"Oh, kalian akhirnya datang," ucap Rifki yang akhirnya membuat Ray dan Albi ikut menoleh ke belakang menyadari ada beberapa langkah kaki yang sedang menuju ke arah mereka.
Baik Albi maupun Ray langsung sama-sama terdiam mematung. Begitupun dengan Erga, Side dan Hans yang baru saja datang.
"Rifki, jangan bilang teman lama yang mau mengajak bertanding mereka?" tanya Erga.
"Yups. Kenapa? Apa kalian takut? Bukankah kalian memang teman lama," balas Rifki dengan santainya.
"Rifki, jangan sok polos! Kamu juga tahu kalau kami sudah lama tidak berhubungan baik!" kesal Erga.
"Aku tahu. Tapi... kalian sampai kapan mau marahan terus? Sampai anak cucu kalian lahir?" balas Rifki. "Albi dan Ray saja sudah baikan, kenapa kalian masih tidak mau baikan?" ujar Rifki. Erga tidak menjawab lagi. "Kami akan melawan kalian. Jika kami menang kalian harus menuruti permintaan kami dan baikan, kalau kalah kalian boleh memutuskan yang kalian inginkan juga. Bagaimana?"
Erga tampak setengah kesal. "Oke, aku terima tantangan kalian," sahut Erga.
"Kau yakin? Mereka bertiga bukankah jago olahraga?" bisik Hans.
"Aku tahu, lakukan saja," sahut Erga.
"Kalian berdua tidak masalah kan?" tanya Rifki.
"Tapi, kaki Ray..."
"Tenang saja, kakinya sudah sembuh kok," sahut Rifki pada Albi dan Albi hanya mengangguk.
Albi segera melepas jaketnya dan menyampirkan di atas ranting pohon rendah yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri, hanya memakai kaos hitamnya. Setelah sejak tadi dia berusaha menutup lebamnya dengan kerudung jaketnya, akhirnya dia membukanya.
"Aku pikir kamu akan terus menutupi wajahmu," ujar Rifki sambil menaruh tas dan baju seragamnya di atas rerumputan, begitupun dengan Ray menjaga baju seragam putih mereka agar tidak terlalu kotor karena mereka baru pulang sekolah.
"Kalau lawannya mereka untuk apa disembunyikan," sahut Ray.
"Jangan bilang yang memukuli Albi... mereka?" tanya Rifki tidak percaya.
"Memangnya kamu pikir siapa lagi yang bisa memukuli Albi sampai seperti itu?" sahut Ray.
"Aku pasti akan mengalahkanmu," ucap Erga pada Albi.
Albi langsung mengeluarkan smirknya. "Coba saja kalau kamu bisa," sahut Albi yang nada bicara dan auranya mulai berubah namun tetap berusaha tenang.
Ray dan Rifki yang menyadari perubahan Albi langsung saling tatap.
"Kenapa Albi tiba-tiba terlihat sangat emosi?" tanya Rifki bingung dan Ray hanya angkat bahu sebagai jawaban. Walupun sudah ada tebakan di kepalanya kenapa Albi seperti itu pada Erga. "Tapi... melihat Albi tiba-tiba serius seperti dulu lagi, sepertinya bakalan seru," ujar Rifki sambil tersenyum.
Ray memilih tidak menjawab, namun tatapannya beralih pada Albi.
'Aura dan tatapan menakutkan itu, seperti kembali ke masa lalu,' gumam Ray.
Pertandinganpun segera dimulai. Mereka sama-sama kuat tidak mau mengalah berusaha memenangkan pertandingan.
Albi akhirnya berhadapan dengan Erga dan Albilah yang memegang bola, sedang Erga berusaha menghadang. Albi mengeluarkan smirknya dan dengan gesit langsung melewati Erga, memasukkan bola ke dalam ring membuat Erga terlihat sangat kesal.
Mereka kemudian bertanding kembali, dan lagi-lagi Erga menghadang Albi.
"Aku tidak akan membiarkanmu melewatiku lagi," ujar Erga. Albi hanya meliriknya tanpa menjawab, namun berkalipun Albi berusaha lewat, Erga mulai terlihat serius dan tidak membiarkan Albi lewat. "Hei, kalau dilihat-lihat Cana manis juga ya," ujar Erga memanas-manasi Albi dan itu berhasil. Albi langsung mengeratkan giginya. Kalau saja dia sedang tidak memegang bola mungkin tangannya yang maju duluan untuk menghajar Erga.
KAMU SEDANG MEMBACA
For You [END]
Teen FictionDulu, aku hanya mampu menatapmu dari kejauhan. Kini aku bisa berdiri di sampingmu, tapi aku tidak pernah mampu menyatakan perasaanku. Aku takut menyakitimu. [Albi] Dulu, aku tidak pernah berani mendekatimu. Aku menyukaimu, tapi aku hanya mampu menat...