Dinna mengusap punggung Nala yang sedang menangis sesenggukan. Sedangkan Bianca menatap dengan perasaan sedih. Ini pertama kali dalam persahabatan mereka terjadi sebuah peristiwa yang sangat menyentuh perasaan. Masalah itu disebabkan oleh kehadiran cowok pertama dalam hidup Nala.
“Lo tenang, La. Gue tahu ini cinta pertama lo. Tapi lo jangan segitunya sakit hati. Lo harus tahu kalau masih ada Kak Afkar yang perhatian banget sama lo.” Bianca menasehati sesuai dengan realita. Dia berpikir bahwa masa depan mereka masih panjang. Permasalahan Nala memang bukan masalah sepele, karena berkaitan dengan profesi Aira sebagai gadis malam dan berhubungan dengan masalah keluarga.
Tapi sebagai gadis yang baru menapaki masa remaja di SMA, mereka harus bisa menahan perasaan supaya tidak jatuh terlalu dalam. Masih banyak yang perlu diraih. Kalau Dewa memang lebih menginginkan Aira sebagai kekasih, Bianca harap, Nala bisa dengan hati ikhlas melepaskan Dewa.
“Gue nyesel kenapa dulu nerima perhatian Kak Dewa, padahal kalian sendiri tahu gue takut untuk pacaran. Gue dulu tahu kalau Kak Dewa terlalu keren buat jadi cowok gue. Itu bikin gue takut bakal sakit hati. Tapi perasaan gue nggak bisa dibohongi kalau gue juga suka dia.”
“Udah, La, jangan disesali. Anggap aja ini pengalaman dalam perjalanan kisah asmara lo. Dengan begitu, nantinya lo akan lebih berhati-hati dalam menjalin hubungan lagi,” saran Dinna lebih lembut.
“Gue sebenernya heran juga, gimana bisa Kak Dewa suka sama cewek murahan seperti Aira. Perkiraan gue, Aira itu gadis lemah yang perlu dilindungi. Mungkin karena itu Kak Dewa jadi kasihan dan lama-lama jadi cinta.”
“Mungkin emang begitu, Bi. Gue juga nggak yakin Kak Dewa dengan gampangnya pindah lain hati. Kak Lexi cerita, Kak Dewa nggak pernah mainin cewek. Emang sih yang naksir Kak Dewa banyak. Tapi nggak pernah direspon. Baru kali ini Kak Dewa suka sama cewek. Dan cewek itu adalah Nala. Sayangnya Aira muncul disaat yang nggak tepat.”
“Gue nggak pernah nyangka patah hati karena dikhianati cowok sebegini sakit,” ucap Nala pedih. Hatinya serasa diremas-remas. “Gue terlanjur sayang sama Kak Dewa. Sampai sekarang gue belum rela sepenuhnya ngelepasin dia. Gue harus gimana Din, Bi?”
“Lo harus cepet move on, La. Lo harus terima perhatian dari Kak Afkar. Gue yakin Kak Afkar tulus sama lo,” usul Bianca cepat.
“Bi, Nala belum bisa secepat itu move on. Lagian Kak Afkar beberapa hari ini juga nggak kelihatan batang hidungnya.”
“Kak Afkar lagi persiapan ikut olimpiade, Din,” jawab Nala setelah mengusap air mata dan bertekat untuk mengakhiri kesedihannya. “Gue nggak akan jadiin Kak Afkar tempat pelarian gue. Gue nggak sampai hati ngelakuin itu.”
“Bukan tempat pelarian, La,” sahut Bianca memperjelas, “tapi biar lo terhibur dan bisa cepet ngelupain Kak Dewa.”
“Gue nggak pengin kasih dia harapan kalau gue nerima perhatian dari Kak Afkar. Lagian sebulan lagi Kak Dewa lulus. Gue nggak akan satu sekolah lagi sama dia. Gue yakin gue bisa cepet ngelupain dia.”
“Ya udah,” Dinna kembali bersuara, “Mending sekarang kita pulang. Dan lo bisa istirahat, La.”
Nala dan Bianca mengangguk. Saat mereka bersiap untuk keluar dari kelas yang telah sepi, Afkar mucul di depan pintu kelas mereka. Wajah cowok itu datar dengan pandangan menatap Nala.
“Kak, mau pulang bareng Nala?” tanya Bianca dan hanya dibalas dengan anggukan. Bianca berbali melihat Nala yang masih ada di belakangnya. “La, kalau gitu gue dan Dinna pulang duluan ya. Lo diajak bareng nih sama Kak Afkar.”
Bianca dan Dinna melambaikan tangan dan hanya dibalas senyum tipis oleh Nala. Setelah kedua sahabatnya pergi, Nala dan Afkar saling berpandangan lama.
“Gue nggak suka lo lemah begini.” Kalimat itu yang terucap pertama kali dari bibir Afkar. “Gue nggak suka lo nangisin Dewa, sementara Dewa lagi seneng-seneng sama cewek lain.”
Hati Nala yang sejak beberapa menit yang lalu telah membaik, kini kembali terluka mendengar penuturan Afkar. Rasa sakit itu kembali terasa merobek hatinya. Tak terasa, matanya kembali berkaca-kaca.
“Makasih lo mau anterin gue pulang, Kak. Tapi lebih baik gue pulang sendiri.” Nala melangkah gontai. Saat dia akan melewati Afkar, cowok itu menahan pergelangan tangannya.
“Lo pulang bareng gue.”
***
Afkar tidak langsung membawa Nala pulang. Cowok itu mengajak Nala ke sebuah kedai minuman ringan yang tak jauh dari rumah Nala. Dia ingin Nala mencurahkan semua isi hatinya. Walaupun sebenarnya dia sebal karena Nala menangisi cowok lain, tapi Afkar sadar, dirinya datang belakangan.
“Gue udah tahu semuanya,” ucap Afkar membuka obrolan. Saat gosip Dewa mulai merebak, dia sedang disibukkan oleh persiapan mengikuti olimpiade matematika. Tapi setelah mengikuti olimpiade, dia tak tinggal diam untuk mencari informasi apa yang telah terjadi.
“Bukan hal yang penting, Kak.” Nala berusaha mengelak.
“Gue seneng akhirnya lo tahu sendiri seperti apa Dewa yang pernah lo puja itu.”
“Please, Kak, jangan bikin mood gue tambah buruk,” pinta Nala dengan wajah memelas. Dia tidak suka dipojokkan seperti ini.
“Sorry, tapi gue cemburu lo nangisin cowok lain sementara gue setia menanti lo. Untuk hari ini gue masih terima lo bersikap kayak begini. Tapi besok, gue harap lo bisa memilah siapa sebenernya yang lebih pantas lo beri perhatian.”
Begitulah Afkar. Perkataannya seolah tak bersimpati dengan kesedihan Nala. Tapi Nala tak bisa membencinya, karena dia tahu, Afkar senang sekaligus kecewa padanya. Cowok itu pasti mengharapkannya.
Nala masih ingat Afkar pernah memperingatkannya tentang sosok Dewa. Tapi pada waktu itu Nala mengabaikannya karena dia sedang terbuai cinta. Kini tak perlu ada yang harus disesali sekalipun dia menyesal. Benar kata teman-temannya, ini akan menjadi pelajaran dan pengalaman yang tak kan pernah terlupakan di masa remajanya kelak.
“Makasih buat perhatian lo, Kak. Tapi gue nggak bisa move on secepat itu.”
“Gue akan tunggu lo asalkan lo mau bertekat untuk cepet ngelupain hal-hal yang bikin lo sakit hati. Tanpa lo ada tekat, semua hanya sia-sia.”
Nala menghela napas panjang. “Gue pengin lo iringin gue nyanyi di acara perpisahan kelas dua belas nanti, Kak,” ucap Nala mengalihkan pembicaraan.
“Nyanyi? Bukannya main piano?”
Nala menggeleng. “Gue pengin nyanyi.”
Afkar tersenyum sinis. “Mau nyanyi apa? Nyanyi yang liriknya nyindir Dewa?”
“Apa salahnya meski gue nyanyi lagu yang liriknya nyindir Kak Dewa? Bukannya lo pengin gue cepet-cepet ngelupain Kak Dewa? Gue butuh bantuan lo buat nyembuhin sakit hati gue.”
Afkar terdiam cukup lama dengan pandangan tak lepas dari mata Nala. Hingga pada menit kedua, Afkar mengangguk. “Oke, gue akan iringin lagu lo. Gue harap lo bisa segera ngelupain Dewa dan terima rasa sayang gue, yang gue pastikan, semua akan lebih indah dari pada perbuatan Dewa yang hanya bisa nyakitin lo.”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Love (Tamat)
Teen FictionDewa menyayangi Nala, gadis polos yang pada awalnya tidak begitu meresponnya, tapi kini telah resmi menjadi kekasihnya. Sayangnya, masalah keluarga yang berat membuatnya bertemu dengan Aira, gadis yang selalu menghindarinya karena berprofesi sebagai...