Bab 14 Berdua Denganmu

1.7K 82 0
                                    

Setiap orang punya cara tersendiri untuk meredakan amarah. Suatu cara yang bisa membuat pikiran menjadi jernih dan hati tak lagi kalut. Begitu pun dengan Dewa. Jika sebelumnya pelariannya kepada rokok, kali ini dia melajukan motornya ke rumah Nala. Meskipun setiap hari bertemu, Dewa tak memungkiri malam ini dia merindukan kekasihnya.

Masalah yang menyelubungi hari-harinya akhir-akhir ini membuatnya penat. Dia berharap bertemu Nala adalah penghiburnya. Seperti yang dia duga, Nala muncul di hadapannya dengan wajah semringah. Seperti seorang putri yang kedatangan pangeran. Dewa tak sanggup jika harus menyakiti hati gadis itu.

“Kak, malem amat datengnya?”

Sabtu malam ini, Dewa tak menjanjikan untuk mengajak Nala jalan. Bahkan berkirim pesan pun tidak. Tapi ternyata Nala mengharapkan kedatangannya. Setitik rasa bersalah menyergap hatinya.

“Sorry, ya,” ucap Dewa tulus. Dia memaksakan senyum hanya supaya Nala tidak bertanya sesuatu yang tidak ingin didengarnya.

“Iya, nggak apa-apa. Kita emang nggak janjian, kan?”

“Kita jalan-jalan aja ke lapangan voli yang ada di depan komplek, mau?”

Nala mengagguk cepat kemudian berlari ke dalam untuk meminta izin. Sekeluarnya dari rumah, gadis itu telah mengenakan sweater tipis kemudian melangkah bersama Dewa.

“Kak gimana kabar Tante Cintya?”

Dewa mengernyitkan kening mendengar pertanyaan Nala. Saat itu mereka sedang berjalan menuju lapangan voli. Dalam keadaan seperti ini, seharusnya pertanyaan itu tak perlu terdengar. Cowok itu masih sensitif dengan apa pun yang berhubungan dengan masalah keluarganya. Tapi Nala tidak tahu apa-apa. Tidak mungkin Dewa mengabaikan pertanyaannya.

“Baik. Kenapa? Tante Norma nanyain kabar mama gue?”

“Iya. Mama bilang kenapa Tante Cintya sekarang sulit diajak jalan bareng.”

“Mama lagi ada masalah keluarga. Sorry, gue nggak bisa ceritain.”

“Oh,” Nala tertegun sesaat. Mereka kini tiba di tempat yang dituju. Ada sebuah bangku panjang yang kemudian mereka duduki sambil memandang kerlap-kerlip bintang di langit. “Gue... bisa jadi temen curhat lo kalau lo butuh,” ucap Nala perlahan.

Dewa tersenyum. “Gue pasti cerita. Tapi nggak sekarang. Tapi thanks, lo perhatian banget sama gue.”

Nala menghela napas. Pikirannya diliputi pertanyaan. Dia merasa Dewa tak sehangat seperti saat cowok itu melakukan pendeketan beberapa minggu yang lalu. Dewa yang kini menjadi pacarnya, tak seromantis yang dibayangkannya. Meskipun dia tak begitu menyukai keromantisan yang alay, tapi sikap Dewa yang seringkali dingin seperti ini tak pernah diduganya sebelumnya. Apakah mungkin karena masalahnya?

“Oh ya, Kak, menurut lo Kak Surya itu orangnya kayak gimana sih?”

“Kenapa tiba-tiba nanyain Surya?” Dewa bertanya santai sambil menyandark punggungnya di tembok. Sedangkan Nala meletakkan tangan di samping di kanan kiri tubuhnya.

“Bianca tanya ke gue gara-gara beberapa kali Kak Surya kirim pesan ke Bianca. Tapi Bianca bilang pesannya aneh, kayak menggoda gitu. Ujung-ujungnya agak vulgar.”

Dewa tertawa ringan. “Emang dasar Surya. Besok gue bilangan deh kalau kalian itu masih anak-anak. Nggak pantes baca tulisan di bawah umur.”

“Gue udah remaja kali, Kak. Bukan anak-anak.”

“Apa namanya kalau bukan anak-anak sementara lo belum punya KTP?” Dewa menahan tawa yang justru membuat bibir Nala mengerucut. Dilanda gemas, Dewa mengacak rambut Nala.

“Ih, Kak, jadi awut-awutan kan rambut gue.” Nala mengambil tali rambut dari saku roknya. Dengan gaya biasa, tanpa ada niat untuk menggoda, Nala mengaitkan rambutnya sedikit tinggi hingga menampilkan lehernya yang jenjang. Seketika Dewa terpesona.

“Besok lagi lo jangan pernah ngiket rambut lo di depan gue.”

“Kenapa?” tanya Nala seperti orang bodoh.

“Nggak baik.” untuk mengalihkan Nala dari pertanyaan yang mungkin menanyakan alasannya, Dewa beranjak dari duduk kemudian merebahkan diri di lapangan yang sepi itu. kedua tangannya ditekuk di bawah kepala sebagai bantal. Tatapannya nyalang menatap langit kelam.

“Kak, lo tahu itu lantai kotor.”

Dewa tak menghiraukan ucapan Nala. Sementara gadis itu mengikuti Dewa. Bedanya, Nala tak sepercaya diri itu mengikuti Dewa untuk berbaring. Gadis itu hanya duduk di samping Dewa.

“Kak, lo kenapa sih? Gue ngerasa ada yang aneh sama lo. Lo beda sama waktu sebelum kita jadian. Kalau ternyata gue nggak sesuai sama selera lo...”

“Gue sayang lo,” kata Dewa memotong kalimat Nala. Cowok itu bangun untuk duduk dan memegang lengan Nala. “Gue lagi ada masalah. Sorry kalau sikap gue bikin lo nggak nyaman.”

Mereka saling tatap. Tatapan itu menyatu seolah menyelami hati masing-masing. Deburan yang tak biasa dirasakan oleh keduanya. Nala tidak tahu ini perasaan apa, tapi yang pasti dia merasa terpesona dengan keberadaan Dewa yang demikian dekat dengan dirinya.

“Kenapa lo mukulin Roland, Kak?” tanya Nala perlahan memutuskan kontak mata di antara mereka. Terdengar Dewa mendesah lelah. Cowok itu merangkul kakinya yang tertekuk.

“Dia adik Lexi. Lo tahu?” Nala mengangguk. “Roland pengguna narkoba. Dia berani nyuri duit Tante Amira, mamanya, kalau lagi nggak ada duit. Terakhir, dia nyuri duit Lexi. Sebagai sodara, gue udah peringatin dia beberapa kali. Tapi nggak mempan.”

Nala tak sanggup menutup mulutnya karena mendapat info semengejutkan itu. Roland, cowok yang baru berusia 15 tahun sudah menjadi pecandu narkoba. “Lo nggak coba ngomongin ini sama nyokapnya, Kak? Roland perlu ditolong, bukan dihajar.”

“Gue nggak mau ikut campur sejauh itu. Biar Lexi sebagai abangnya yang berkewajiban untuk nyelesaikan masalah.”

“Tapi kalau Kak Lexi nggak bertindak, sebagai sodara lo juga perlu kasih solusi. Masa depannya bisa hancur gara-gara narkoba. Kalau semua orang di sekitarnya bekerja sama untuk menyembuhkan Roland, gue yakin Roland bisa lepas dari jerat narkoba.”

Dewa menatap Nala lekat-lekat dengan bibir tersungging. “Gue suka lo yang begini.”

“Eh,” Nala mendongak, “apa?”

“Lo yang ngungkapin panjang lebar pendapat lo.” Dewa melebarkan senyum melihat Nala yang menunduk menyimpan wajahnya. “Gue mau tanya, La, kenapa waktu itu lo sempet kepikiran kalau gue bakal nyakitin lo?”

Nala menoleh, memandang wajah rupawan yang menghebohkan hatinya. “Kak, nggak tahu kenapa sejak pertama lihat lo, gue ngerasa lo itu misterius.”

“Misterius?” alis Dewa terangkat.

“Lo nggak banyak omong kayak Kak Lexi atau Kak Azka. Cara lo ngelihat orang lain juga beda banget. Gaya lo deketin gue bikin gue menebak sendiri apa sebenarnya yang lo pikirin tentang gue. Bahkan sampai sekarang pun lo nggak ketebak.”

“Kayaknya lo cocok masuk psikologi,” bukannya serius menanggapi keluhan Nala, Dewa malah tertawa garing dengan usul yang tidak masuk dalam dugaan Nala.

“Kak, ini gue serius loh!”

“Iya, gue juga serius.” Dewa bangkit berdiri sambil mengulurkan tangannya ke depan wajah Nala yang mendongak. “Pulang, yuk!”

***

Secret Love (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang