Bab 28 Lamunan

1.3K 67 0
                                    

Sebenarnya Aira tak begitu mempermasalahkan masalah keuangan jika memang Dewa menginginkannya tinggal di apartemen. Dia masih punya simpanan dari almarhum mamanya, meskipun tidak seberapa. Kebutuhan di rumah, Aldi yang menanggung. Karena selain menjadi germonya, Aldi juga bekerja sebagai teknisi di sebuah rumah sakit kecil. Uang hasil menjual diri yang diberi Aldi dia gunakan untuk kebutuhan dirinya sendiri. Walaupun tahu itu uang haram, Aira tak punya pilihan lain untuk menyimpan sisanya.

Aira justru bertanya-tanya apa tujuan Dewa menghindarkannya dari Aldi dan mau menanggung risiko karena menyembunyikan seorang gadis di apartemen. Itu belum mampu dipecahkannya disaat suara Dewa kembali terdengar.

“Belum yakin?”

Aira menoleh kemudian menatap pintu rumah yan tertutup rapat. “Gue yakin,” jawabnya mantap namun kalem.

Bersama dengan Aldi adalah sebuah bencana bagi hidupnya. Jadi jika sekarang dia punya kesempatan untuk pergi dari rumah itu, mengapa harus disia-siakannya? Dia tidak mau lagi Aldi menyentuhnya. Tiba-tiba dia muak untuk melihat wajah Aldi. Bayang-baynag dua tahun yang lalu, saat Aldi memperkosanya untuk pertama kali, kembali mengusik pikirannya. Perasaan takut dan frustasi yang harus dilaluinya selama beberapa bulan hampir saja membuatnya bunuh diri.

“Gue temeni lo,” kata Dewa ikut turun kemudian mereka berjalan bersama dan membuka pintu dengan kunci yang dipegang Aira. Tapi sebelum Aira berhasil membukanya, pintu itu terbuka dari dalam. Lalu wajah Aldi muncul dengan raut semringah.

“Hm, pasangan serasi. Gimana kencannya selama seminggu? Eh, ini hari belum ada seminggu kan ya?” Aldi menaikkan alis pura-pura bingung. “Jangan bilang lo nggak puas sama pelayanan Aira,” lanjut Aldi menatap mereka.

“Rasanya gue nggak perlu nanggepin omongan lo. Aira ke sini mau ambil barang-barangnya.”

“Hoho, oke silakan. Gue yakin banget kalau lo puas.”

Dewa tak menjawab lagi. Sedangkan Aira segera menuju kamarnya dan mengambil tas besar untuk membawa separuh dari baju dan barang-barang yang diperlukan saja. Gadis itu telah bertekad, kalau pun suatu hari nanti dia tidak bisa lagi tinggal di apartemen Dewa, dia akan melamar menjadi asisten rumah tangga sehingga punya tumpangan untuk tidur. Rasanya itu pekerjaan paling cepat terpikir olehnya.

Melihat tas besar yang dibawa Aira, justru Aldi-lah yang terlongong kebingungan. “Ngapain lo bawa barang segitu banyaknya? Udah kayak mau minggat aja.”

“Aira akan tinggal bareng gue. Jadi lo nggak bisa manfaatin dia lagi buat kesenengan hidup lo. Mulai hari ini, lo harus membiasakan diri hidup sendiri,” ucap Dewa tenang.

Aldi membeliak karena kaget. Tapi kemudian lelaki itu tertawa terbahak-bahak. “Lo pikir bisa bawa Aira begitu aja? Tahu apa yang akan terjadi?”

“Lo mau manggil temen preman lo? Panggil aja. Sekalian gue panggil polisi buat nangkep lo karena udah ngejual adik tiri lo sendiri.”

Aldi menelan ludah dengan sengit. Tak disangka, Dewa telah mengetahui segalanya. Pandangannya beralih pada Aira yang kini melekat erat pada Dewa seolah mencari perlindungan. “Lo, masuk kamar, Ra!” perintah Aldi tegas seperti pada saat dia memarahi Aira.

Tanpa diduganya, Aira menggeleng dengan cepa dan semakin meringkuk di punggung Dewa.

“Lo berani!” Aldi hendak maju untuk menarik Aira tapi kalah cepat dengan Dewa yang mendorongnya sekuat tenaga sampai lelaki itu terjatuh. Tak mau kalah, Aldi bangkit dan siap menerjang. Sayangnya Dewa lebih cepat mengelak dan kembali mendaratkan jotosan di perut Aldi. Dan sebelum terjadi perkelahian yang tidak diinginkan, Aira segera menutup pintu itu lalu menguncinya dari luar.

Melihat gerakan cepat yang dilakukan Aira, Dewa menarik pergelangan tangan gadis itu untuk segera memasuki mobil dan pergi dari komplek perumahan secepat-cepatnya. Dalam jarak yang cukup jauh, Dewa masih sempat melihat Aldi yang baru saja keluar sambil mengacungkan tangannya. Mengetahui hal itu, cowok itu tersenyum penuh kemenangan.

***

“Lo mulai ngebela Afkar?” tanya Dewa menahan amarahnya saat berdua saja dengan Nala setelah menghindari teman-teman mereka.

“Bukan ngebela Kak Afkar, Kak. Gue cuma nggak mau ada perkelahian.”

“Gue nggak lihat lo kesel karena Afkar terus deketin lo.”

“Siapa bilang? Gue kesel kok Kak Afkar ngedeketin gue. Tapi gue harus apa? Gue nggak mungkin ngamuk sama dia kan?”

“Tapi lo ngelarang gue buat kasih peringatan ke dia.”

“Peringatan dalam bentuk apa? Keroyokan? Lo pikir gue seneng lihat kalian berantem?”

Dewa memandangi Nala lekat-lekat. Dalam dasar hatinya, cowok itu bertanya-tanya, benarkah Nala betul-betul menyayanginya? Kalau memang iya, seharusnya gadis itu lebih tegas mengahdapi Afkar yang pantang menyerah dan tidak tahu diri itu.

“Dengan sikap lo yang nggak tegas begini, lo justru kasih harapan ke dia,” ucap Dewa dingin. Matanya menatap Nala penuh intimidasi. Tapi Nala tak terlihat gentar.

“Gue tekanin sekali lagi, Kak, gue nggak ada rasa apa pun sama Kak Afkar. Terserah lo mau percaya atau nggak.” Suara Nala terkesan putus asa. “Lagian juga lo ke mana aja kemarin sampe lupa sama janji lo? Sebenernya gue heran sama sikap lo akhir-akhir ini yang kayak nggak ada waktu buat gue. Asalkan alasannya jelas, nggak masalah. Lo nggak kasih gue alasan apa pun.”

“Oh, jadi dengan begitu lo bebas berhubungan sama cowok lain?” sindir Dewa pedas.

“Berhubungan macam apa yang lo maksud? Gue juga berteman sama Kak Afkar.”

“Meskipun lo tahu kalau Afkar naksir lo? Bukannya lo seharusnya menjauh dari Afkar kalau lo nggak ada rasa sama dia?”

Iya, seharusnya aku emang menjauh, batin Nala dalam keadaan diam sambil bertatapan. Tapi dia tidak bisa menghilangkan rasa nyaman saat bersama Afkar. Lagi pula saat Dewa mengecewakannya meski hanya untuk hal sepele, kehadiran Afkar sangat membantu menghilangkan kekesalannya. Jadi dia tidak mudah untuk menolak Afkar.

Dewa tersentak saat tersadar dari lamunannya. Sebelumnya dia teringat akan pembicaraannya dengan Nala sampai suara Aira membuatnya menoleh. “Ada apa?”

“Lo ngelamun lagi.”

“Nggak, gue cuma capek. Kenapa?”

“Gue udah siapin makan malem.”

Salah satu sudut bibir Dewa, terangkat. Dengan gerakan kaku, cowok itu melihat ke dapur mini apa yang sudah disediakan gadis itu. Telor dadar di campur irisan bawang dan cabai, serta sup yang berisi wortel dan buncis saja.

Dalam hati, Dewa tersenyum melihat apa yang disediakan Aira. Masakan sederhana dan seadanya namun cukup membuatnya ingin segera melahapnya. Dewa mengambil dua piring lalu melirik Aira.

Aira tertegun saat Dewa menyerahkan piring yang telah diisi nasi kepadanya. Dadanya berdetak tak beraturan karena baru kali ini ada cowok yang melayaninya makan walaupun hanya menyendokkan nasi.

***

Secret Love (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang