Bab 3 Nomor Baru

2.2K 115 2
                                    

Nala menyendokkan sendok demi sendok puding susu yang baru saja disajikan Mama. Malam ini dia tidak ikut menonton televisi dengan Fara, kakak perempuan, dan Mama Papanya. Dia memilih berdiam di kamar untuk melihat nomor baru yang baru didapatnya dari kakak kelas yang ditemuinya siang tadi saat mendaftar di sekretariat ekskul musik.

"Hubungi aja nomor ini. Formulirnya ada di dia. Gue cabut dulu ya, buru-buru nih," ucap Destia, siswi kelas XI yang disapa Nala. Gadis itu memberikan selembar kertas yang menampilkan sederet nomor ponsel.

"Gue hubungi sekarang nggak ya?" Pikir Nala bingung. Dia belum tahu nomor ini milik anak cewek atau cowok. Destia tadi lupa bilang dan Nala lupa bertanya. Tapi yang diyakininya nomor ini pasti nomor ketua ekskul musik, Afkar. Jadi sudah jelas kalau ini nomor cowok.

Nala memutuskan untuk mengirim pesan saja di whatsapp. Dia ingin segera bergabung karena sudah lama juga dia tidak bermain musik bersama anak lain. Selama menanti waktu selepas Ujian Nasional SMP sampai menjelang masuk SMA, Nala hanya menghabiskan waktu di rumah untuk bermain piano kesayangannya.

Nala : Hai, Kak. Aku Nala anak kelas X IPA 1. Aku mau daftar jadi anggota ekskul musik. Tadi di ruang sekretariat, aku ketemu Kak Destia dan dia kasih aku nomor ini.

Pesan Nala terbaca. Gadis itu tersenyum saat sebuah pesan tak lama kemudian masuk. Untuk sementara, Nala memberi nama Kakak Musik untuk nomor kontak tersebut. Dia kecewa karena tidak melihat foto profil di atas layar ponselnya.

Kakak Musik : Oke, lo tulis biodata lo biar gue salin sekarang di formulir.

Nala : Biar besok aku aja yang nulis di formulirnya, Kak.

Kakak Musik : Tulis aja sekarang.

Kening Nala berkerut saat membaca kalimat bernada perintah tersebut. Meskipun dia heran, tapi diambilnya juga pensil dan kertas. Kemudian ditulisnya data diri lalu mengirimkannya berupa foto.

Nala : Udah, Kak. Btw, nama kakak siapa? Kak Afkar, ya?

Kakak Musik : Bukan.

Nala : Siapa?

Kakak Musik : Ata

Ata? Nala mendesah lega. Syukurlah, ternyata cewek. Kalau sesama cewek, Nala bisa tenang berkomunikasi dengannya. Dia tidak akan ragu-ragu menyampaikan pendapat atau sekedar bertanya.

Nala : Kak Ata, aku ganggu Kakak ya? Kok jawabnya pendek-pendek? Tapi makasih udah nyalin biodata aku.

Ata : Sori, gue barusan lagi makan. Iya sama-sama. Oh ya, lo suka main musik apa?

Membulat mata Nala membaca pesan panjang itu. Dia semangat untuk membalas. Punya teman kakak kelas itu cukup membanggakan buat dirinya.

Nala : Aku suka main piano, Kak. Sampai sekarang aku masih les. Beberapa kali pernah tampil di kafe tempat kakakku nyanyi.

Ata : Keren dong. Kakak lo penyanyi kafe?

Nala : Kakakku kuliah sambil nge-band sama temen-temennya. Salah satu temennya punya kafe deket kampus. Jadi kakakku sering tampil di sana.

Ata : Kalau lo pernah tampil di kafe, berarti permainan piano lo oke banget. Gue boleh denger? Kali aja lo punya rekamannya.

Nala : Adanya rekaman video, Kak.

Ata : Boleh juga.

Nala memilih satu video dari beberapa video koleksinya saat bermain piano di rumah. Pilihannya jatuh pada lagu Endless Love, soundtrack The Myth, film yang dibintangi Jackie Chan.

Dengan senyum percaya diri, Nala menekan tombol kirim dan perlu waktu beberapa detik sampai video itu sampai di ponsel Ata. Lama dia menunggu balasan dari Ata padahal durasi video itu tidak lebih dari lima menit. Sedangkan kini sudah sepuluh menit sejak dia mengirim video itu.

Nala mendesah sedikit kecewa hingga berniat untuk meletakkan ponselnya dan turun ke ruang keluarga. Tapi saat kakinya baru beranjak, ponselnya berdenting. Dari Ata. Nala menyambarnya segera.

Ata : Lo... menawan.

Menawan? Tunggu-tunggu, kenapa pujian itu seperti pujian cowok ke cewek ya? Dan kenapa pujiannya bukan keren, hebat, atau sempurna?

Ata : Permainan piano lo canggih. Gue salut. Tapi kalau lihat gaya bermusik lo, menurut gue lo agak kesulitan bergabung dalam band sekolah yang udah ada. Lo cocoknya main solo atau duet bareng pemain biola, cewek kelas sebelas.

Keheranan Nala berubah seketika setelah membaca pesan panjang yang kembali masuk. Dia melupakan kecurigaan bahwa Ata adalah cowok. Gadis itu tersenyum senang dengan pujian Ata. Tidak sia-sia dia les piano sejak sekolah dasar. Hasilnya tidak mengecewakan. Dia memang mencintai denting piano. Bisa dianggap, piano adalah separuh jiwanya.

Nala : Makasih, Kak. Aku bisa menyesuaikan main bareng siapa aja. Sampai ketemu besok ya.

Nala mengakhiri obrolan mereka dan hanya dijawab oke oleh Ata. Gadis itu masih dengan senyuman menuruni tangga mendapati Mama dan Papanya yang sedang asyik menonton televisi.

"Eh, La, kamu udah ketemu sama anak teman Mama?"

"Siapa, Ma?" Tanya Nala pura-pura tidak ingat. Gadis itu menyambar remote televisi dan berniat mengganti. Tapi sebelum dilakukannya, Papanya menarik remote itu.

"Papa lagi lihat berita pemilu gubernur. Belum tahu nih siapa yang menang."

Nala berdecak sambil bersedekap. Gagal deh nonton drama korea di televisi. Padahal episode kali ini adalah episode menegangkan. Anggap aja lagi klimaks cerita.

"Kenzu, yang Mama bilang kemarin," ucap Mama tanpa memedulikan wajah Nala yang memberengut karena kalah dari Papanya.

"Udah, Ma," jawab Nala datar.

"Gimana anaknya?" Seru Mama antusias.

"Kepedean, Ma. Sok cool. Aku nggak suka."

"Eh, masa begitu?" Mama mengerutkan dahinya. "Mama pernah ketemu tapi anaknya baik-baik aja."

"Ya jelas beda, Ma, tingkahnya di sekolah sama di rumah, apalagi di depan Mama. Nggak mungkin kan dia tebar pesona di depan Mama?"

"Oh, jadi Kenzu tebar pesona di depan kamu?" Mama mengulum senyum.

"Idih, Mama. Kok bisa-bisanya godain aku sih? Dia itu nggak sealim kayak yang Mama kira lho. Mama mau aku deket sama cowok bergaya berandal kayak Dewa?"

"Dewa?"

***

Secret Love (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang