Bab 43 Kenyataan Pahit

2.1K 87 4
                                    

Siswa kelas XII tak muncul lagi di sekolah setelah acara perpisahan dua hari yang lalu. Mereka sibuk untuk mendaftar di berbagai universitas yang mereka inginkan. Dan selama dua hari itu, Nala tak melihat Dewa. Jujur saja meskipun dia telah melepaskan Dewa, dia masih ingin tahu bagaimana kabar Dewa dan Aira. Apakah tetap bersama atau saling memisahkan diri karena tidak ingin menyakiti hati Tante Cintya. Dan rasa penasarannya terpuaskan saat melihat Aira melangkah sendiri dengan kepala menunduk keluar dari perpustakaan. Tanpa berpikir apa pun, Nala berlari cepat menghampirinya.

Aira terkesiap saat melihat Nala berdiri menghalangi jalannya. Setelah sekian lama tahu Nala adalah kekasih Dewa, baru kali ini mereka berhadapan demikian dekat. Sebelumnya mereka sama sekali tidak pernah ingin bertemu dan membicarakan sesuatu.

Kecanggungan meliputi mereka berdua. Mata Aira menggelepar gelisah dan teringat akan lirik lagu yang dinyanyikan Nala di atas panggung. Dalam hati dia bertanya apa yang diinginkan Nala saat ini. Kalau Nala berpikir bahwa Aira akan tetap mempertahan Dewa, maka gadis itu salah besar.

“Ada apa, Nala?” tanya Aira kaku dengan wajah menyirat rasa takut. Selama ini menjauhi berinteraksi dengan orang lain selain Dewa. Jadi bukan hal yang aneh kalau Aira selalu berdebar saat berhadapan dengan orang lain.

“Bisa kita ngomong sebentar?”

Kepala Aira mengangguk seperti robot, tak mengerti harus menjawab apa. Saat melihat Nala berbalik dan berjalan menjauh, dia dengan gerakan bodoh mengikuti gadis itu. Hingga gadis itu berhenti di depan ruang komputer yang sangat sepi.

Sejak awal mendatangi sekolah ini untuk mengembalikan buku-buku pinjamannya, Aira sudah berusaha untuk berjalan secepat mungkin tanpa menarik perhatian orang lain. Dia tidak pernah mengira bahwa kehadirannya terakhir di sekolah ini justru harus bertemu dengan Nala.

“Lo mau ngomong apa?” tanya Aira bingung karena Nala hanya diam saja sambil memegang erat pagar besi dan menatap ke lantai bawah dengan sorot mata hampa.

“Gue udah putus sama Dewa.”

Seharusnya, sebagai gadis yang sangat menyayangi Dewa, Aira senang mendengar hal itu. Dengan begitu dia bisa bebas memiliki Dewa seutuhnya. Tapi bukannya senang, dia malah merasa bersalah.

“Gue nggak bermaksud bikin kalian putus.”

“Emang bukan salah lo,” sahut Nala cepat sambil berbalik melihat Aira. Dalam hati Nala bergumam, gadis ini memang cantik, wajahnya lembut dan innocent. Membuat para cowok ingin selalu berusaha melindungi karena kerapuhannya.

“Lo nggak usah khawatir, gue akan pergi dari Dewa. Secepatnya.”

“Itu udah nggak ada gunanya.” Nala tersenyum getir. “Gue pernah nggak tertarik sama Kak Dewa. Sekali pun dia ngejar-ngejar gue, tapi gue nggak langsung merespon perhatiannya. Tapi melihat usaha dia meluluhkan hati gue, gue jadi tertarik juga.”

“Lo nggak perlu putus sama Dewa. Gue cuma sebagai pelampiasan Dewa karena dia sedang memendam marah sama papanya.”

“Apa pun alasannya, gue tetep kecewa berat sama Kak Dewa.” Suara Nala terdengar lirih. Matanya basah. “Tapi gue sadar, gue nggak bisa terima gitu aja dikhianati. Hati gue berontak. Itu yang bikin gue minta putus sama dia dan ngebiarin dia ngejar lo. Tapi kenapa lo sekarang malah bilang mau menjauh? Pengorbanan gue nggak ada artinya buat kalian.”

“Nala, sekali pun lo nggak putus dari Dewa, gue akan tetep pergi. Tempat gue bukan di sisi Dewa. Gue nggak pantes ada di samping dia. Lo yang pantes buat Dewa.”

“Sebenarnya apa alasan lo ninggalin Kak Dewa? Bukannya seharusnya lo seneng karena mengingat masa lalu lo...” Nala tidak melanjutkan kalimatnya karena tidak ingin menyinggung hati gadis itu.

Sebaliknya bukannya ingin segera menghindar, Aira justru mendekat ke samping Nala dan ikut bersandar di pagar tersebut.

“Udah lama gue nggak punya keluarga yang menyayangi gue, sejak nyokap meninggal saat gue kelas delapan. Saat itu hidup gue hampa dan gersang. Gue selalu bertanya sama Tuhan kenapa hidup ini begitu kejam sampai gue harus dijual oleh kakak tiri gue sendiri.”

Nala mengerjap kaget mendengarnya.

“Gue lupa sama yang namanya kasih sayang. Gue lupa gimana rasanya ketika ada seseorang yang memperhatikan keseharian gue, tentang makanan gue, sekolah gue, dan hal-hal sepele lainnya. Sampai Dewa datang dan memberikan itu semua sama gue. Jujur, gue merasa kembali hidup. Semangat untuk keluar dari masalah itu semakin tinggi. Gue merasa dicintai, diperhatikan, dilindungi. Gue nggak akan menyangkal kalau gue jatuh cinta sama Dewa.” Setetes air mata jatuh membasahi pipi Aira. Dengan cepat gadis itu mengusapnya. “Tapi gue juga sadar kalau bersama dengan Dewa adalah mimpi belaka. Akan banyak pihak yang sakit hati kalau gue tetep egois memaksakan diri bareng Dewa, terutama nyokapnya. Gue nggak ingin nyokap Dewa kecewa untuk kedua kali.”

Nala merasa tenggorokannya tercekat. Dia mungkin hanya tahu masalah seberat itu dari film dan drama luar negeri. Sekarang seseorang yang punya beban hidup yang rumit, berdiri dengan tegar di depannya. Entahlah, dia harus iba atau justru benci.

“Gue udah bertekat akan ninggalin Dewa, hari ini juga.” Aira menghapus air matanya lagi. Dia menggerakkan kaki untuk melangkah lalu hampir jatuh karena perutnya sedikit mulas. Kedua tangannya menahan tasnya supaya tidak jatuh.

Nala secepat mungkin menggerakkan tangan untuk menahan Aira supaya tidak jatuh sekaligus menahan tas gadis itu agar tidak lepas dan isinya berserakan. Otomatis tangan Nala memegang tas Aira yang melekat di perut gadis itu. Seketika Nala membeku.

Menyadari perubahan wajah Nala, Aira segera mundur beberapa langkah dengan wajah gamang.

“Lo hamil?” tanya Nala dengan wajah kaget karena dia yakin sekali bahwa perut yang dipegangnya tadi sedikit menonjol. Mata Nala bolak-balik melihat wajah Aira kemudian ke perut gadis itu. “Anak Kak Dewa?” lanjutnya dengan desisan. Hatinya terasa tercabik-cabik.

Aira tak sanggup menggeleng meskipun dia ingin menggeleng. Dia tak mampu berbohong. Berbohong bukan keahliannya. Wajahnya tak dapat diajak kompromi untuk melakukan itu.

“Jadi kalian sudah sejauh itu?” tak tahu kenapa Nala menanyakannya. Mendengar bahwa Dewa menyimpan gadis itu di apartemen, seharusnya dia mengerti bahwa hubungan Dewa dan Aira lebih dalam dari perkiraannya.

Aira tak menjawab. Hanya air mata yang turun semakin deras.

“Kak Dewa udah tahu?” tanya Nala lagi tak peduli meskipun Aira tak sanggup menjawab. “Dan lo mau pergi dalam keadaan hamil begini?”

“Gue minta maaf sama lo, Nala. Gue nggak pernah berniat ngerebut Dewa dari lo. Gue nggak bisa memprogram keadaan supaya bisa ngejauhin gue dari Dewa. Tapi gue janji pada diri gue sendiri, gue akan pergi. Jauh...”

“Lo nggak boleh pergi. Kak Dewa nggak akan ngebiarin lo pergi dalam keadaan seperti ini.”

Tapi Aira tak dapat lagi mencerna dengan jelas kalimat Nala. Gadis itu pergi menjauh sejauh-jauhnya. Dia tak akan membuat Dewa lebih berat merasakan kepergiaannya. Biarlah Dewa tetap ada di dalam hatinya sekali pun mereka tak akan pernah bertemu lagi. Hanya ini yang dimilikinya sekarang, kekasih hatinya ada di dalam dirinya.

***

Secret Love (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang