16 - Perpisahan Dava

7.4K 380 11
                                    

Tiga hari lamanya, aku dan Sania menunggu kepulihan Reynan.
Tiga hari itu juga aku mulai sedikit demi sedikit menghandle perusahaan.
Aku memang merupakan penerus Xavier Group tapi untuk saat ini semua serba rumit, disaat aku belum menginginkan untuk menghandle tapi ternyata keadaan berbicara sebaliknya.

"Ar, sejak kemarin gue lihat lo banyak megangin kepala, kenapa ? Lo sakit ?" tanya Sania.

"Tidak"

"Lalu kenapa ?" tanyanya lagi.

"Lo mulai menghandle perusahaan ya Ar ?" tanya Reynan.

Aku hanya mengangkat sebelah alisku.
Dari mana Reynan tau.

"Gue tau tau dari Pak Antonio, tadi pagi gue dapat email dari beliau katanya sementara waktu perusahaan lo yang megang" sambungnya yang kubalas hanya mengaggukkan kepala.

Sedari tadi aku melihat Sania duduk dengan tidak tenang.
Seperti ada yang ingin dia katakan namun tak tau mulai dari mana.
Meskipun saat ini aku sedang berkutat dengan layar ponselku tetap saja tingkah Sania yang gelisah membuatku merasa risih.

"Katakan saja apa yang ingin lo katakan" ucapku pada Sania namun aku tetap fokus pada layar ponselku.

"Mmm.. Gue mau tanya Ar, tapi lo jangan marah ya"
"Gimana keadaan Deris sama Arista ?"

Aku manatap Sania dan menghembuskan nafas kasar.
Aku menelfon Deva dan tak membutuhkan waktu lama dia pun mengangkatnya.

"Hal.."
"Ke ruangan Reynan sekarang"
"Heh..heh main suruh-suruh aja, gu..."

Sebelum Dava berbicara banyak aku langsung memutuskan secara sepihak.

"Lo bisa tanya itu ke Dava" kataku pada Sania.

Tak lama kemudian pintu kamar Reynan terbuka.
Dava masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
Aku menatapnya tajam, namun yang ku tatap hanya menampilkan cengiran khasnya.

"Lepas saja gelar doktermu jika kau tak punya sopan santun" kataku ke Dava sambil berjalan keluar.

"Kek dia sopan saja, cih" gerutunya yang terdengar jelas di telingaku.

Namun aku memilih diam, aku malas meladeni keabsurd-an Dava.

Aku berjalan di sepanjang koridor rumah sakit ini.
Sampai aku berhenti di depan ruangan salah satu pasien disini.
Terlihat dari jendela seorang suster menyuntikkan injeksi lewat jarum infus pasien tersebut.
Tak ada pihak keluarga yang berada di samping dia.

Setelah kegiatan suster itu selesai, suster itu keluar dan melihatku.
Dia sedikit menganggukkan kepala ke arahku.
Aku hanya memasang ekspresi datar.

Aku memasuki ruangan itu.
Terlihat dia gelisah ketika melihatku.
Satu patah kata pun tak ada yang keluar dari mulutnya.
Hingga...

"Bagaimana rasanya ?" tanyaku.

Dia hanya diam

"Saya bangga dengan Sania karna telah menembak anda"

"Gue akan lapor ke polisi atas kejadian ini, kalian akan masuk penjara"

Aku tersenyum smirk mendengar perkataan Deris. Pasien itu adalah Deris.

"Silahkan, justru jika anda melakukan itu. Anda sedang menyerahkan diri anda ke polisi"

"Apa maksud lo ? Disini gue korbannya"

"Kasus penipuan uang 50 juta yang anda bawa lari dengan Arista"

Deris langsung diam mendengar pernyataanku.

"Jika waktu itu saya tak berjanji dengan sesorang, maka anda sudah dipastikan akan mati pada hari itu juga. Harusnya anda berterima kasih dengan mereka berdua karna tidak membiarkan anda kehilangan nyawa. Untuk saat ini saya masih bisa mengontrol emosi saya untuk tidak membunuh anda, tetapi jika anda berulah dan berurusan dengan salah satu keluarga saya lagi bahkan menyentuh seujung jari pun, saya akan benar-benar membunuh anda. Saya adalah penerus Xavier Group. Semua perkataan saya bukanlah gertakan saja. Pikirkan sebelum bertindak"

Setelah mengatakan itu aku keluar dari ruangan Deris, meninggalkan Deris yang termenung.

"Payah" batinku.

Aku berjalan kembali ke ruangan Reynan.
Tiba-tiba ponselku berdering, panggilan dari papa.
Ya, akhir-akhir ini aku sering berhubungan dengan papa.
Tapi hanya sebatas membimbingku menghandle perusahaan.

"Hallo"
"Hallo Ara, masih lamakah kau di Malang ?"
"Nunggu Reynan pulih"
"Bisa kau pulang dulu, jadwal keberangkatan papa dimajukan 2 hari"
"Ku fikirkan dulu"

Setelah mengatakan itu, aku memutuskan panggilan telfon itu secara sepihak.
Sampai di ruangan Reynan ternyata Dava masih di sini.

"Dari mana lo, Ar ?" tanya Dava.

"Pentingkah buat anda ?"

"Gue cuma tanya lo dari mana ?"

"Anda sendiri kenapa masih disini, apa dokter sekarang digaji untuk bergosip dengan pasien ?"

Dava langsung kicep dengar pertanyaanku.
Sedangkan Sania dan Reynan terkikik geli.

"Oh ya Ar, Kak Rey udah boleh pulang. Dia bisa di rawat dirumah. Lagian kata Kak Rey dia gak betah berlama-lama di rumah sakit" kata Sania.

"Baiklah, gue minta lo dan Reynan tinggal di Sky House" jawabku

"Lah, buat apa Ar ? Kan misinya udah selesai" tanya Reynan.

"Turuti saja, saya tak menerima penolakan"

Skip..

Melihat kondisi Reynan yang belum sembuh seutuhnya, aku kembali ke Jakarta dengan naik pesawat terbang.
Jadwal keberangkatanku pukul 9 pagi.
Entah kenapa saat ini aku melihat raut muka Dava sedih.
Ya, dia memang ikut mengantarkanku di bandara.
Sejak tadi pikirannya kosong dan terus menatap Sania.
Aku menarik kesimpulan bahwa Dava menyukai Sania.
Sania sendiri pun sepertinya merasakan hal yang sama.
Bahkan saat ini Dava memeluk Sania dengan sangat erat.

"Apa mereka saling menyukai ?" tanya Reynan yang di sampingku sejak tadi.

"Ku rasa iya"

Aku mendekati Dava.

"Thanks Dav, tanpa lo misi ini tak akan berhasil" kataku sambil menjabat tangannya.

"Wehhh, gue berjasa dong. Ini gue gak dapat penghargaan gitu" kata Dava.

Dava memang paling absurd.
Tapi dia adalah orang baik.
Meskipun aku telah melukai temannya dia sama sekali tidak membenciku bahkan dia lebih memilih mencari teman baru ketimbang berkawan dengan orang yang salah dan licik.

"Jangan mulai bro, Ara lagi PMS" sambung Reynan.

Mendengar itu, aku langsung menatap tajam Reynan.

"Ar, gue boleh minta sesuatu sama lo ?" tanya Dava.

Aku hanya mengernyitkan dahi.

"Gue minta baik lo, Reynan, maupun Sania jangan lose contact sama gue. Gue udah nyaman temenan sama kalian meskipun kata-kata lo banyak yang nusuk ulu hati gue" kata Dava

Hati gue rasanya damai mendengar pernyataan Dava.
Aku mengambil kartu namaku.
Disitu ada nama, alamat, dan no teleponku.

"Lo bisa datang kesini kapanpun lo mau, pintu Sky House selalu terbuka buat lo" kataku sambil menyerahkan kartu namaku.

Dava langsung memelukku dan mengucapkan terima kasih.
Hingga deheman Reynan membuat Dava melepaskan pelukannya.

"Khilaf Rey" kata Dava

Aku bingung dengan perkataan Dava.
Sania pun senyum-senyum tak jelas.
Sedangkan Reynan...

"Ada apa" tanyaku ke Reynan

"Gak ada" jawabnya singkat.

Aku pun berpamitan dengan Dava.

Sampai memasuki pesawat, aku duduk di samping Sania dan Reynan berada di bangku belakangku.

Dalam pesawat aku mengaktifkan mode pesawat dahulu lalu mengecek pesan dari papa yang belum sempat aku baca.
Pesan itu berisi gambar dengan keterangan :

"Kau kenal dengan orang ini ?"

Jantungku seakan berhenti berdetak.
Apa sudah dimulai ?





















To Be Continue...

The Cold Girl (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang