beberapa kali terbuka. Namun selalu tertutup setelahnya.

"Kenapa?" tanya Serla karena merasa Gerdan ingin mengucapkan sesuatu padanya.

Gerdan menggeleng pelan. Mulai menyalakan motornya kembali. "Nggak papa. Gue pulang."

Serla mengernyitkan keningnya heran. Hingga entah mengapa, dirinya berkata, "Indekos Davin deket sama Masjid warna hijau besar. Indekos Berkah namanya."

Dan perkataan Serla barusan membuat Gerdan tak habis pikir dengan Serla. Tak mau lama-lama di sana, Gerdan mulai menjalankan motornya tanpa mengatakan apa-apa.

Di tempatnya, Serla tersenyum kecut. Melangkah pelan menuju gerbang dan membukanya.

🌛🌛🌛🌛

Gerdan mengusap wajah kasar. Meski egonya mengatakan untuk segera pulang ke rumah, tapi hati dan otaknya membawanya ke sini. Tempat di mana Davin tinggal. Indekos ini begitu sederhana. Gerdan tak mengira ucapan Serla benar adanya. Ahh Serla. Gadis itu membuat Gerdan tak habis pikir. Bagaimana dia bisa tahu jika Gerdan ingin tahu di mana Davin tinggal padahal Gerdan sama sekali tidak mengatakan hal apapun.

Dia anak yang nggak bisa dibanggain, Pa. Dia di sekolah aja tukang cari masalah. Temen aja nggak punya.

Gerdan akui, dirinya salah dalam hal ini. Maka, dengan sedikit ragu, dirinya turun dari motor dan bertanya pada Ibu pemilik indekos yang kebetulan ia temui untuk menanyakan di mana tempat Davin. Setelah mengetahuinya, Gerdan segera menuju tempat Davin.

Beberapa anak tangga sudah ia lalui. Dan sekarang dia ada di sana. Tepat di depan pintu indekos Davin. Baru kali ini, Gerdan merasa bingung harus apa ketika ingin menemui seseorang. Padahal dirinya hanya tinggal mengetuk pintu dan mengatakan maaf. Tapi nyatanya tidak semudah itu. Sama sekali tidak mudah.

Sebelum mengetuk, Gerdan mengintip sedikit lewat jendela yang tirainya terbuka. Di sana, Davin tengah tertidur dengan tenang. Sebuah televisi yang menyala terdengar sayup-sayup. Mungkin Davin ketiduran hingga lupa mematikan televisi.

Hal itu membuat Gerdan semakin dirundung  perasaan bersalah.

Kenapa? Apa dia nggak punya siapa-siapa lagi sampai harus numpang di sini?!

Nyatanya, Davin benar-benar tidak punya siapa-siapa. Sungguh, Gerdan merasa dirinya memang salah.

Dengan ragu yang sedikit berkurang, Gerdan mengetuk pintu berulang kali. Hingga akhirnya pintu itu terbuka dan menampilkan sosok Davin yang tengah mengucek matanya. Bibirnya terbuka, menguap lebar.

Begitu melihat Gerdan, mata Davin terbuka dengan sempurna. Awalnya dia heran. Namun beberapa detik setelahnya, dia meraih gagang pintu. Gerdan bergerak cepat menyegah Davin yang akan menutup pintu itu.

"Maaf. Maaf. Gue minta maaf."

Davin terkesiap untuk beberapa saat. Ia merasa telinganya sedang dalam keadaan bermasalah. Mana mungkin, seorang Gerdan yang pernah mengatainya seenaknya kini tiba-tiba datang dan mengucap maaf? Ya, setelah ini mungkin Davin harus ke rumah sakit.

Lagi, Gerdan mencegah Davin untuk menutup pintu.

"MAAF!!! GUE BENERAN MINTA MAAF!!"

Lagi-lagi Davin terkesiap. Kali ini bukan karena ia merasa telinganya bermasalah. Namun karena ia tak percaya. Apa iya ia sedang mimpi? Tapi kenapa terasa nyata? Dan kenapa, rasa hangat menjalar di tubuhnya?

"Gue emang salah. Gue nggak seharusnya ngatain lo seenaknya. Itu karena gue lagi emosi dan nggak tau apa-apa. Maaf karena udah kelewatan. Gue, bener-bener minta maaf."

Davin masih terdiam. Entah kenapa, mendengar kata maaf Gerdan membuat rasa tidak suka Davin pada Gerdan hilang begitu saja. Kenapa bisa?

"Jangan diem aja bego?!" ucap Gerdan karena kesal.

Davin akhirnya memasang wajah menyebalkan.
"Lo niat minta maaf nggak sih?"

Gerdan berusaha bersabar. Karena menghadapi Davin harus membutuhkan kesabaran yang ekstra.
"Iya gue minta maaf."

"Gue nggak mau maafin."

Gerdan lagi-lagi kesal. "Lo ngajak berantem?!"

Davin akhirnya tertawa. Tawa yang nyaring. Kali ini bukan tawa menyedihkan seperti malam itu. Tawa ini memang tawa yang murni karena Davin merasa hal ini lucu.

"Lo berhenti ketawa atau gue acak-acak kost lo?!" ancam Gerdan.
Kenapa jadi gini sih? Gerdan heran.

Tiba-tiba masih dengan sedikit tawa, Davin mendekat ke Gerdan dan memeluknya. Sesekali menepuk punggung Gerdan. Hal itu membuat Gerdan menjadi diam seperti patung. Apa-apaan ini? Bagaimana jika ada yang melihat dan berpikir macam-macam?

"Iya. Gue maafin kali."

Dan Gerdan, membalas pelukan Davin pada akhirnya setelah beberapa detik terdiam. Rasanya lega Davin mau memaafkannya. Keduanya tak mengerti. Mengapa rasaa hangat menjalar di sekujur tubuh keduanya?

Tak mau lama-lama berpelukan karena takut ada salah paham pada orang sekitar, Gerdan dengan kasar mendorong Davin menjauh. Lalu pura-pura membersihkan bajunya seolah ada kotoran di sana. Davin lagi-lagi tertawa. "Idih gaya lo. Ini udah gue maafin loh. Nggak mau nraktir?"

Gerdan mendengus. Lalu menyelonong masuk begitu saja ke dalam indekos Davin.
Yang punya pun ikut mendengus. "Bikinin minum dong Dan."

Gerdan melempar tisu yang ada di depannya ke Davin. "Lo pikir gue yang tinggal di sini?"

"Ya kan gue minta tolong. Masa nggak mau sih?"

"Berisik bego! Diem!"

Lima menit kemudian, Gerdan merasa salah tingkah. Karena sedari tadi mereka hanya diam. "Lo kenapa diam aja sih?"

Davin menendang kaki Gerdan. "LO YANG NYURUH GUE DIEM TAI!"

"YA UDAH JANGAN NGEGAS."

"GUE NGGAK NGEGAS."

"LO NGEGAS."

"GUE BUKAN MOTOR!"

Cukup. Sudah. Gerdan tidak akan sanggup menghadapi Davin kalau begini caranya.

Hingga akhirnya, sebuah kalimat melunjur dari mulut Gerdan. Hal yang sedari tadi dia pikirkan. Namun takut dia ucapkan. Takut, jika nanti yang ia dapat hanya penolakan. "Ikut gue pulang ke rumah Vin, Mama sama Papa selalu nunggu lo pulang. Karena rumah lo di sana. Bareng gue, Papa, Mama." Ada nada getir yang terucap dari mulut Gerdan. Seolah, sesak tiba-tiba menyerangnya tanpa bisa dia cegah. Ya, memang begitu adanya.

Davin terkesiap dan raut wajahnya seketika berubah datar. Dadanya bergemuruh hebat. Ia tak mengira, selega dan sebahagia ini rasanya kehadirannya diterima.

Bunda, selega dan sebahagia ini ya rasanya diterima? Baik-baik di sana, Bun. Seperti kata Bunda, Davin bakal berusaha kuat menghadapi semuanya.

🌛🌛🌛🌛

Thanks buat yang udah baca dan voment❤

Next? Komen dulu yg banyak :P

240719

Gerla (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang