"Ray, aku.... bertemu dengan Albi," ucap Erga yang seketika membuat Ray langsung terdiam.
"Apa maksudmu bertemu?" tanya Ray masih tidak percaya.
"Aku mencarinya dan benar-benar bertemu dengannya," ucap Erga masih tidak berani menatap Ray.
Ray langsung melempar bola di tangannya ke sembarang arah dan beralih menarik kerah baju Erga.
"Kenapa kamu mencarinya?! Sudah ku bilang biarkan saja dia pergi dan jangan menemuinya lagi!" marah Ray.
"Apa kamu pikir kami tahan melihatmu kesakitan sendiri dan murung karena kakimu yang patah, sedangkan dia di sana bisa hidup nyaman dan senang sendirian. Padahal temannya di sini tengah berjuang melawan kesakitannya?!" balas Erga balik.
Mereka saling bertatapan tajam untuk beberapa saat.
"Woa, woa woa. Kalian sedang apa?" panik Side dan Hans yang baru datang dan langsung melerai mereka yang akhirnya berhasil membuat Ray melepaskan tangannya dari kerah baju Erga meskipun dengan sedikit menyentak.
"Apa kalian juga menemui Albi?" tanya Ray yang seketika membuat Side dan Hans terdiam, namun mereka tetap mengangguk.
"Ck, untuk apa sih kalian menemuinya?" kesal Ray yang kemudian duduk di bangku pinggir lapangan itu. "Toh dia sudah tidak mencari kita lagi. Biarkan saja dia bahagia dengan kehidupan sekolahnya yang sekarang," ujar Ray.
"Aku hanya tidak bisa memaafkan dia dulu meninggalkanmu begitu saja. Dan bahkan dia menanyakan kabarmu saja tidak," kesal Erga. "Sepertinya dia sudah tidak menganggap kita temannya."
Ray tidak menyahut lagi. Bagaimanapun, dia juga merasa bersalah pada teman-temannya karena tidak menceritakan kejadian sebenarnya. Dia tidak pernah menceritakan kejadian bahwa Albi menyembunyikannya untuk menolongnya. Bukan karena dia ingin menyembunyikannya, tapi justru Albi sendiri yang menginginkan agar Ray tetap menyembunyikan kejadian sebenarnya.
Ray terdiam mengingat kata-kata Albi saat terakhir kali mereka bertemu. Ya, hanya pada Ray. Tidak dengan anak-anak lain.
________
"Ray, bagaimana keadaan kakimu?" tanya Albi saat berhasil diam-diam pergi menjenguk Ray di sebuah rumah sakit.
Ray segera tersenyum. "Aku baik-baik saja. Jangan memasang wajah bersalah seperti itu. Khawatirkan dirimu juga. Lihat tanganmu saja juga masih diperban," gurau Ray.
"Ray, aku sudah mendengar keadaanmu. Maaf aku membuatmu terluka sampai kamu gagal masuk peserta lomba futsal. Jika saja aku naik motor dengan benar, jika saja aku...."
"Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri. Aku juga salah. Jika saja aku tidak gegabah menendang motornya, mungkin kamu bisa lebih menjaga keseimbangan. Itu bukan kesalahanmu, sebenarnya itu justru kesalahanku," ujar Ray yang masih saja tetap tersenyum menenangkan Albi.
"Hei Ray, aku mungkin... sudah tidak bisa bertemu dengan kalian lagi," ucap Albi tertunduk tanpa berani menatap Ray yang tengah terbaring.
"Kenapa? Apa terjadi sesuatu?" tanya Ray.
"Ayah memindahkan sekolahku. Dan juga... Ayahku sebenarnya orang yang cukup keras. Aku tidak mau kalian berurusan dengan Beliau. Jadi... maafkan aku, aku tidak bisa bersama dengan kalian lagi," ujar Albi sambil mengepalkan tangannya kuat.
Ray hanya terdiam menatap Albi lalu memalingkan wajahnya ke arah jendela sambil tersenyum.
"Aku mengerti. Ayahmu juga pasti ingin melakukan yang terbaik untuk anaknya," ujar Ray. "Aku juga ingin mereka sedikit saja memperhatikanku, tapi... mereka sibuk dengan pertengkaran mereka," ujar Ray sambil tersenyum kecut. "Tapi bersama dengan kalian aku merasa lebih baik. Terima kasih untuk semuanya," ucap Ray yang berubah menjadi tersenyum lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
For You [END]
Teen FictionDulu, aku hanya mampu menatapmu dari kejauhan. Kini aku bisa berdiri di sampingmu, tapi aku tidak pernah mampu menyatakan perasaanku. Aku takut menyakitimu. [Albi] Dulu, aku tidak pernah berani mendekatimu. Aku menyukaimu, tapi aku hanya mampu menat...