"Aku pulang," ucap Albi sambil memasuki rumah. Bajunya yang tadi kotor sudah kembali menjadi bersih.
"Kok tumben pulangnya sore?" tanya Ibunya sambil mencuci sayuran di dapur.
"Iya Bun, Albi ikut ekstra dulu. Tadi pagi lupa mau bilang soalnya berangkat buru-buru," jawab Albi beralasan.
"Oh ya sudah, lain kali bilang dulu. Bunda kan jadi khawatir nunggunya," ujar Beliau.
"Iya Bun," sahut Albi dengan nada rendah. Dia merasa bersalah sudah berbohong pada Ibunya. Tapi, kalau dia jujur pasti akan membuat Ibunya semakin mengkhawatirkannya.
Alya yang baru keluar dari kamarnya langsung menghampiri Albi dan mengamati kakaknya dari atas sampai bawah.
"Apa?" tanya Albi mulai setengah kesal karena Alya menatapnya menyelidik bahkan dia mengendus baju Albi. "Kamu ini kenapa sih?!" kesal Albi sambil menjauh dari adiknya.
"Hei Kak, kamu memang pintar berbohong di depan Bunda, tapi tidak di depanku," ujar Alya setengah berbisik sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Albi hanya terdiam tidak menyahut. Dia sudah mulai menangkap apa yang dimaksud Alya. Adiknya satu itu memang sangat jeli. "Kakak pulang dari ekstra tapi bajunya bau harum seperti habis dicuci? Kakak pasti dari tempat laundry kan? Apa Kakak berkelahi lagi?" interogasi Alya. Dia tahu kebiasaan Kakaknya dulu selalu pulang dengan baju bersih setelah berkelahi agar tidak diketahui Ibunya.
"Tau darimana? Jangan sok mengarang. Apa buktinya?" balas Albi masih berusaha mengelak.
Alya tersenyum sesaat sambil mendekati Albi. Dan sedetik kemudian Dia langsung memukul pelan perut Albi yang alhasil membuat cowok itu sedikit meringis namun dia langsung memasang wajah biasa kembali sebelum Alya menyadarinya.
"Tuh, benarkan! Memangnya aku tidak tahu kebiasaan Kakak dulu, hemm?! Selalu melindungi wajah tiap habis berkelahi," kesal Alya. "Kakak ngapain sih berkelahi lagi? Nggak kapok apa sudah pernah bikin Bunda sedih!"
Albi terdiam sesaat. "Bukan urusanmu! Minggir aku mau ke kamar!" usir Albi, tapi Alya masih menghadang Albi. "Al!" marah Albi.
"Jelaskan dulu!"
"Tidak mau!" balas Albi. "Pikirkan saja sendiri!"
Ibu Albi menoleh sebentar ke arah anak-anaknya yang sepertinya sedang berdebat di kejauhan.
"Alya, Kakakmu baru pulang. Biarkan dia istirahat dulu dan jangan bertengkar. Sini bantu Bunda," lerai Beliau.
"Iya Bun."
***
Albi selesai mandi, dia menatap dirinya di depan kaca kamar. Sesaat kemudian dia bernafas lega mendapati wajahnya masih baik-baik saja. Dia tidak perlu mengkhawatirkan Alya yang mengetahui keadaannya. Dia tidak akan mengadu pada Ibunya. Tapi kalau Ayahnya tahu itu sudah beda cerita.
"Setidaknya aku masih bisa melindungi wajahku. Jadi Ayah tidak akan tahu aku berkelahi lagi," gumam Albi. "Tapi perutku rasanya masih sangat sakit," keluh Albi.
Albi segera merebahkan badannya di kasur dan menatap langit kamarnya. Ada tugas yang harusnya dia kerjakan hari ini, tapi dia masih malas untuk membuka buku. Badannya masih terasa sakit, jadi dia ingin istirahat dulu. Biasanya dia tidak suka menunda mengerjakan tugas sekolah karena itu akan jadi merepotkan. Entah jadi terlupakan atau bisa saja menjadi penyakit malas.
Albi terdiam masih menatap langit-langit kamarnya. Dia mengingat apa yang dikatakan Erga tadi. Semua kenangan yang tadinya ingin dia pendam akhirnya terbongkar kembali. Albi memejamkan matanya sejenak, berharap dengan tidur dia akan lebih tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
For You [END]
Novela JuvenilDulu, aku hanya mampu menatapmu dari kejauhan. Kini aku bisa berdiri di sampingmu, tapi aku tidak pernah mampu menyatakan perasaanku. Aku takut menyakitimu. [Albi] Dulu, aku tidak pernah berani mendekatimu. Aku menyukaimu, tapi aku hanya mampu menat...