“Sini, ngobrol bareng gue,” teriak Lexi tanpa tahu malu. “Lo bilang kapan-kapan mau gue ajak jalan. Nah, mumpung ketemu sekarang, kemari deh.”
Sekujur wajah Dinna memanas mendengar celotehan Lexi yang sukses membuat Nala dan Bianca melotot tak menyangka hubungan Dinna dan Lexi sudah sejauh itu. Sedangkan teman-teman Lexi hanya mendengus geli.
Tanpa disadari, Nala mencari sosok yang muncul di hadapannya siang tadi. Lalu sosok itu muncul dari ambang pintu kedai membawa segelas minuman. Tatapan mereka kembali beradu. Cepat-cepat Nala menunduk dan menarik kedua temannya.
“Yuk, deh. Bosan gue lihat mereka.”
“Lain kali aja ya, Kak,” sahut Dinna kemudian berjalan tergesa-gesa mengikuti langkah Nala dan Bianca.
“Cewek lo bikin Dinna nggak mau kemari,” gumam Lexi kepada Dewa yang baru saja duduk. “Lo beneran naksir dia kan?”
“Kepo aja lo! Emang apa urusannya sama lo?” balas Dewa santai sambil menyeruput minumannya.
“Kalau cewek lo nggak ada di deket Dinna, Dinna pasti mau deket-deket sama gue. Dia kelihatannya emang malu-malu, tapi sebenarnya mau.”
Azka tertawa. “Kayaknya lo udah hafal bener karakter Dinna. Gue kok belum pernah liat lo nyamperin dia? Jangan-jangan lo langsung cabut ke rumahnya, ngapelin.”
“Baru chatting doang. Bosen gue ngejar Karmila. Gue ngerasa jadi Faisal yang ngemis-ngemis biar dikasih kesempatan tanggung jawab atas kehamilan Karmila,” seloroh Lexi membandingkan diri dengan salah satu novel lawas karangan Marga T.
Serempak Dewa, Azka, dan Surya tertawa terbahak-bahak. Mereka tentu saja tahu seperti apa sepak terjang Lexi dalam mengejar Karmila, cewek satu kelas dengan mereka yang ditaksir Lexi sejak kelas XI. Entah apa alasan Karmila sehingga tidak pernah mau menerima perhatian Lexi. Mungkin karena Lexi agak konyol dan tidak punya prestasi apa pun. Sedangkan Karmila dapat nilai tertinggi di kelas mereka.
“Bagus bener kalian ngetawain gue,” hela Lexi sakit hati. “Gue jamin, bulan depan kalian nggak bisa lagi ngeledek gue. Adek kelas kayak Dinna lebih cocok gue jadiin pacar. Pasti nurut semua permintaan gue. Nggak ngebangkang kayak Karmila. Belum apa-apa udah ngebentak-bentak gue.”
“Apa maksud lo nurutin semua permintaan lo?” Dewa mendengus. “Gue jadi mencium aroma omes.”
“Otak lo tuh yang omes,” Lexi akan menunjuk dahi Dewa tapi Dewa lebih dulu menepisnya. Sekarang pandangan Lexi beralih pada Surya. “Atau jangan-jangan lo yang omes, Sur. Lagaknya aja sok cool. Jangan-jangan lo bukain situs bokep. Gue heran aja kenapa hape lo lebih menarik dari cewek di sekitar lo.”
“Gue heran kenapa lo jadi banyak omong malem ini. Siniin hape lo!” Surya merebut paksa ponsel Lexi. Cowok itu berdiri menjauh dari Lexi.
“Eh, apa-apaan lo. Balikin nggak? Gue sumpahin lo jadi hombreng!” Setelah mengetikkan sesuatu di ponsel Lexi, Surya tersenyum puas dan mengembalikan ponsel itu kepada pemiliknya. “Lo nulis apaan sih?” Lexi segera mengecek ponselnya kemudian matanya terbelalak.
Lexi : Din, gue tunggu lo sekarang di depan gramed. Gue mau ajak lo jalan.
“Brengsek lo! Apa-apaan lo kirim pesan beginian ke Dinna. Gue lagi bokek, gila!”
“Biar lo pergi dari sini dan nggak ngoceh. Kepala gue mulas denger omongan lo.” Surya menjawab dengan enteng dan kembali sibuk dengan ponselnya. Dewa dan Azka hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan teman-temannya.
Tak butuh menunggu waktu lama hingga Lexi melihat Dinna muncul dengan kepala celingukan.
“Gila, tuh cewek mau-mau aja diajakin jalan!” geram Lexi panik. Sebenarnya dia memang tertarik pada Dinna dan mau saja mengajak gadis itu jalan-jalan. Tapi masalahnya malam ini uangnya lagi menipis. Uang bulanannya hampir habis sebelum waktunya karena dia membeli gitar baru tanpa persetujuan papanya.
Seperti mengetahui kebingungan Lexi, Dewa membuka dompet dan menjulurkan beberapa lembar uang ratusan ribu kepada Lexi.
“Hoho, lo emang bener-bener Dewa penolong gue,” Lexi segera menyambarnya dan memasukkan ke dalam saku celana. Cowok itu melompati kursi dengan gerakan cepat kemudian menstater motornya menghampiri Dinna.
***
Jalan berdua dengan Dewa, tak pernah terbayangkan sama sekali dalam pikirannya. Nala mencoba mengingat bagaimana awal mula dia bisa pulang dengan Dewa. Dinna pamit pulang lebih dulu karena diajak jalan oleh Lexi dan Bianca tiba-tiba ditelepon oleh mamanya dan diminta untuk segera pulang. Akhirnya dia keluar dari toko buku seorang diri. Dan surprise! Dewa masih setia di kedai kopi sebelah. Cowok itu tanpa babibu menhampirinya dan menanyakan kesendiriannya. Nala tak punya alasan lain untuk menolak.
“Gue ngerasa lo alergi banget deket-deket gue,” kata Dewa santai. Mereka berjalan beriringan menuju rumah Nala yang masih jauh. “Kenapa? Ada cowok yang lagi ngedeketin lo di sekolah sampai-sampai lo ngehindarin gue?”
“Nggak. Nggak ada,” jawab Nala agak tersekat ternggorokannya.
“Oke, terus alesan lo apa? Lo ngerasa terganggu banget sama keberadaan gue?”
“Gue belum pernah deket sama cowok mana pun,” jawab Nala polos dan membuat Dewa tersenyum tipis. “Dan lagi, lo terlalu aneh buat gue.”
“Aneh?” Dewa menyipitkan kedua matanya. “Bagian mana yang aneh?”
“Lo... agak pemaksa sih. Dan lo... ngerokok.”
Dewa menghentikan langkahnya. Otomatis Nala juga berhenti bingung apakah ucapannya menyinggung perasaan cowok itu.
“Lo nggak suka cowok merokok?”
“Nggak masalah sih kalau ada manfaatnya.”
“Ngerokok nggak ada manfaatnya. Jujur aja kalau lo nggak suka. Tapi gue tetep suka lo sih. Jadi percuma aja lo ngehindar.”
Dia bilang apa? tanya Nala seperti menerka apakah ini mimpi atau bukan. “Lo bilang... suka gue?” Nala mendongak karena Dewa jauh lebih tinggi dari dirinya.
“Iya, gue suka lo. Ada yang salah?”
“Atas dasar apa?” tanya Nala tidak bisa begitu saja menerima pernyataan itu. Baginya, menyukai seseorang itu harus ada alasannya. Tidak mungkin jatuh cinta hanya karena ketertarikan fisik. Kalau jatuh cinta itu hanya karena ketertarikan fisik, seseorang bisa saja jatuh cinta pada setiap gadis cantik yang lewat di depannya.
Dewa memegang sebelah bahu Nala dan menatap tepat di tengah bola mata gadis itu. “Sampai di rumah nanti, lo berkaca dan coba cari jawaban sendiri dari pertanyaan lo. Apa yang menarik dari diri lo.” Dewa tersenyum miring.
Sesampainya di rumah, Nala tergesa-gesa menaiki tangga menuju kamarnya. Dia melemparkan tas mungilnya di atas tempat tidur dan langsung berdiri di depan lemari pakaian yang di depannya terdapat kaca besar.
Seperti anjuran Dewa, Nala menelisik seseorang yang muncul di cermin tersebut. Dia mengamati bagian dari tubuhnya yang menarik minat Dewa. Tapi kemudian sesuatu mengganggu pikirannya. Jadi hanya ini? Hanya secara fisik Dewa menyukainya?
Fix, kamu memang tertarik secara fisik aja. Kamu semakin jauh dari seleraku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Love (Tamat)
Teen FictionDewa menyayangi Nala, gadis polos yang pada awalnya tidak begitu meresponnya, tapi kini telah resmi menjadi kekasihnya. Sayangnya, masalah keluarga yang berat membuatnya bertemu dengan Aira, gadis yang selalu menghindarinya karena berprofesi sebagai...