Hal pertama yang dilakukan ketika membuka mata di pagi hari, Nala mengambil ponsel untuk melihat waktu. Dalam keadaan tirai jendela yang masih tertutup, Nala tahu matahari sudah terbit. Pada hari libur begini, Mama Norma memang membiarkannya untuk bangun siang.
Baru pukul enam, gumamnya. Dia melihat beberapa pemberitahuan masuk dari akun media sosialnya dan satu pesan dari Afkar. Ada sedikit kekecewaan karena pesan itu bukan dari Dewa. Lalu ingatan Nala berkelana pada pertemuan mereka kemarin, saat Dewa terlihat kesal melihatnya diantar pulang Afkar.
Nala tak begitu suka dengan sikap Dewa yang menurutnya terlalu over. Baginya, berpacaran itu tidak berarti mengekang seseorang untuk tidak berteman dengan orang lain. Apalagi Dewa tahu kalau Nala tidak akan berselingkuh. Kalau masih tidak percaya, bagaimana hubungan mereka selanjutnya? Sedangkan Nala akan sering kelihatan bersama-sama dengan teman lelakinya terlebih pada saat belajar bersama. Karena pendapat itulah yang membuatnya berani menjawab dengan tenang kekesalan Dewa.
“Nggak masalah jalan sama cowok lain kalau itu hanya sebagai teman, apalagi cuma ngantar pulang tanpa ada niat buat selingkuh.”
Dewa terkesiap dengan ucapan Nala kemudian menoleh dengan kening berkerut. “Masalah karena kita udah jadian. Lo pacar gue. Dan gue pacar lo. Itu kurang jelas, La?”
“Bukan berarti boleh mengekang apa pun yang gue lakukan, Kak. Selama yang gue lakukan nggak ada niat untuk hal yang buruk, kenapa harus lo permasalahin?” Nala mendesah lelah. “Gue pengin ngejalani ini sesederhana mungkin. Ngejalani apa yang bikin hati kita nyaman, tanpa perlu membuat batasan untuk nggak berhubungan dengan orang lain selama orang lain itu nggak membahayakan kita.”
Lama Dewa terdian menatap Nala. Kemudian cowok itu tersenyum miris. “Gue baru tahu ada pacaran model begitu. Kayaknya lo belum ngertiin gue. Gue emang posesif, kalau lo mau gue bilang begitu.”
“Kak,” Nala meneguk ludah dengan pandangan sayu. Gadis itu memberanikan diri menyentuh tangan Dewa. Dewa melirik tangan Nala yang perlahan meremas tangannya. “Kenapa harus begini?”
Dewa tak suka melihat wajah Nala yang berbaur kesedihan. Cowok itu mendesah lelah sambil membalas remasan tangan gadisnya. “Sorry, mungkin gue terlalu sayang lo sampai gue bersikap kayak begini.”
Akhirnya Nala tersenyum lega. Dewa membalas senyumnya. Kerikil yang menghalangi langkah mereka kini tersingkir sudah.
“Besok hari libur, gue jemput lo ya? Kita jalan-jalan.”
Nala mengangguk cepat. Dia tidak ingin mengabaikan ajakan Dewa yang mulai memahami pendapat-pendapatnya. Pacaran baginya bukan untuk mengekang dan membatasi pergaulan. Pacaran hanya untuk menyatukan rasa sayang yang timbul dari dua hati seseorang dan berupaya menerjemahkan bentuk sayang itu dalam bentuk perbuatan, salah satunya adalah perhatian.
Waktu yang disebut Dewa untuk menjemputnya adalah pukul sepuluh. Masih empat jam dari sekarang. Nala sangat malas karena tubuhnya masih lemas. Berada di bawah selimut tebal seperti sekarang, semangat belum juga terkumpul untuk melakukan aktivitas. Terlepas dari kekecewaan, dia lupa kalau belum membuka pesan dari Afkar.
Afkar : Setengah jam lagi, gue sampai di rumah lo.
Dibalut kebingungan untuk apa Afkar datang sepagi ini ke rumahnya dan dengan tujuan apa, Nala segera mengetikkan balasan.
Nala : Ada apa ya, Kak, mau ke rumah gue?
Afkar : Gue mau ngajak lo jogging.
Jogging? Pantaskah mengajak pacar orang untuk jogging bersama? Untuk suatu ketidaksengajaan atau tidak ada niatan seperti kepulangan mereka kemarin, Nala masih bisa menerimanya meski Dewa bertolak belakang. Namun jika merencanakan jogging bersama, rasanya ini sudah tidak semestinya. Nala harus tegas menolaknya.
Nala : Maaf, Kak, aku lagi malas ke mana-mana.
Afkar : Oke, kalau begitu gue datang aja ke rumah lo jam sembilan.
Nala : Lain hari aja, Kak, gue ada acara nanti.
Beberapa menit kemudian, ponselnya berbunyi. Afkar menelepon. Sepertinya cowok itu tidak puas dengan jawaban Nala.
“Halo, Kak,” sapa Nala malas.
Mendengar dari serak suara Nala, Afkar bisa menebak gadis itu baru saja bangun. “Baru bangun?”
“Eh, kok tahu?” Nala mengerjap.
“Suara lo masih lima puluh persen.” Nala tersenyum tapi tentu saja Afkar tidak bisa melihatnya. “Kenapa lo nolak gue ajak jogging, La?”
“Lo kan tahu, Kak...”
“Kalau lo pacar Dewa?” potong Afkar bosan. “Apa salahnya sih? Cuma jogging doang.”
Nala menghela napas sabar. Sepertinya sudah nasibnya dihadapkan dengan dua orang cowok berkarakter sulit. “Gini ya, Kak,” Nala berucap pelan, “kalau lo punya cewek, terus cewek lo jogging sama cowok lain, perasaan lo gimana? Nggak suka, kan?”
“Suka-suka aja,” jawab Afkar cuek.
“Itu karena lo belum ngerasainnya, Kak. Kalau suatu hari lo nanti punya cewek, lo pasti marah kalau cewek lo jalan sama cowok lain. Itu yang gue hindari. Gue nggak pengin Dewa marah dan nganggep gue nggak konsekuen dengan keputusan gue nerima cinta dia.”
“Lo cinta sama Dewa?”
Nala mati kutu. Pertanyaan Afkar pendek namun mengena. Tidak salah dengan pertanyaan itu karena dia dulu yang berucap cinta. Tapi terlalu ingin tahu kalau Afkar sampai menanyakannya.
“Kalau gue nerima Kak Dewa sebagai cowok gue, itu udah berarti gue ada rasa sama dia. Gue nggak bisa jelasin sedetail mungkin. Lo pasti ngerti maksud gue.”
“Gue nggak yakin Dewa cinta sama lo.”
“Gue dan Kak Dewa masih dalam tahap awal, Kak. Masih pengenalan dan menyatukan rasa suka aja. Jadi jalani aja apa yang ada di depan kami.” Afkar diam cukup lama, hingga Nala memutuskan untuk membuka mulut lagi. “Sebenarnya tujuan lo apa nemuin gue, Kak? Sorry kalau pertanyaan gue bikin lo tersudut. Tapi gue...”
“Gue suka lo,” jawab Afkar cepat sebelum Nala menyelesaikan kalimatnya.
Dalam satu bulan ini ada dua cowok yang menembaknya. Dewa awal bulan dan Afkar akhir bulan. Bukannya senang karena ditaksir dua orang cowok, Nala justru memijat pelipisnya untuk meredakan keterkejutannya. Mengapa bisa secepat ini cowok itu mengatakan rasa suka?
“Kak, kita baru kenal belum ada satu minggu, dan sekarang lo bilang suka gue. Barangkali itu hanya kagum aja, Kak. Bukan rasa suka seperti rasa suka cowok ke cewek. Lo harus bisa bedain itu.”
Terdengar Afkar tertawa sinis karena Nala tidak memercayai ucapannya. “Gue akan datengin lo dan bilang langsung supaya lo percaya.
“Tapi, Kak,” seru Nala panik, “hari ini gue betulan ada acara yang nggak bisa gue batalin. Lain hari ya? Gue janji.”
Mendengar kata janji, Afkar menurut dan memilih hari lain. Sedangkan Nala kecewa bukan main karena setelah menghalangi Afkar datang ke rumahnya, ternyata Dewa tak hadir sampai lelah dia menunggu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Love (Tamat)
Ficção AdolescenteDewa menyayangi Nala, gadis polos yang pada awalnya tidak begitu meresponnya, tapi kini telah resmi menjadi kekasihnya. Sayangnya, masalah keluarga yang berat membuatnya bertemu dengan Aira, gadis yang selalu menghindarinya karena berprofesi sebagai...