13 - Persiapan

7.9K 448 12
                                    

Reynan pov

Sungguh hari yang menegangkan.
Sifat Ara memang benar-benar tak bisa ditebak.
Sejak kejadian di ruangan Dokter Candra tadi, aku sudah was-was dengan apa yang akan dilakukan Ara kepada Arista.
Ara memang tak membunuh Arista, tapi dia membuat Arista mengeluarkan darah.
Tak bisa dipungkiri, aku pun juga ikut terpekik ketika Ara melemparkan belatinya.
Apalagi ketika Ara hendak menembak Arista, raut muka Ara benar-benar seperti ratunya para iblis.

Bahkan ketika perjalanan pulang pun raut wajah Ara masih tetap sama walaupun dia memang orang yang datar, tapi ini lebih parah dari hari biasanya.
Sania yang terkenal kecerewetannya pun tak berani mengeluarkan sepatah kata pun untuk saat ini.
Sedangkan aku berusaha mati-matian mencairkan suasana yang tegang ini.

"Terima kasih Ar kau tak membunuhnya, kau benar-benar konsisten dengan ucapanmu" kataku.

"Hmmb"

"Ar, setelah ini aku boleh menemui keluargaku, mumpung saat ini aku ada di Malang"

"Kapan kembali ?" tanyanya.

"Malam nanti aku akan pulang, mengingat besok adalah hari yang kau tunggu-tunggu"

"Baiklah"

Waktu menunjukan pukul 15.00.
Setelah kepulanganku dari rumah sakit tadi aku istirahat sebentar.
Rencananya aku ingin mengajak Sania untuk kerumahku, tetapi melihat dia masih tertidur pulas aku mengurungkan niatku.
Ketika aku akan berangkat, Ara memanggilku.

"Bawa mobilku saja" katanya.

"Gak usah Ar, aku bisa naik taksi" tolakku.

"Saya tak menerima penolakan"

Setelah mengatakan itu, Ara pergi kekamarnya.
Aku tersenyum dengan perlakuan Ara.
Jika mereka mengatakan Ara itu kejam, jahat, datar, cuek, mereka tak mengenal Ara lebih dalam lagi.
Faktanya ara masih mempunyai sisi perhatian terhadap orang-orang di sekitarnya.
Aku tau sifat yang ditunjukan Ara setiap harinya itu adalah hanya topeng saja untuk menutupi kelemahannya.

Setengah jam perjalananku.
Akhirnya sampai juga di kediaman orang tuaku.
Sudah berapa lama aku tak menginjakkan kakiku di rumah ini ?
Apa ayah dan ibuku senang melihat anaknya pulang ?
Apa mereka akan bangga dengan pencapaianku selama ini ?
Bagaimana dengan Kak Rendy ?
Apa dia masih membenciku ?
Pertanyaan itu terus memenuhi isi kepalaku.

Aku mengetuk pintu rumahku.
Dan ketukan ke 3 akhirnya terbuka.
Ternyata Ibu yang membukakan pintu.
Ekspresi ibu kaget ketika melihatku berdiri di hadapannya.
Ibu terus memandangiku dari atas sampai bawah.
Aku memakai celana formal dengan atasan kemeja berwarna abu-abu yang ku lipat sesiku bagian lengannya.
Bisa dikatakan ini pakaian kerjaku ketika berada di Xavier Group.

"Reynan" kata ibu.

"Iya bu, ini Reynan" jawabku sambil meraih tangan ibu untuk ku cium tangannya.

Ibu menyuruhku masuk dan duduk.
Namun tak lama itu.

"Ingat rumah juga kau ?" suara Ayah.

"Tau tuh yah, keenakan tinggal di kota gak ingat rumah. Harusnya coret aja dia di kartu keluarga kita" tambah Kak Rendy.

"Kenapa Ayah selalu seperti itu padaku. Aku datang kesini untuk mengunjungi kalian, aku merindukan kalian. Kenapa kalian selalu ingin memusnahkanku" kataku.

Plakkk

Tamparan Ayah benar-benar membuatku bungkam.

"Kau memang pantas untuk dimusnahkan. Wow, lihat sekarang kau datang dengan membawa mobil. Pantas kau berani datang kesini. Merasa jadi orang kaya sekarang. Harusnya Rendy yang naik mobil itu, bukan kamu. Anak sialan"

Aku hanya diam, ibu pun juga tak mengeluarkan sepatah kata pun.
Aku merasa kedatanganku disini benar-benar tak diharapkan.
Aku pun memilih pergi dan aku meninggalkan uang 25 juta untuk ibu.
Ketika aku berjalan keluar.

"Ingat Rey, apa yang menjadi milikmu adalah milikku. Aku akan merebut posisimu di Xavier Group" kata Rendy.

"Coba saja kalau bisa" kataku sambil berjalan memasuki mobil.

Aku pulang dengan keadaan sangat kacau, aku ditolak keluargaku dan Rendy kelakuannya sudah sungguh keterlaluan.
Seakan aku tak peduli, aku sudah masa bodo jika mereka ingin mencoret namaku dari kartu keluarga.

Sampai di kediaman Ara.

"Sudah pulang ?" tanya Ara.

"Iya Ar"

"Kau di tolak keluargamu ?"

Aku hanya diam tak menjawab pertanyaannya.

"Istirahatlah" katanya kemudian.

Aku sempat tercengang dengan pernyataan Ara.
Tapi aku sudah terlalu lelah untuk menanggapinya dan memilih tidur saja.

Ara pov

Aku tau Reynan ditolak keluarganya.
Aku menyewa seseorang untuk mengikutinya.
Aku sedikit emosi dengan apa yang dilaporkan oleh orang sewaanku tentang perlakuan orang tua dan kakaknya terhadap Reynan.
Aku meminta Sania untuk mendapatkan semua informasi tentang keluarga Reynan.

"Kalian akan menyesalinya" batinku.

Keesokan harinya....

Aku bersiap-siap untuk datang ke Zulu Cafe.
Jika Arista tak datang maka aku akan menyuruh bodyguardku untuk menyeret dia datang kesini.
Setelah semua siap.
Aku, Reynan dan Sania pun berangkat.
Tetap dengan apa yang ku bawa.
Aku membawa pistol dan beberapa pisau.
Tak lupa aku juga memberi Reynan dan Sania sebuah pistol.
Meskipun Sania bergidik memegang pistol dia tetap menerimanya.

"Ar, ku harap kau tak membunuh seseorang untuk hari ini" kata Reynan.

"Iya Ar, aku takut kau akan terlibat masalah dengan kepolisian" sambung Sania.

Aku tak menjawab pernyataan Reynan dan Sania, justru aku malah memutar bola mataku karena merasa jengah.

"Jawab Ar" kata Reynan dan Sania bebarengan.

"Ya" jawabku singkat.

Kurasa jawaban singkat itu sudah lebih dari cukup.
Kali ini aku berpencar dengan Reynan dan Sania.
Sebelum aku menuju cafe, terlebih dahulu aku mengantar Reynan dan Sania ke bekas pabrik yang tak terpakai di kota ini.
Di situlah balas dendamku akan dilaksanakan.

Sampai di Zulu cafe, terlihat Arista sedang duduk dengan gelisah.
Aku segera menghampirinya dan ketika aku duduk dihadapanya, Arista menundukkan wajahnya.

"Angkat kepala anda, saya ingin berbicara dengan anda" kataku.

Dengan ragu Arista pun menatapku.

"Saya ingin anda menghubungi Deris dan mintalah dia menemui anda di bekas pabrik yang ada di Jalan Supriyadi No 40 Batu, Malang"

"Sekarang ?" tanyanya dengan ragu.

"Ya"

Arista pun menelfon Deris dengan gemetaran dan Deris pun langsung menyetujuinya.
Aku pun mengajak Arista untuk ikut denganku.
Aku tau jika dewi maut sedang ingin menyabut nyawa seseorang, dia berharap nyawa dia saja yang diambilnya.

Terlihat jelas dari raut muka Arista yang takut, muka yang pucat, cara duduk yang gelisah, serta keringat yang membanjiri seluruh tubuhnya.
Tapi aku mengabaikan semua itu dan tetap menyetir dengan tenang.

Satu hal yang dapat di pelajari Arista hari ini : "Jangan main-main dengan seorang Ara Refri Xavierra dan jangan membuat masalah dengan keluarga Xavier jika tak ingin dirimu mendadak terkena serangan jantung"



















To Be Continue...

The Cold Girl (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang