"Bagaimana keadaan Cana?" tanya Pavo saat memasuki UKS.
"Dia tidur," ujar Zia. "Untung saja sedang tidak jam pelajaran."
Pavo langsung terduduk di kursi di samping tempat tidur Cana.
"Aaaah, aku harus meminta maaf padanya setelah ini," ujar Pavo sambil menaruh kepalanya di pinggiran tempat tidur setengah frustasi. "Kenapa aku melakukannya lagi! Kenapa aku harus membuat taruhan seperti itu lagi! Kenapa aku membuat Cana menangis lagi!" kesal Pavo pada dirinya sendiri. "Cana, maafkan aku. Kamu boleh menyalahkan semuanya padaku," sesal Pavo.
Zia tidak berani memberi komentar apapun. Dia hanya bisa duduk diam mendengarkan setiap kata sesal Pavo pada Cana. Bukan karena takut, tapi karena dia memang tidak tahu harus memberi komentar apa pada Pavo. Cowok itu terlihat sangat tulus meminta maaf. Zia juga tidak bisa berbuat sesukanya menghajar Pavo karena akhir-akhir ini dia sudah melihat Pavo mulai berubah lebih baik.
"Dimana Naya?" tanya Pavo yang akhirnya mengangkat kepalanya setelah beberapa menit.
"Kak Pavo seperti tidak kenal Naya saja. Bukankah kalian sudah kenal cukup lama sejak SMP? Harusnya kamu tahu apa yang sedang dilakukannya sekarang," ujar Zia.
"Apa dia melabrak Auri?" tebak Pavo.
"Mungkin. Tapi dia tidak akan melakukan apapun kok," ujar Zia. "Hanya dengan bicara saja dia akan membuat lawannya diam," tambah Zia. "Naya itu kalau bicara cukup pedas kan."
"Ini sudah terlalu jauh. Aku harus menyelesaikan semuanya, dengan begitu Cana bisa tersenyum lagi," gumam Pavo.
"Dia manis sekali saat tidur," ujar Pavo sambil menatap Cana.
"Hmmm, dilihat-lihat kalau mereka menjadi pasangan manis juga," gumam Zia yang tanpa sadar tersenyum melihat Pavo tengah menatap Cana dengan lembut.
Zia pernah satu SD dengan Pavo, dia tahu bagaimana kecilnya Pavo dulu. Jadi dia tidak kaget jika Pavo tiba-tiba berubah menjadi baik setelah dikenal sebagai anak terbandel.
***
Cana berjalan keluar menuju ke pintu gerbang sekolahnya sambil menuntun sepeda.
"Hai Cana, lama tidak bertemu ya," sapa Erga yang tiba-tiba saja sudah muncul sambil tersenyum manis pada Cana.
Cana hanya meliriknya sesaat lalu mengacuhkan Erga. Erga yang menyadari Cana tengah mengacuhkannya langsung kesal setengah mati. Dia berjalan cepat menghampiri Cana.
"Hei, aku sudah berbaik hati menyapamu dan kamu mengacuhkanku begitu saja?" kesal Erga sambil menarik salah satu tangan Cana yang akhirnya mau tidak mau membuat wajah Cana jadi bertatapan dengan wajah Erga yang sedang marah.
Erga langsung terdiam saat menyadari ekspresi Cana. Seketika amarahnya melebur berubah dengan rasa setengah bersalah. Gadis itu tidak memperlihatkan wajahnya yang ketakutan seperti biasanya. Wajah Cana terlihat sayu, sangat terlihat jelas kalau baru saja menangis.
"Ada apa dengan wajahmu?" tanya Erga yang malah berubah bersimpati.
"Bukan urusanmu," sahut Cana dengan suara yang masih lemah.
"Hei," panggil Pavo yang tiba-tiba saja muncul dan menarik tangan Cana dari Erga. "Berhenti mengganggu Cana."
"Hooo, kamu yang mengaku pacarnya Cana? Halo," sapa Erga sok manis. "Aku sedang ada urusan dengan Cana, bukan denganmu."
Pavo langsung menatap Erga tajam tapi tetap tenang.
"Dengarkan aku baik-baik. Kalau kamu punya urusan dengan Albi, maka selesaikan dengan Albi. Jangan melibatkan orang lain!" ucap Pavo penuh penekanan dan entah kenapa Erga tiba-tiba saja terdiam dan membiarkan mereka pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
For You [END]
Fiksi RemajaDulu, aku hanya mampu menatapmu dari kejauhan. Kini aku bisa berdiri di sampingmu, tapi aku tidak pernah mampu menyatakan perasaanku. Aku takut menyakitimu. [Albi] Dulu, aku tidak pernah berani mendekatimu. Aku menyukaimu, tapi aku hanya mampu menat...