Nala melangkah ragu-ragu menuju ruang perpustakaan seperti yang disebutkan Dinna sebagai tempat persembunyian Aira ketika jam istirahat. Sekarang dia yakin sekali bahwa Dewa telah berubah. Tak perlu lagi ada penjelasan apa pun. Dia menyadari keadaan ini dengan jarangnya Dewa mendatanginya seperti dulu.
Masalah telah di depan mata. Mungkin hubungannya juga sudha di ujung tanduk. Gadis itu tersenyum miris. Mungkin ini kenangan masa SMAnya. Kenangan pahit yang tak kan pernah dilupakan bagaimana perasaannya yang lemah tak berdaya merasa hampi kehilangan kekasih hatinya. Kalau hari itu benar-benar datang, hari di mana dia harus berpisah dengan Dewa, dia bertekad untuk tidak bertemu dengan lelaki itu lagi, dalam kondisi apa pun. Memang terdengar berlebihan, tapi itulah yang dikehendakinya saat ini.
Nala memegang handle pintu ruang perpustakaan. Keraguan itu semakin menerkan dirinya. Berbagai pertanyaan berputar dalam kepalanya. Bagaimana kalau Dewa benar-benar ada di dalam? Apa yang akan dilakukannya jika kedua orang itu melihat kehadirannya? Apa yang harus dia katakan kepada gadis itu?
Nala terkejut saat dari belakang tubuhnya ada seseorang yang menyeruak dan memintanya minggir. Gadis itu mundur perlahan kemudian tak ingin berpikir lebih lama lagi untuk masuk.
Hawa dingin menyergapnya karena suhu AC. Suasana hening dan tak banyak suara yang terdengar. Kebanyakan dari anak-anak yang mengunjungi perpustakaan memilih untuk diam dan fokus dengan buku di tangan.
Nala melangkah sangat perlahan dengan mata melirik ke sana kemari. Dia merasa seperti tokoh dalam film yang sedang menyelidiki sesuatu dan takut terpergok. Perpustakaan itu terdiri dari rak-rak buku tinggi yang berjajar ke belakang. Dan di setiap sap antara rak, terdapat kursi panjang untuk diduduki anak-anak yang sedang membaca.
Selangkah, dua langkah, dan beberapa langkah, dia masih belum melihat kedua orang tersebut. Mungkinkah mereka berpindah ke tempat lain? Gudang mungkin? Seketika Nala teringat saat dia melihat Dewa menghajar Roland di gudang. Saat itu Dewa sedang dalam masa pendekatan pada dirinya. Jujur, Nala merindukan masa-masa itu.
Pada saat kakinya hendak mencapai dinding paling ujung, langkahnya terhenti karena samar-samar dia mendengar suara Dewa. Tiba-tiba jantungnya berdebar tidak keruan. Hatinya memanas menyadari bahwa kedua orang itu memang sedang berdua. Telinganya dipasang baik-baik.
"Lo jangan dengerin apa yang nyokap gue bilang. Lo harus tetep sama gue. Gue nggak ngijinin lo pergi dari apartemen." Suara Dewa terdengar tegas.
Apartemen? Nala kesulitan meneguk ludah.
"Gue cuma benalu dalam hidup lo, Wa. Kehadiran gue pasti nyakitin nyokap dan pacar lo. Gue nggak bisa ada di antara kalian. Gue tahu siapa gue sebenarnya. Cuma cewek murahan yang nggak sadar diri."
"Lo berarti dalam hidup gue. Jadi berhenti bertingkah lemah kayak begini."
Nala meremas kemajanya karena tidak tahan mendengar ucapan Dewa. Kekasihnya itu mengatakan bahwa Aira berarti dalam hidup Dewa. Bukankah dirinya seharusnya yang berarti dalam hidup Dewa? Bukankah ini bukan lagi sebuah kode, tapi pernyataan langsung bahwa dirinya sudah mulai tersingkirkan?
"Gue nggak pengin ngerusak hidup lo. Cukup gue aja yang rusak. Hidup lo lebih berarti dari pada lo sama gue. Masa depan lo cemerlang nggak sesuram masa depan gue. Please, Wa, biarin gue pergi."
"Pergi aja kalau lo ngerasa bisa pergi dari gue. Tapi gue pastiin lo nggak akan bisa. Gue akan paksa lo buat kembali, dan lo nggak punya alasan lagi buat nolak."
Nala tak tahan merasa sesak di dadanya. Kalimat demi kalimat yang Dewa katakan seperti tusukan belati yang membuat hatinya berdarah. Tak sadar dia mundur karena tak sanggup menahan deraian isak tangis. Tapi sudut sepatunya terantuk ujung rak dan mengakibatkan sebuah buku terjatuh. Nala membeliak ketakutan. Dan sebelum dia membungkuk untuk mengambil buku tersebut, Dewa telah muncul di depannya dengan wajah pias.
"Nala?" gumam cowok itu tak menyangka Nala ada di tempat yang sama dengan dirinya. Kemungkinan yang terjadi, Nala mendengar percakapannya dengan Aira. Apalagi melihat wajah Nala yang basah dengan air mata, dugaan Dewa tak salah lagi. Nala telah mendengat semuanya.
Tak ingin mendengar penjelasan apa pun, Nala berbalik dan berlari sambil memegangi perutnya yang melilit sakit. Gadis itu tak menghiraukan meski Dewa memanggil namanya dan mengejarnya.
Nala terus berlari sambil mengusap wajahnya yang basah karena air mata. Isak tangisnya menarik perhatian para murid yang sedang istirahat. Tapi dia tidak peduli lagi. Dia ingin segera pergi ke suatu tempat di mana Dewa tidak bisa menemukannya. Sayangnya, tubuhnya yang lemah karena hari pertama menstruasi dan pikirannya yang kalut karena masalah ini, membuatnya pening dan jatuh menabrak vas bunga. Gadis itu jatuh terduduk kemudian pingsan.
Beberapa siswa yang ada di sekitar Nala menjerit tertahan lalu tergopoh-gopoh membantu Nala untuk duduk. Sedangkan Dewa yang menyaksikan hal tersebut, berlari semakin kencang dan meminta para siswi tersebut untuk menyingkir. Dengan cekatan, Dewa mengangkat tubuh Nala untuk dibawa ke UKS.
***
Nala membuka mata dengan kepala berat. Tangannya terulur untuk menekan kepalanya, berharap rasa sakit itu berkurang. Ingatannya lambat laun semakin jernih saat mendengar desah lega dari seseorang yang berada dekat di sampingnya. Nala segera menoleh dan mendapati Dewa sedang menunggunya.
Secepat kilat Nala bangkit untuk duduk di atas pembaringan. Dewa ikut bergerak lalu berdiri lebih mendekati Nala.
"Lo baik-baik aja, La?" tanya Dewa dengan sentuhan lembut di lengan gadis itu. Sayangnya, Nala menepisnya dengan raut tak suka.
"Kenapa lo di sini, Kak?"
"Lo tadi pingsan. Gue nggak bisa ninggalin lo sebelum gue tahu kalau lo baik-baik aja."
"Nggak usah sok perhatian sama gue, Kak. Mending lo urus aja cewek baru lo. Gue bisa panggil temen gue kalau butuh bantuan."
Dewa menelan ludah dengan perasaan serba salah. Jawaban Nala telak membuatnya teringat akan Aira. Dia sadar dia telah menyakiti gadis ini. Apa pun alasannya, dia telah mengkhianati Nala. Tak mungkin Nala dengan suka rela bersikap baik padanya.
"Gue minta maaf, La. Gue udah bikin lo sakit hati."
"Kalau begitu kita putus. Gue nggak mau sakit hati lebih lama lagi."
"La, gue masih sayang lo."
Nala menoleh cepat dengan pandangan penuh kebencian. "Lo sayang gue tapi lo nyimpen cewek lain di apartemen?" Nala tersenyum sinis. "Gue lebih bisa nerima kalau lo terang-terangan minta putus dari pada main api di belakang gue, Kak."
Tak tahan lagi, Nala turun dari pembaringan dan berjalan cepat keluar dari UKS untuk menuju kelasnya. Di perjalanan itu, tangisnya menderu tak terhenti. Dia harus berbelok ke toilet untuk menumpahkan kesedihan dan kekecewaannya yang semakin menjadi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Love (Tamat)
Teen FictionDewa menyayangi Nala, gadis polos yang pada awalnya tidak begitu meresponnya, tapi kini telah resmi menjadi kekasihnya. Sayangnya, masalah keluarga yang berat membuatnya bertemu dengan Aira, gadis yang selalu menghindarinya karena berprofesi sebagai...