Bab 18 Cemburu (2)

1.5K 68 6
                                    

Di dekat sekolah mereka terdapat depot sederhana yang memiliki ukuran cukup luas. Gaya sederhananya memadukan unsur tradisional dan modern. Unsur tradisional itu bisa dilihat dari beberapa gazebo yang dibangun di depan depot, berdekatan dengan tempat parkir. Di salah satu gazebo itulah, Dewa dan ketiga temannya menghabiskan waktu untuk bersantai sambil merokok.

“Tumben lo nggak nganterin cewek lo?” gumam Surya yang semakin hari semakin kepo dengan kelanjutan kisah asmara Dewa gara-gara Dewa juga sedang mengejar Aira. Mengejar dalam arti bukan mencari perhatian gadis itu. Tapi untuk bertemu dengan Aira.

“Gue lagi banyak pikiran. Nggak fokus.”

“Banyak gaya lo, Wa. Udah untung lo bisa dapetin Nala. Masih aja cari masalah ngejar kupu-kupu cantik,” sahut Lexi sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.

Dewa membeliak tanda tak suka dengan ucapan Lexi. “Tahu dari mana lo kalau dia cantik?” Aira memang cantik, sepertinya lebih cantik dari pada Nala.

“Gue udah tahu dia di kelas berapa. Dua belas IPS 3. Nama lengkapnya Almaira Hanin Narendra. Setiap istirahat suka sembunyi di perpus. Siang ngelonin buku, malem ngelonin cowok.” Azka tergelak, Surya hanya terkekeh, sementara Dewa terdiam seperti patung. “Lo nggak jatuh cinta sama dua cewek di bulan yang sama kan, Wa?” lanjut Lexi karena paling tahu karakter Dewa. Maklum, kenal sejak masih bayi.

Dewa tidak menggubris omongan Lexi. Cowok itu menggoyang-goyangkan gelas minuman yang berisi es batu, kemudian meneguknya sampai habis. Setelah itu dia menarik sebatang rokok dan menyulutnya.

“Sekarang lo bisa datengin kelasnya kalau pengin ketemu. Nggak usah pakai acara kejar-kejaran kayak Tom and Jerry.” Azka menimpali.

“Gue udah ketemu Aira dua hari yang lalu di belakang gudang,” gumam Dewa dengan tatapan menerawang. “Dia nangis?”

“Nangis? Lo apain, Wa? Jangan bilang lo udah perkosa dia.” Lexi adalah teman yang paling tidak mengerti keadaan dan kondisi Dewa. “Aira sih nggak udah diperkosa juga doyan aja.”

“Lo bisa diem nggak, Lex?” serang Dewa sambil berteriak. Entapa kenapa dia tidak terima Lexi menjelekkan Aira di depannya. Rasanya dia ingin menjotos mulut Lexi.

Lexi terkekeh kemudian melahap makanannya supaya bibirnya tak mampu berucap lagi. Dia tahu Dewa betul-betul marah.

“Mampus lo!” hina Azka dengan kekehan menjengkelkan.

“Gue udah booking dia.”

“Apaaa???” serempak ketiga temannya berteriak tak sadar. Dewa hanya melirik ketiganya satu persatu. Seolah tidak kaget dengan keterkejutan teman-temannya.

“Gila lo!”

“Nekat banget lo!”

“Nala mau dikemanain, Wa?”

“Baru juga jadian beberapa minggu udah main belakang.”

Komentar teman-temannya datang beruntun. Pergaulan mereka selama ini memang bisa dikatakan cukup diluar batas aturan untuk anak SMA. Mereka merokok, minum bir, berkelahi, bahkan seminggu sekali pergi ke klub malam. Tapi untuk yang satu itu, memesan wanita penghibur, belum pernah mereka lakukan. Baru Dewa yang berani berterus terang.

“Cuma itu cara untuk mendapat informasi dari Aira. Gue nggak bisa ngomong baik-baik sama Aira di sekolah atau di rumahnya. Dia menutup diri sama semua orang.”

“Ya, gue paham dia nggak pengin dikenali sebagai Aira sang gadis malam.” Surya menimpali ucapan Dewa. “Tapi gue salut juga. Diluar penilaian salah atau benar, dia cewek yang kuat ngadepin masalah.”

“Itu yang bikin gue kepikiran sejak lihat dia nangis di depan gue.”

“Gue ramal lo lama-lama jatuh cinta sama Aira.” Lexi masih berani berkomentar.

“Jatuh cinta sama Aira?” Azka melihat sesuatu dengan kening berkerut. “Jadi nggak masalah dong kalau sekarang Nala pulang bareng cowok laen?”

Dewa, Surya, dan Lexi mengikuti arah pandang Azka. Mereka melihat Afkar membonceng Nala. Saat itu motor Afkar baru keluar dari sekolah. Dewa membeku di tempat.

***

“Boleh gue tahu, gimana ceritanya lo bisa jadi pacar Dewa?”

Nala tersenyum mendengar pertanyaan Afkar. Dia jadi ingat bagaimana awal mula Dewa memperkenalkan diri padanya dan berbuntut panjang dengan pertemuan berikutnya. Tak bisa dipungkiri jika dirinya memang tak bisa mengusir pesona Dewa sejak cowok itu tampil di depan semua siswa baru tiga bulan yang lalu.

“Seperti kebanyakan yang dilakukan cowok, Kak. Kak Dewa ngedeketin gue dengan gayanya yang emang bikin gue kepikiran terus.”

“Lo tahu Dewa itu cowok macam apa di sekolah? Kalau lo tahu, mungkin lo akan mikir seribu kali buat nerima perhatiannya.”

Anggap saja Nala tahu, meski Nala tak tahu sepenuhnya karena dia baru saja menginjakkan kaki di SMA ini. Tapi sekali pun Dewa terkenal brengsek sekali pun, di mata Nala, Dewa tetaplah cowok yang baik.

“Menurut gue dia baik, Kak.”

“Gue nyesel kenapa gue kenal lo belakangan,” ucap Afkar dengan pasti tanpa keraguan sedikit pun. “Gue kesal kenapa dia lebih dulu ngedapetin cewek yang gue suka.”

Nala terlongong bingung dengan perkataan Afkar. “Maksud lo apa, Kak?”

Afkar mendesah panjang. “Dulu gue pernah suka Intan, tapi Intan lebih milih Dewa meski tahu Dewa nggak ada rasa sama dia. Dan sekarang,” Afkar menoleh menatap Nala, “gue baru kenal lo setelah lo jadi cewek Dewa. Miris kan nasib gue?”

“Kita baru kenal kan, Kak. Rasanya mustahil lo langsung suka sama gue,” kata Nala dengan perasaan tidak nyaman.

“Nggak ada yang mustahil sama perasaan seseorang. Sebentuk hati nggak akan mudah diselami sekali pun orang lain berusaha mendangkalkannya.”

Nala terdiam, tak tahu harus berkomentar apa. Memahami perasaan Afkar bukanlah sesuatu yang mudah. Nala tidak akan menganggap Afkar jatuh cinta padanya, karena menurutnya Afkar hanya sedang kagum saja.

“Oke, La. Makasih udah nemenin gue. Nggak usah terlalu dipikirin apa yang gue bilang barusan. Gue seneng bisa kenal lo. Gue pulang dulu ya.” Afkar berdiri sambil tersenyum lembut. Dengan lambaian tangan, Nala melihat motor Afkar melaju cepat berbelok ke kiri jalan rumahnya. Dan pada waktu yang bersamaan, motor Dewa terlihat dari jalan sebelah kanan. Nala lemas. Gadis itu terduduk karena Dewa sudah pasti melihat kehadiran Afkar di rumah pacarnya.

Kekhawatiran Nala bukan tanpa alasan. Dewa turun dari motor dengan sorot mata dingin. Cowok itu dengan langkah tenang menghampiri dan berdiri tepat di depan Nala.

“Gue nggak suka lo pulang bareng Afkar.”

Nala meneguk ludah dengan susah payah. Tenggorokannya serak seperti tak bisa berucap alasan untuk membela diri. “Duduk dulu, Kak.” Hanya itu yang mampu diucapkannya.

Dewa menuruti kemauan Nala. Cowok itu duduk meluruskan kaki panjangnya dan menyandarkan kepala sambil memejamkan mata. “Jadi pacar gue berarti nggak boleh jalan sama cowok lain.”

“Nggak masalah jalan sama cowok lain kalau itu hanya sebagai teman, apalagi cuma ngantar pulang tanpa ada niat buat selingkuh.” Dalam keresahannya, Nala tak mengerti mengapa dia tidak suka mendengar ucapan Dewa yang sangat posesif. Mereka baru pacaran selama satu bulan. Jadi mengapa harus menunjukkan sikap kepemilikan seolah-olah Nala telah melakukan kesalahan besar? Dan Dewa terkesiap mendengar jawaban gadisnya.

***

Secret Love (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang