Part 31. Impian Pavo

335 20 1
                                    

Pavo bersiap keluar kamar dengan senyumnya yang mengembang dan baju yang lebih rapi. Biasanya dia hanya memasukkan baju seenaknya sendiri yang penting lolos pemeriksaan Bu Ningsih. Tapi hari ini dia terlihat begitu rapi dengan wajahnya yang penuh semangat. Efek lega sudah menyatakan perasaannya pada Cana, dia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan gadis itu lagi.

Pavo segera keluar kamar.

"Hwaaa!" teriak Pavo terkejut menyadari Ayahnya sudah berdiri di depan kamarnya saat dia membuka pintu. "Ayah pulang?" tanya Pavo karena biasanya Ayahnya selalu sibuk dengan bisnisnya dan pulang dalam waktu yang tidak menentu.

Dan tanpa sepengetahuan Pavo, pagi ini Beliau sudah pulang. Sepertinya Beliau baru saja pulang, itu terlihat dari wajahnya yang terlihat sedikit lelah meskipun baru saja selesai mandi.

"Kenapa kaget seperti itu?" tanya Pak Ardi dengan wajah dingin seperti biasanya, yang sesaat kemudian menatap anaknya dari bawah sampai atas tanpa berniat menjawab pertanyaan Pavo.

"Apa sih menatap seperti itu?!" kesal Pavo. Dia memang sedikit tidak akur dengan Ayahnya, tapi meskipun begitu, Pavo sangat menghormatinya. Bukan berarti dia kemudian benar-benar berani dengan Ayahnya hanya karena sedang tidak akur.

"Tumben rapi?" tanya Beliau. Pavo hanya terdiam tidak membalas. "Baguslah kalau sudah siap-siap, cepat sarapan. Jangan membolos lagi," ujar Beliau lalu segera kembali ke ruang makan.

Pavo terdiam sesaat.
"Tunggu, Ayah hari ini pulang dan aku baru ingat belum mengambil motor. Aduuuh, gawat kalau ketahuan motornya dibawa orang," panik Pavo.

Pavo menghembuskan nafasnya sesaat berusaha tenang sambil berpikir lalu segera ke ruang makan. Kalau ketahuan, Ayahnya pasti akan sangat marah.

Tidak ada percakapan apapun di ruang makan. Sangat sunyi, hanya suara piring dan sendok beradu yang terdengar. Bik Tini yang merupakan pembantu di rumah itu sejak lama juga tidak berani bicara apapun. Saat ini Beliau sudah berumur 60 tahun, namun masih sangat sehat. Beliau hanya menaruh keranjang buah di meja makan lalu kembali ke dapur. Padahal biasanya setiap pagi Bik Tini akan mengomeli Pavo ini dan itu seperti Ibunya, entah karena bajunya yang berantakan atau karena Pavo yang malas bangun untuk sekolah. Tapi, jika sudah ada Pak Ardi, Bik Tini lebih memilih diam karena Pavo sudah diurus oleh Ayahnya.

"Ayah tidak lihat motormu di garasi sedari pagi tadi, Ayah pikir kamu keluyuran. Baguslah kalau kamu di rumah," ujar Pak Ardi yang akhirnya memecah kesunyian.

"Memangnya sejak kapan aku suka keluar malam," gerutu Pavo.

"Ayah hanya mengkhawatirkanmu," ujar Pak Ardi dan Pavo hanya bisa terdiam. "Lalu dimana motormu?" tanya Beliau yang seketika benar-benar membuat Pavo menjadi gugup.

"Ma-masuk bengkel," bohong Pavo.

Pak Ardi yang sedari tadi hanya sibuk makan dan berbicara tanpa menatap anaknya sekalipun akhirnya melirik Pavo. Ada gelagat lain dari Pavo, dia tahu Pavo sedang berbohong.

"Beritahukan nama bengkelnya biar Ayah ke sana bayarkan sekaligus biayanya," pancing Pak Ardi.

"Eh? Ti-tidak usah. Kemarin diperbaiki di bengkel teman, jadi Ayah tidak perlu membayar. Nanti, akan aku bayar sendiri," sahut Pavo cepat. "Siapa tahu nanti dikasih gratis."

"Lalu kamu mau berangkat naik apa?" tanya Pak Ardi.

"Aku bisa naik ojek," jawab Pavo.

Sesaat kemudian suasana hening kembali.

"Pavo, belajarlah bisnis dan teruskan bisnis Ayah," pinta Pak Ardi yang seketika membuat Pavo menghentikan makannya. Topik pembicaraan yang sama sekali tidak ingin dibicarakan Pavo.

For You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang