Bab 1 Kenzu Dewanata

3.3K 141 0
                                    

Dewa membetulkan letak ransel di punggungnya saat tiba di kelas X IPA 1. Dia melirik ke dalam kelas mencari sosok gadis yang diceritakan Mama pagi tadi sebagai teman sarapan. Sebenarnya dia tidak begitu peduli saat Mama mengatakan bahwa anak teman mamanya bersekolah di sekolah yang sama dengan dirinya. Tapi ketika Mama menunjukkan sebuah foto gadis cantik dari ponselnya, Dewa sedikit terpesona. Dia berusaha berwajah datar di depan Mama karena tidak ingin Mama meledeknya.

Kini dia benar-benar mencari gadis itu. Bayang-bayang wajah itu tidak mau hilang juga dari benaknya. Lumayan juga sebagai pengganti mantan pacarnya yang telah pindah ke sekolah lain.

"Pagi, Kak. Cari siapa?" tanya seorang gadis manis yang menyapanya begitu ramah. Siapa yang tidak kenal Dewa? Dewa memang bukan ketua OSIS. Tapi dia adalah salah satu pengurus OSIS yang terkenal di antara siswa-siswi baru karena fisiknya yang oke dan gayanya yang membuat para gadis salah tingkah. Ditambah pula senyum tipis andalannya yang dipadukan dengan sorot mata tajam menguasai.

"Nala ada?" Dewa bersandar di pintu. Tangan kiri memegang sebelah ransel. Tangan kanan di dalam saku celana. Gaya biasa namun tetap saja keren kalau itu dilakukan oleh Dewa.

"Ada, Kak," jawab gadis itu kemudian berteriak, "Nala, ada yang nyariin nih."

Dewa melihat gadis-gadis yang sedang berdiri berkerubung di salah satu meja itu menoleh ke arahnya. Seketika mereka minggir untuk memberi kesempatan Nala melihat cowok yang sedang mencarinya. Saat itulah untuk pertama kali, mata Dewa bertemu dengan mata Nala.

Dewa meneguk ludahnya dengan susah payah. Gadis itu jauh lebih cantik dibandingkan dengan foto yang ditunjukkan Mama. Lebih cantik dari Intan, mantan pacarnya yang telah hilang dari ingatan karena putusnya mereka adanya orang ketiga, cowok satu kelas Intan di sekolah yang baru.

Dewa menyunggingkan senyum andalannya. Biasanya setiap gadis akan membalas senyumnya dengan malu-malu kemudian klepek-klepek seperti burung jatuh kehilangan kedua sayapnya. Berbeda dengan Nala. Gadis itu justru mengerutkan kening karena merasa tidak kenal.

Menyadari senyumnya tidak berbalas, Dewa dengan penuh percaya diri mendekati meja gadis tersebut. Dia tidak mau disepelekan seperti ini. Seorang Dewa sudah terbiasa mendapat perhatian khusus. Jadi kalau dia yang jarang memerhatikan seorang gadis kemudian gadis yang dispesialkan olehnya tidak menghiraukan kesempatan langka itu, Dewa tidak bisa menerima begitu saja.

"Kenalin, gue Kenzu Dewanata." Dewa menyodorkan tangan kanan tepat di depan Nala yang sedang duduk. Gadis itu mendongak. Wajah polos dengan kulit putih lembut terpampang jelas di depan Dewa. Sekali lagi Dewa terpesona.

Nala mengulurkan tangan dengan gerakan ragu-ragu. Melihat keraguan Nala, Dewa segera menyambar tangan mungil itu dan menggenggamnya erat.

"Hai," Dewa melirik sebaris nama di dada sebelah kiri gadis itu, "Aretha Nala Handoyo." Sekarang pandangan Dewa kembali ke dua mata jernih Nala. "Nama lo bagus. Gue suka. Jangan lupain nama gue. Gue... Dewa lo."

Setelah mengucapkan itu, Dewa melepaskan tautan tangannya dan berbalik dengan santai. Sesaat sebelum punggung Dewa menghilang, teman-teman Nala berteriak histeris.

"Gila, dia keren banget. Lo kenal dia, La?" tanya Dinna heboh. Sejak hari pertama sekolah, Dinna memang mengidolakan Dewa.

"Argh, kenapa cuma lo yang diajak kenalan sih, La? Kita-kita kok enggak sih?" sahut Bianca kesal.

Dinna dan Bianca adalah teman SMP Nala. Bukan kebetulan mereka sekolah di SMA yang sama. Mereka memang sudah merencakannya. Selain karena sekolah ini adalah sekolah paling dekat dengan rumah mereka, juga karena sekolah ini adalah sekolah favorit.

"Jangan-jangan waktu masa orientasi siswa, Kak Dewa udah merhatiin lo, La. Aduh kok gue yang deg-degan ya," lanjut Dinna masih dibalut pesona Dewa.

"Eh, La. Kok diem aja sih?" Bianca mendorong pelan bahu Nala sampai gadis itu tersadar dan merasa perlu menjawab rasa penasaran kedua temannya.

"Gue juga nggak tahu kenapa dia tiba-tiba datang ngajak kenalan. Pake bilang dia dewa gue lagi. Gue kan nggak punya dewa," jawab Nala cuek tapi dalam hati dia sangat penasaran didekati cowok sekeren Dewa.

"Lo nggak berdebar-debar gitu waktu dideketin Kak Dewa? Apalagi waktu tangan lo digenggam sama dia?" Dinna bertanya sesuai dengan perasaannya jika saja yang dicari Dewa tadi adalah dirinya.

Banget, jawab Nala dalam hati.

"Gue nggak yakin Kak Dewa bisa sepede itu ngajak kenalan lo kalau kalian belum pernah ketemu." Otak cerdas Bianca mulai bekerja. Dari ketiganya, Bianca memang yang paling cerdas dengan intuisi yang tajam.

Nala menoleh mengamati kecurigaan yang tersirat dalam wajah Bianca. Dia mencoba mengingat kejadian MOS seminggu yang lalu. Dimulai dari hari senin sampai hari sabtu, tidak ada kejadian apa pun yang membuatnya menjadi siswa baru terkenal. Semua berjalan mulus tanpa ada hambatan. Dia juga tidak pernah bersinggungan dengan Dewa. Dalam arti, tak pernah ada komunikasi di antara mereka sekali pun hanya sebatas kakak kelas dan adik kelas. Lalu kenapa Bianca bisa berpikir seperti itu?

"Ada anak teman Mama yang juga sekolah di sana. Sekarang sudah kelas dua belas. Barangkali kamu pengin kenal, namanya Kenzu."

Nala mengernyitkan kening mencoba menguraikan benang kusut dalam ingatannya.

"Kenalin, gue Kenzu Dewanata."

Nala menepok jidatnya sendiri saat benang kusut itu berhasil diuraikan. Kini dia tahu alasan Dewa tiba-tiba mendatanginya dan memperkenalkan diri padanya. Itu karena Mama mereka saling kenal. Tepatnya Mama mereka bersahabat.

"Kenapa? Lo inget sesuatu?" tanya Dinna yang paling heboh di antara mereka.

"Dia anak sahabat nyokap gue."

"Pantesan." Hanya itu komentar Bianca.

Mereka menyudahi obrolan tentang Dewa ketika bel tanda masuk berbunyi dan guru matematika telah berdiri di depan kelas. Pak guru tua, dengan kacamata bening dan rambut yang sepenuhnya beruban.

"Gue berani bertaruh, meski guru ini keliatan tua banget, tapi dia genius," bisik Bianca pada Nala. Seperti biasa suaranya terdengar tegas dan penuh percaya diri. Nala hanya mengangguk tak menolah pendapat Bianca.

"Selamat pagi semua. Perkenalkan nama saya..." Pak guru tersebut mengambil spidol dan mulai menuliskan satu per satu huruf yang merangkai namanya.

N Y A M ...

"Nyamuk!" teriak beberapa anak dengan kurang ajar sebelum Pak guru tersebut menyelesaikan tulisannya. Seketika kelas ramai dipenuhi tawa. Terlihat Pak guru tersebut berhenti menulis dan menghadap kepada siswa-siswi baru dengan kedua tangan di belakang pinggang. Beliau menunggu sampai kelas hening. Setelah kelas hening karena siswa-siswi menyadari kesalahannya yang tidak sopan, Pak guru tersebut melanjutkan tulisannya.

N Y A M I D

***

Secret Love (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang