Bab 13 Tarif?

1.6K 75 1
                                    

Dewa menginjak sisa batang rokok yang baru saja separuh dihisapnya. Di jam yang sama seperti beberapa malam yang lalu, dia berdiri kembali di tempat yang sama saat dia melihat mobil papanya melintas ke rumah seorang wanita, entah itu wanita simpanan atau hanya wanita penghibur. Tapi sayangnya, sudah hampir satu jam menunggu, mobil papanya tidak lewat juga. Kemungkinan yang terjadi adalah papanya sedang tidak mengunjungi wanita itu. Padahal hari ini sabtu malam, malam yang paling asyik untuk berkencan.

Setelah menarik Aira beberapa waktu yang lalu, Dewa memutuskan untuk menahan diri supaya tidak mencari keberadaan Aira. Dia tidak mau bertindak gegabah. Sikap pemaksanya akan menjadikan Aira semakin menjauh darinya karena merasa terancam. Pelan tapi pasti, sekaranglah dia harus mulai menyelesaikan masalah keluarganya. Siapa sebenarnya wanita yang berada dalam rangkulan Papa? Jika wanita itu ternyata bukan hanya sekedar wanita penghibur, masalahnya akan berlangsung lebih lama. Penyelesaiannya akan semakin berlarut-larut. Dewa bersumpah akan menghentikan ini semua.

Tak tahan menunggu terlalu lama, akhirnya Dewa turun dari motor yang telah terparkir di bawah pohon besar. Dia menutup kepalanya dengan tudung hoodie-nya yang berwarna gelap. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku hoodie.

Suasana remang-remang dan sepi di depan rumah itu. Pagarnya terbuka. Itu memudah Dewa untuk mendekati pintu dan mengetuk beberapa kali. Cowok itu harus menunggu cukup lama sampai seorang lelaki membukaan pintu. Aldi.

“Lo lagi,” ucap Aldi dengan senyum sinis. “Bokap lo lagi nggak ada di sini.”

Dewa terdiam. Ternyata benar, papanya memang absen datang ke rumah ini. “Sebenarnya apa hubungan bokap gue sama perempuan itu?” tanya Dewa dingin. Mata gelapnya bersorot tajam penuh tantangan.

“Kenapa nggak lo tanya aja ke bokap lo?”

“Apa perempuan itu simpanan Papa?”

Aldi─cowok yang ditaksir Dewa berumur sekitar 25 tahun─tergelak. “Gue kasihan benget sama lo.” Aldi menampilkan wajah memelas. “Udah sekian lama bokap berhubungan sama Tasya tapi lo baru tanya sekarang. Kali aja bener ya, nyokap lo itu lemah. Nggak bisa jaga lakinya biar nggak jajan di sembarang tempat.”

Mendidih darah Dewa mendengar hinaan terhadap mamanya. Wanita yang telah melahirkan dan membimbingnya penuh kasih sayang. Wanita yang hanya bisa menangis saat disakiti oleh suaminya. Wanita yang tak pernah sekali pun mengecewakan putra-putrinya.

Mengikuti nalurinya, Dewa memberikan hadiah sebuah tonjokan kepada Aldi. Tak menduga akan mendapat serangan secepat itu, Aldi jatuh terjungkal ke belakang.

“Brengsek!” Aldi memegang sudut bibirnya yang perih. “Lo emang selalu cari gara-gara. Kalau lo bukan anak dari Pak Atmaja, udah gue keroyok lo sama temen-temen gue.”

“Panggil aja temen-temen lo!” tantang Dewa penuh amarah.

Aldi tertawa sumbang. “Besar juga nyali lo.” Lelaki itu bangun dan berusaha menerjang Dewa. Sayangnya Dewa lebih dulu menangkis dan memberikan hadiah kedua ke perut Aldi.

“Lo tinggal bilang, apa hubungan bokap gue sama perempuan yang lo panggil Tasya!”

“Untungnya buat gue apa?” tanya Aldi tertawa seolah tak merasakan sakit. Kini Dewa memegang kerah baju Aldi dengan kasar. Saat Dewa akan menjotosnya lagi, suara pintu terbuka dari kamar di lantai dua yang terlihat dari bawah, terbuka. Secepat mungkin Dewa menoleh ke arah suara dan mendapati Aira yang tengah berdiri di ambang pintu dengan mata terbelalak. Tanpa mau tahu apa yang terjadi, Aira kembali masuk ke dalam kamar dengan tergesa-gesa.

Tak mau ketinggalan, Dewa melepaskan cengkeramannya dan berlari menaiki tangga untuk mendapatkan Aira. Terlambat. Pintu itu telah terkunci.

“Aira! Buka!” Dewa menggedor pintu itu sekuat tenaga. Badannya dihentak-hentakkan ke pintu agar pintu itu terbuka. Sementara Aldi menariknya dari belakang dan mendorong Dewa, sampai cowok itu hampir menggelinding di tangga.

“Lo nggak bisa begitu aja ketemu Aira,” gumam Aldi dengan wajah dingin.

“Gue bisa ketemu dia sekolah tanpa lo tahu.” Dewa berdiri kemudian membetulkan kemejanya.

“Gue jamin, meski lo satu sekolah sama dia, lo nggak bisa menemui dia sesuka lo. Dia udah lihai gimana caranya melindungi diri dari orang sok berkuasa kayak lo.”

Tanpa menghiraukan ucapan Aldi, Dewa kembali mendekati pintu dan menggedor untuk kedua kali. “Aira, buka!”

“Sampai putus urat leher lo, gue berani bertaruh, dia nggak akan bukain pintu ini.”

Dewa berbalik dan mencengkeram kerah baju Aldi lagi. Aldi hanya mengulum senyum. Kalau bukan anak dari Atmaja, Aldi bersumpah akan menghabisi cowok sok jago ini.

“Sekarang bilang, gimana caranya gue ketemu sama Aira?”

“Aira nggak ada hubungannya sama lo.”

“Dia satu sekolah sama gue,” teriak Dewa marah tepat di depan wajah Aldi.

“So, urusannya sama Tasya apa?”

Dewa juga tidak tahu mengapa dia ingin bertemu dengan Aira, bukan dengan Tasya. Tapi mengetahui Aira bersekolah di sekolah yang sama dengan dirinya, membuat Dewa harus mencari tahu tentang hubungan papanya dengan Tasya. Dia tidak mungkin bisa menemui Tasya tanpa ada Papa di samping perempuan itu.

“Lo kebanyakan tanya. Gue ulangi, bilang gimana cara gue ketemu sama Aira!”

Aldi menarik diri dari cengkeraman Dewa dan mundur selangkah masih dengan gaya congkak. Lelaki itu menarik napas panjang kemudian mengusap sudut bibirnya lagi. “Ada tarifnya.”

Tarif? Dewa mengerutkan kening. Dugaannya terhubung dengan ucapan Surya beberapa hari lalu kalau Aira adalah... kupu-kupu malam?

“Berapa nomor rekening lo?” tanya Dewa gemas masih dengan teriakan. “Gue akan bayar tarif buat seminggu!” Dewa tak paham apa yang baru saja diucapkannya. Dia tak mampu mengendalikan diri dan hanya mengikuti kendali otaknya.

Aldi tertawa terbahak-bahak. Lelaki itu sampai membungkuk memegang perutnya. “Lo sama aja kayak bokap lo. Suka banget sama cewek murahan.”

Disamakan seperti papanya sendiri, Dewa tak terima. Kedua tangannya menggenggam erat ingin memukul Aldi lagi. Dadanya naik turun menahan kemarahan yang telah di ubun-ubun.

“Oops, santai.” Aldi mengangkat kedua tangan meminta Dewa untuk bersabar. Lalu dia memberikan ponselnya yang di layarnya sudah tertera nomor kontak yang perlu diisi.

Dengan gerakan kasar Dewa menarik benda pipih itu dan segera mengetikkan nomornya. Tak lupa dia menelepon nomornya sendiri sampai ponsel yang ada di sakunya bergetar.

Kemudian tanpa pamit, Dewa menuruni tangga setengah berlari dan tak menoleh lagi meski Aldi mengucapkan sesuatu yang melecehkannya sambil tertawa.

“Gue harap lo ketagihan sama service-nya.”

***

Secret Love (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang