"Auri, kamu menyukaiku?" tanya Albi.
Auri terdiam, dia ingin mengatakan "Iya," tapi apa Albi juga akan menyukainya?
"Tidak apa jika kamu tidak menjawab," ucap Albi sambil tersenyum.
"Wah, bukankah ini Albi dan Auri. Halo, halo sedang apa kalian di sini? Apa kalian sedang kencan?" ucap seseorang yang membuat mereka berdua menoleh.
"Pavo?!" panggil Auri setengah terkejut. "Bagaimana kamu bisa sampai di sini?"
"Bagaimana apanya, rumahku kan di daerah sini. Dan lagi aku mau keluar cari makan. Kalian sendiri sedang apa sampai di sini?" tanya Pavo balik. "Ah, aku lupa kalian kan sedang kencan," ujar Pavo.
"Kamu tidak sedang mengikutiku kan?" tebak Auri.
"Aku masih banyak urusan, untuk apa mengikuti kalian," sahut Pavo.
"Albi?" panggil sebuah suara lain cowok yang kemudian membuat semua menoleh. Albi setengah terkejut mendapati musuh lamanya. "Ternyata benar kamu? Halo mantan musuh, haha," sapanya akrab lalu bersalaman dengan Albi dan saling memeluk sesaat. Albi tetap tenang namun dalam hatinya setengah bingung bagaimana cowok di depannya kini berubah sangat akrab dengannya.
"Kamu…. Rifki?" tebak Albi.
"Yups. Bagaimana kabarmu sekarang?" tanya Rifki.
"Yah, seperti yang kamu lihat. Kamu sekarang banyak berubah ya," sahut Albi.
"Memangnya kamu sendiri juga enggak," balas Rifki lalu tertawa pelan.
"Siapa Kak?" tanya Auri.
"Halo, aku teman SMP nya Albi. Sekolahnya deket kok dari sini," ujar Rifki dan Auri hanya mengangguk.
"Oh iya, aku sedang buru-buru pulang nih," ucap Albi sambil melirik jam nya yang menunjukkan angka pukul empat sore lebih. Pukul lima sore dia harus mengambil kue di rumah Cana.
"Cepat amat. Nggak pengen jalan-jalan kemana gitu? Sudah lama nggak ketemu, atau mau mampir ke SMP sebentar main basket?" sahut Rifki.
"Kapan-kapan kalau ada waktu aku akan main lagi ke sini," ujar Albi. "Auri, kita pulang sekarang tidak apa-apa kan?" tanya Albi.
"Kak, maaf sepertinya aku tidak bisa pulang dengan Kak Albi," ujar Auri. "Aku mau mampir ke rumah saudara dulu kebetulan dekat sini," tolak Auri.
"Oh ya sudah, tidak apa-apa. Kalau begitu aku duluan ya," pamit Albi.
"Daah, hati-hati di jalan. Aku tunggu kedatangannya lagi," sahut Rifki sambil tersenyum manis, dan Albi segera melangkah pergi menjauh. Rifki menoleh ke arah Auri sambil tersenyum dan menatapnya dengan setengah menyelidik.
"Apa sih ngliatnya gitu banget?! Nggak pernah lihat cewek cantik apa?" kesal Auri.
Rifki hanya menghela nafas sambil tersenyum.
"Sorry, nggak ada maksud apa-apa kok, hanya ingin tahu bagaimana cewek yang jalan dengan Albi," sahut Rifki. "Daah," pamit Rifki lalu segera pergi meninggalkan mereka.
Pavo ingin menghentikannya dan menanyakan tentang Albi. Namun dia urungkan karena sepertinya cowok itu tidak akan menjawabnya.
"Hei, tidak mengabari kamu pergi kencan dengan Albi?" interogasi Pavo.
"Memangnya kamu juga mengabari setiap istirahat pergi ke taman buat nemuin Cana," balas Auri.
"Jadi sekarang kamu balik balas nih? Auri, hei, kamu nggak jatuh cinta dengan Albi kan? Ingat ya, aku ingin kamu membuatnya jatuh cinta denganmu lalu jatuhkan dia, bukan kamu yang jatuh cinta dengan Albi," kesal Pavo.
"Iya, aku tahu. Tapi kamu juga tuh jangan kegenitan dekat-dekat sama Cana," kesal Auri.
"Oho, apa kamu sedang cemburu?" goda Pavo. "Sudah ku bilang aku dekat dengan Cana hanya untuk mencegah dia agar tidak bicara dengan Albi. Dan juga, aku mencegah Albi dekat dengan Cana supaya dia lebih dekat denganmu," jelas Pavo.
"Tapi awas ya kalau sampai kamu juga suka dengan Cana," ancam Auri.
"Iya, iya," sahut Pavo setengah malas.
"Ya sudah, aku mau pulang duluan," pamit Auri.
"Nggak jadi ke tempat saudara?" tanya Pavo.
"Nggak ada saudara di sini. Bohong doang. Kalau sopir iya rumahnya dekat sini. Ini makanya minta jemput," ujar Auri. "Aku pergi duluan," pamit Auri ulang lalu segera berjalan pergi.
Pavo hanya menatap kepergian Auri lalu menghela nafas sesaat.
"Hati-hati dengan Albi," ucap seseorang di belakang Pavo dan tepat di dekat telinga.
"WAH!" teriak Pavo setengah terkejut dan segera menghindar. "Apa'an sih?! Mau ngajak ribut? Kurang kerjaan apa, bikin orang jantungan!" kesal Pavo.
Rifki hanya tersenyum setengah menahan tawa melihat reaksi Pavo.
"Kamu mau mengerjai Albi?" tanya Rifki yang sesaat kemudian berubah mengeluarkan senyum smirknya.
"Kamu menguping?!" sahut Pavo.
"Aku tidak bermaksud menguping tadinya, tapi waktu baru jalan malah dengar kalian sedang membicarakan Albi, jadi aku berhenti sesaat karena penasaran," ujar Rifki. "Ku sarankan hati-hati dengan cowok itu," ujar Rifki.
"Huh, memangnya apa yang perlu diwaspadai? Aku bahkan sudah mulai setengah langkah untuk menjatuhkannya," ujar Pavo.
"Kamu sebegitu bangganya dengan rencanamu? Aku kasih tahu, Albi itu bukan cowok biasa. Tidak hanya kuat fisiknya, tapi cerdas otaknya juga. Bisa dibilang dia itu licik," ujar Rifki.
"Apa kamu pikir aku takut dengan ancamanmu? Lihat saja, aku orang pertama yang akan menjatuhkannya," ujar Pavo.
"Kalau begitu coba saja. Tapi jangan sampai menyesal. Ah, kamu bilang rencanamu sudah hampir berhasil? Hati-hati, jangan-jangan malah kalian yang sedang dikerjai Albi balik," ujar Rifki masih dengan senyumnya. "Daah," pamit Rifki lalu segera meninggalkan Pavo yang hanya terdiam setengah kesal menatap Rifki.
***
Albi berjalan pelan menyusuri jalanan kecil diantara bangunan tinggi. Tidak jauh dari tempat itu berdiri sekolah SMP nya. Dia dapat melihat lapangan basketnya dari luar yang sekarang ada beberapa anak tengah sibuk bermain di sana. Lapangan basket sekolah SMP itu memang terbuka untuk umum dan biasanya setiap sore selalu digunakan.
Albi berniat melihat sekolahnya sebentar sebelum dia pulang.
Albi menarik nafas dalam lalu menghembuskannya pelan. Kenangan SMP nya kembali teringat setelah dia berusaha melupakan.
Di jalan kecil ini, Albi sering berkelahi dengan beberapa anak sepulang sekolah. Bukan karena cewek, taruhan atau sejenisnya. Terkadang hanya karena menerima tantangan anak-anak.
Ya, dia memang terkenal sebagai terbandel dan petarung terkuat di SMP nya. Hanya terkenal di kalangan anak-anak sekolah, tidak dengan guru dan orang tuanya. Albi pintar menyembunyikan diri. Dia berusaha tidak pernah terkena pukulan, sekalinya kena pukulan dia pintar menyembunyikan lebamnya dan beralasan kepada orang tua akibat dari latihan bola.
Selain itu, di sekolah Albi tidak pernah berbuat ulah di depan guru, bukan berarti juga dia ramah. Hanya lebih diam. Albi juga terkenal sebagai anak yang pandai. Jadi orang tua dan gurunya tidak ada yang menaruh curiga dengan kelakuan Albi di luar sekolah. Albi juga tidak pernah pulang malam, dia selalu pulang sebelum pukul enam sore.
Sampai hari itu... hal itu terjadi. Ketika dia bertemu dengan Erga.
***
Happy Reading ^^
Ditunggu vote & commentnya yaSee ya for next part ^^
11/03/2018
KAMU SEDANG MEMBACA
For You [END]
Teen FictionDulu, aku hanya mampu menatapmu dari kejauhan. Kini aku bisa berdiri di sampingmu, tapi aku tidak pernah mampu menyatakan perasaanku. Aku takut menyakitimu. [Albi] Dulu, aku tidak pernah berani mendekatimu. Aku menyukaimu, tapi aku hanya mampu menat...