Bab 31 Tentang Dewa

1.2K 63 0
                                    

Bianca berjalan sedikit tergesa-gesa memasuki kelasnya yang telah ramai karena sekarang adalah hari senin. Hari di mana murid-murid diharuskan datang lebih awal untuk mengikuti upacara bendera. Dari jendela kelasnya, dia melihat Nala dan Dinna telah bersiap untuk keluar dari kelas menuju lapangan basket.

“Uh, untung aja lo nggak telat,” ucap Dinna menyambut kedatangan Bianca. “Kenapa lo ngos-ngosan begitu kayak lagi dikejar tukang kredit?”

“Gue nggak pernah punya utang keles,” jawab Bianca sambil menjulurkan lidah. Kini pandangannya beralih pada Nala. “Gue punya info terbaru buat lo.”

“Buat gue?” Nala menunjuk dirinya sendiri. “Apaan?”

Terdengar suara bel masuk berbunyi. Kelas menjadi semakin ramai dengan derap langkah sepatu para murid untuk turun ke lantai satu.

“Nanti aja deh setelah upacara.” Bianca meletakkan tasnya kemudian menarik Nala dan Dinna untuk berdiri.

“Yaelah, lo bikin gue penasaran aja, Bi,” ucap Dinna malas.

“Ini info buat Nala, kenapa jadi lo yang penasaran?”

“Sama aja. Info buat Nala info buat gue juga.” Dinna melirik pada Nala dengan perasaan tidak enak. Sejak datang tadi dia berusaha untuk bersikap seperti biasanya. Sayangnya kedatangan Bianca yang heboh, membuatnya mulai cemas tentang info apa yang akan dikatakan Bianca. Jangan-jangan tentang Dewa?!

Dinna ingin sekali menanyai Bianca. Tapi Bianca seperti tak peka dengan wajahnya yang mulai menampilkan mimik serius. Dia ingin mengirim pesan pada Bianca tapi takut ketahuan oleh guru yang berjaga di belakang mereka. Akhirnya dipendamnya saja sampai upacara selesai.

***

Bianca meneguk air mineral seperti orang yang baru saja senam aerobik. Lagaknya seperti dia saja yang lelah dan kepanasan. Nala hanya geleng-geleng kepala melihat ulah temannya itu.

“Oh ya, Bi, lo mau kasih gue info apa sih? Mumpung kita ada waktu lima belas menit setelah upacara, cepet cerita deh.”

Bianca merapikan rambutnya kemudian duduk dengan tenang. Sementara Dinna menelan ludah getir. Khawatir dengan apa yang akan diceritakan Bianca.

“Kemarin malem, gue lihat Kak Dewa sama cewek.”

Deg! Kedua hati gadis yang ada di depan Bianca tersentak. Dinna tersentak karena yang dikhawatirkan terjadi. Sedangkan Nala tak menduga info yang akan didengarnya adalah tentang Dewa dengan cewek lain.

“Kakaknya mungkin,” elak Nala seolah ingin menenangkan hatinya sendiri.

“Nggak. Meskipun gue belum tahu kayak gimana muka kakaknya Kak Dewa, gue yakin banget kalau yang semalem gue lihat itu bukan kakaknya. Gayanya beda banget, La.”

Seharusnya Nala tidak meragukan info dari Bianca. Karena diantara mereka, Bianca-lah yang paling cerdik. Nala dan Dinna sangat percaya dengan ketepatan Bianca dalam memutuskan sebuah pilihan. Termasuk meneliti tingkah laku seseorang.

“Salah lihat kali lo, Bi,” sahut Dinna takut-takut. Wajahnya yang biasanya polos namun sekarang menjadi agak aneh, menarik perhatian Bianca.

“Gue curiga, lo udah tahu masalah ini,” ucap Bianca dengan kening berkerut.

“Masalah apa? Lo jangan aneh-aneh deh?” Dinna berusaha mengelak.

“Bentar-bentar,” Nala berusaha tenang. “Ini sebenernya ada apa sih?”

Bianca menghela napas panjang kemudian mengembuskannya pelan. Dia memandang Nala dengan raut iba. Jujur, Nala benci dipandang seperti itu. “La, Kak Dewa jalan sama cewek lain. Itu intinya.”

Kali ini giliran Nala yang menghela napas panjang. “Bukannya gue nggak percaya, Bi. Tapi bisa aja kan itu cuma temennya doang. Kayak aku dan Kak Afkar, cuma temen.”

“La, gue nggak pengin lo sakit hati. Tapi gue bisa bedain sikap cowok ke cewek sebagai pacar atau cuma sebagai temen.” Jika tadi wajah Bianca penuh dengan wajah memelas, ketika dia berpaling ke arah Dinna, wajahnya mengeras. “Sekarang lo harus ceritain yang lebih detail, Dinna!”

“Hah? Gue harus ceritain apa? Gue nggak tahu apa-apa.” Brengsek Bianca. Kenapa gue dipojokin begini sih? Gue kan kasihan sama Nala.

“Kak Lexi pasti tahu sesuatu tentang hubungan Kak Dewa dengan cewek itu.”

Dinna terdiam dalam cemas. Lo jangan cerita ke temen-temen lo masalah ini. Itu pesan dari Lexi. Jadi mana berani dia menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi? Walaupun seharusnya dia memberitahu Nala tentang Dewa yang sesungguhnya, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.

“Dinna, kita bertiga itu sohib sejak SMP. Lo masa tega nyembunyiin masalah dari gue dan Nala? Lo pengin Nala dibohongin sama cowok sampai bertahun-tahun gitu? Jangan dengerin omongan Kak Lexi yang ngelarang lo cerita ke kita-kita deh.”

“Lo... lo tahu dari mana Kak Lexi ngelarang gue cerita?” tanya Dinna semakin panik.

“Nah, itu lo ngaku sendiri.”

Astaga! Dinna merasa benar-benar bodoh. Bisa-bisanya Bianca mengerjainya sedemikian rupa sampai dia tidak punya alasan lagi untuk mengelak. Kalau sampai dia cerita, Lexi bisa marah padanya. Tapi kalau dia tidak cerita kepada Nala, kasihan juga Nala dibohongi seperti anak kecil yang perasaannya tidak dipedulikan.

Sedangkan Nala dari tadi hanya diam mendengar celotehan Bianca dan Dinna. Suara kedua temannya bertautan dengan pikirannya sendiri. Tentang kenyataan jika Dewa jalan dengan cewek lain. Padahal kemarin malam Dewa menemuinya sampai jam delapan malam. Itu berarti Dewa masih sempat untuk menghabiskan malam minggunya dengan orang lain.

“Jam berapa, Bi?” tanya Nala seperti patung.

“Sekitar jam sembilan malem, La,” jawab Bianca bertambah iba melihat wajah Nala.

“Lo beneran nggak mau cerita, Din?” pertanyaan Nala kini beralih pada Dinna.

Dinna tak punya alasan lagi untuk menyembunyikan rahasia Dewa. Dia hanya berusaha untuk tidak menjabarkan secara gamblang. “Sebenernya yang lo lihat itu bukan cewek Kak Dewa, Bi. Kak Dewa cuma nolongin cewek itu.”

“Gue nggak percaya ceritanya cuma sampe disitu doang,” cicit Bianca kesal karena Dinna tidak to the point.

“Cewek itu kenal sama perempuan simpanan papanya Kak Dewa. Jadi Kak Dewa pengin cari tahu tentang hubungan papanya sama perempuan itu melalu cewek itu.”

“Haduh kok gue bingung sih.”

“Terusin aja, Din,” ucap Nala tanpa menghiraukan omelan Bianca.

“Ya gitu deh. Kak Dewa sering nemuin cewek itu.”

“Gue yakin, La, ini lebih parah dari cerita Dinna. Gue lihat betul gimana cara Dewa ngelihat tuh cewek. Beda, La. Beda.”

“Cewek itu sekolah di sini?”

“Iya, La. Lo nggak akan ngelabrak mereka kan, La?”

Nala merasa tak perlu menjawab. Dia tahu Dinna juga tak nyaman untuk bercerita yang sesungguhnya. Kalau memang kedua temannya tak bisa memberi informasi yang akurat, itu berarti dia harus mencari sendiri jawaban dari rasa penasaran yang sedikit demi sedikit mempengaruhi mood-nya di senin pagi yang seharusnya penuh semangat ini.

***

Secret Love (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang