Nala : Kak, aku udah di depan sekret musik. Kakak di mana?
Sepulang sekolah, Nala langsung ke ruang sekretariat musik untuk bertemu dengan Ata. Biasanya dia pulang dengan Dinna dan Bianca memesan go-car. Untuk hari ini, Nala menyuruh kedua temannya untuk pulang lebih dulu karena ekskul yang mereka ikuti berbeda.
Ata : Sori, gue udah pulang. Lo masuk aja, ada Dewa di dalem.
Dewa? Belum sempat Nala membalas pesan Ata untuk memuaskan rasa penasaran ketika Ata menyebut nama Dewa, seseorang tiba-tiba muncul dari dalam ruang sekret.
“Nyari gue, La?” Tanya Dewa dengan gaya sok angkuh.
Nala berbalik dan melihat penampilan Dewa yang awut-awutan. Merasa berdiri terlalu dekat dengan Dewa, Nala mundur selangkah. Sekilas dia mencium aroma rokok dari seragam Dewa. Untuk suatu hal yang tidak ia ketahui alasannya, dia tidak suka cowok merokok, biar pun menurut gadis lain cowok merokok itu keren, bagi Nala cowok keren adalah yang jauh dari racun bernama nikotin.
“Nggak, Kak. Gue lagi nyari Kak Ata,” jawab Nala enggan. Jujur, dia enggan berdekatan dengan Dewa.
“Lo ikut ekskul musik?” Tanya Dewa yang hanya dibalas anggukan Nala. “Ikut gue deh.” Tanpa meminta persetujuan Nala, Dewa menarik tangan Nala dan membawanya menaiki tangga.
“Mau ke mana, Kak?”
“Lo bilang mau gabung ekskul musik?” Dewa menghentikan langkahnya. “Ya kita ke ruang musik lah.”
“Iya tapi nggak perlu nyeret gue kayak begini. Gue bisa jalan sendiri.” Nala menarik tangannya dari genggaman Dewa. Dia agak risih bersentuhan dengan seorang cowok. Apalagi kalau cowok itu adalah Dewa. Entah kenapa sejak pertama bertemu Dewa, Nala merasa tidak nyaman dengan kehadiran cowok itu. Ada rasa ganjil yang ingin dihindarinya. Sebuah rasa yang membuat malam-malamnya lambat berlalu karena teringat akan sosok cowok tampan bernama Dewa.
Mereka bertatapan dalam diam dengan dibalut pikiran masing-masing. Nala-lah yang memutuskan kontak mata terlebih dahulu. Gadis itu berjalan agak tergesa menuju ruang musik. Sesampainya di sebuah ruangan luas, dia mendesah lega. Semakin lega karena ada beberapa anak sudah memainkan alat musik. Suara indah mengalun lembut memenuhi ruangan. Ditambah pula dinginnya AC yang menyejukkan otaknya setelah tatapan Dewa membuatnya panas.
Nala mengabaikan Dewa yang baru saja masuk di belakangnya. Dia memilih untuk berkenalan dengan beberapa anak dan mulai mengambil tempat di depan piano yang kosong. Tak disangkanya, Dewa justru duduk di depannya sambil menumpukan kaki kanan di atas kaki kirinya. Tatapan cowok itu menusuk mata Nala sehingga membuat gadis itu tidak konsen.
“Kak, lo bisa nggak pindah tempat duduk?” Tanya Nala dengan wajah lelah. Dia bosan diperhatikan terus.
“Gue pengin lihat lo main piano.”
“Tapi posisi lo di situ bikin gue nggak konsen.”
“Oh ya?” Dewa tersenyum menggoda.
“Jangan salah paham.” Nala menarik napas panjang setelah menyadari kalimatnya yang mungkin saja disalahartikan oleh Dewa. “Maksud gue, lo bisa dengerin gue main dengan duduk di sana,” Nala menunjuk kursi kosong di sebelah pintu masuk.
“Gue pengin denger sambil lihat muka lo.”
Nala membeku sesaat. Satu hal yang baru dia tahu, berada di dekat Dewa berarti harus siap dengan kejujuran cowok itu. Dia harus siap untuk kaget. Doa yang perlu dia ucapkan, semoga dia tidak mudah baper.
“Kak Dewa, please ya, gue nggak tahu apa maksud lo ngelakuin ini, apa beneran pengin lihat permainan piano gue atau cuma mau godain gue. Tapi kalau lo cuma mau main-main sama gue, sori aja, Kak, gue bukan cewek yang gampang baper. Mending lo cari mangsa lain.”
Dewa hampir tersedak ludahnya sendiri mendengar penuturan Nala. Ternyata cewek itu tahu apa yang sedang bermain-main dalam kepalanya. Selama ini Nala adalah cewek pertama yang berani mengutarakan pendapatnya tentang maksud terselubung dari seorang Dewa. Jika awalnya Dewa hanya ingin menggoda, kini cowok itu benar-benar tertarik pada Nala. Gadis itu perlu ditelusuri lebih lanjut.
“Mau ke mana, La?” Tanya Dewa cepat ketika melihat Nala berdiri sebelum menyentuh piano itu sama sekali.
“Gue mau pulang.” Niat awal pengen ketemu guru pembimbing di ekskul musik ini, akhirnya harus ditundanya karena moodnya sudah rusak gara-gara Dewa. Dari pada dia marah-marah tidak jelas, lebih baik dia pulang dan tidur.
Dewa mengikuti langkah Nala dengan senyum miring. Cowok itu berniat untuk tidak berjalan sejajar karena tidak ingin membuat gadis itu salah tingkah. Ternyata berjalan di belakang Nala juga sesuatu yang keliru. Gadis itu berbalik dan memandangnya dengan jengkel.
Dewa mengangkat alis karena tidak mengerti. “Apa lagi yang salah?”
“Kenapa lo ngikutin gue, Kak?”
“Hah?” membulat mata Dewa mendengarnya. “Gue juga mau pulang. Lo nggak berniat ngehalangin langkah kaki gue untuk pulang, kan?”
Nala berdecak kemudian berbalik dan berjalan cepat. Lama-lama dia setengah berlari karena ingin menghindari Dewa. Sampai di tempat parkir dia lupa belum memesan go-car. Sebelum dia memencet pilihan taksi online, dia mengubah untuk memilih go-jek.
“Lo pulang bareng siapa?” suara Dewa di belakangnya kembali mengganggunya.
“Bareng abang go-jek,” jawab Nala tanpa menoleh.
Terdengar tawa ringan Dewa. “Gue bisa jadi abang go-jek lo.”
Nala menoleh dan melirik motor sport Dewa. Lalu pandangannya beralih menatap wajah Dewa. “Tarif lo pasti mahal.”
Tawa Dewa lebih lebar. “Khusus buat lo gratis.”
“Nggak ada yang gratisan di dunia ini. Sesuatu yang gratis, apalagi berasal dari lo, pasti ada maksud terselubung yang gue belum tahu.”
Dewa kehilangan tawanya. Cowok itu menegakkan tubuh yang sebelumnya bersandar di motornya. Dia mendekati Nala yang masih membelakanginya. Menyadari ada helaan napas besar di punggungnya, gadis itu berbalik dan mundur selangkah. Wajahnya terkejut.
“Apa?”
“Lo selalu curiga sama gue?”
Nala menelan ludahnya kelu. Wajahnya pias karena tak dapat mengontrol kata-kata yang keluar dari bibirnya. Seharusnya dia bisa membedakan kepada siapa kalimatnya itu cocok diberikan. “Gue cuma waspada,” jawabnya agak gelagapan.
Nala melirik ke kanan kiri dan baru menyadari bahwa sekolah ini telah sepi. Hanya tinggal beberapa motor dan mobil yang terparkir. Seketika dia merasa cemas.
Melihat kepanikan dari wajah Nala, Dewa berdecak kemudian mundur dan mengambil helm di atas jok motornya. “Lo mau pulang bareng gue nggak? Gue nggak mau lo teriak mau diculik kalau gue paksa lo pulang bareng gue.”
“Nggak,” jawab Nala cepat bertepatan dengan ponselnya yang berbunyi. Abang go-jek udah di depan pagar sekolah. Tanpa pamit, Nala menghambur ke arah jemputannya. Sebelum dia bisa menarik napas lega, matanya membeliak kaget saat Dewa mengikutinya di belakang sampai tiba di rumah.
“Lo ngikutin gue, Kak?” tanya Nala geram setelah membayar dan abang go-jek berlalu. Saat itu Dewa juga berhenti di depan pagar rumah Nala masih duduk di atas jok motornya. Dewa baru akan menjawab ketika sebuah suara lain menginterupsi mereka.
“Eh, Kenzu. Baru nganter Nala pulang ya?”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Love (Tamat)
Teen FictionDewa menyayangi Nala, gadis polos yang pada awalnya tidak begitu meresponnya, tapi kini telah resmi menjadi kekasihnya. Sayangnya, masalah keluarga yang berat membuatnya bertemu dengan Aira, gadis yang selalu menghindarinya karena berprofesi sebagai...